Jatuh Bangun di Sirkuit Mandalika
Saat harus meliput MotoGP, saya ogah pakai kardus lagi sebagai ”lens hood”. Sebelum berangkat, saya otak-atik stoples plastik untuk dijadikan ”lens hood”. Untuk menyamarkan, saya semprot bagian dalamnya dengan cat hitam.
Meliput ajang balapan di Sirkuit Mandalika di Lombok Tengah, NTB, membuat saya merasa menjadi bagian yang turut merekam sejarah perkembangan sirkuit bertaraf internasional tersebut.
Menjelang gelaran Kejuaraan Dunia Superbike (WSBK) 2021,
yang terlihat baru jadi adalah sirkuit saja. Beberapa bangunan penunjang kebutuhan balapan masih dibuat bongkar pasang (knockdown) alias belum permanen. Kondisi di bawah tribune masih berlumpur usai diguyur hujan atau berdebu saat tanahnya kering. Sebagian rumput zona hijau di pinggir sirkuit tampak masih dirapikan oleh ibu-ibu pekerja.
Saat saya tiba di sana untuk meliput balapan utama WSBK 2021, sebagian besar tribune knockdown sudah jadi meskipun fasilitas masih terlihat seadanya. Kondisi jalan-jalan di kawasan sirkuit yang masuk kawasan ekonomi khusus (KEK) juga sudah lumayan bagus. Yang masih mengganjal adalah jalan raya di depan sirkuit yang menjadi jalur utama keluar masuk. Kondisinya masih jauh dari ideal karena sempit, berdebu, dan bergelombang.
Demikian pula saat liputan MotoGP 2022. Saat tes pramusim, lewat akun media sosialnya, para pebalap menyatakan kekagetannya karena tribune grandstand atau podium masih tahap konstruksi pembangunan. Namun, saat saya datang untuk meliput balapan utama, tribune itu sudah jadi.
Memang terasa saat itu semua pekerjaan infrastruktur dikebut sejadi-jadinya. Tak heran saat tes pramusim, pebalap mengeluhkan masih adanya debu di permukaan sirkuit yang membuat trek menjadi licin.
Terhitung sudah tiga kali saya liputan di Sirkuit Mandalika, yakni pada ajang WSBK 2021 dan 2022 serta MotoGP 2022. Barangkali karena selama ini dinilai cukup intens mengikuti MotoGP dan hobi sepeda motor, jadilah saya yang ketiban sampur, ditugasi oleh kantor berangkat ke Mandalika.
Baca juga: Merekam Atmosfer Balap Mandalika
Liputan ini membawa tantangan tersendiri. Sejak awal, meski belum jelas betul akan seperti apa situasinya, tetapi sudah terbayang proses liputannya akan butuh banyak pergerakan, harus lari ke sana-sini jungkir balik dengan semua peralatan kerja yang beratnya belasan kilogram.
Situasi pandemi Covid-19 membuat penyelenggara menetapkan persyaratan protokol kesehatan yang ketat dan sering berubah-ubah. Saya juga khawatir tidak mendapat kartu identitas peliput. Syukurlah tahap demi tahap pra-peliputan bisa dilewati dengan baik.
Untuk mengakses lokasi pemotretan di pinggir sirkuit, fotografer seperti kami butuh stiker ”sakti” bertuliskan scooter pass. Namun, tidak semua awak media bisa mendapatkannya karena pihak penyelenggara menyediakannya dalam jumlah terbatas. Kami harus adu cepat untuk memperolehnya.
Senang sekali ketika akhirnya bisa mengantongi scooter pass sehingga bisa ke mana-mana untuk merasakan langsung atmosfer balap, seperti melihat dari dekat kesibukan kru di garasi paddock, bertegur sapa dengan pebalap, mendengar bisingnya sepeda motor dari dekat hingga mencium bau khas gas buang dari bahan bakar oktan tinggi. Saat itulah saya baru tahu bahwa suara sepeda motor balap di MotoGP jauh lebih memekakkan telinga dibandingkan sepeda motor balap WSBK.
Yang paling bikin gembira, tentu saja bayangan bisa menyaksikan langsung aksi para pebalap berebut posisi terdepan yang selama ini hanya saya saksikan di layar kaca. Rasanya memompa adrenalin. Apalagi ini akan menjadi goresan sejarah karena untuk pertama kalinya lintasan sirkuit sepanjang 4,3 kilometer dengan 17 tikungan itu digunakan untuk ajang balap sepeda motor paling bergengsi di dunia.
Di salah satu titik di lintasan sirkuit itu, kaki ini juga menjejakkan tapaknya. Saya jadi membayangkan, seandainya saja bukan hanya kaki yang bisa ”mengaspal”, melainkan diri ini sambil menunggang sepeda motor. Namun, hingga kini, keinginan itu hanya angan semata.
Baca juga: Bukit 360, Sudut Favorit Anyar Pemotretan Balapan Mandalika
Segala euforia kesenangan itu berlangsung singkat saja karena segera berganti dengan hiruk pikuk mencari titik-titik terbaik untuk membidik aksi pebalap dari balik jendela bidik kamera.
Untung ada waktu dua hari sebelum hari-H untuk orientasi sehingga saya bisa mengelilingi perimeter dalam dan luar. Saya juga mengeksplorasi foto-foto unik dan detail suasana di paddock, baik persiapan tim balap dengan sepeda motor maupun persiapan mereka terkait dengan sirkuit.
Pada rangkaian kompetisi WSBK dan MotoGP, hari Kamis adalah sesi pengakraban pebalap dan tim dengan trek sirkuit. Sementara pada hari Jumat dan Sabtu adalah sesi latihan bebas dan kualifikasi penentuan pole position untuk para pebalap MotoGP.
Ini berbeda dengan kegiatan para pebalap WSBK. Dua hari itu digunakan untuk latihan bebas dan balapan pembuka (superpole) serta penentuan posisi balapan berikutnya.
Pada hari Minggu, fotografer praktis harus fokus pada balapan utama sehingga manajemen waktu menjadi kunci. Momen besar dapat terjadi kapan pun karenanya tak boleh lengah.
Setelah tiga kali liputan di Mandalika, akhirnya saya bisa menyusun pola alur pemotretan sejak hari Kamis hingga Minggu. Demikian pula dengan alur dan titik-titik pemotretan pada hari-H balapan utama.
Baca juga: Awas, Maling dalam Selimut
Urutannya demikian, pada sepertiga awal perolehan total lap, saya akan memotret dari perimeter luar untuk mengambil suasana rombongan pebalap selepas start di tikungan pertama dilanjutkan foto di beberapa titik tikungan.
Pada sepertiga waktu kedua, saya akan pindah ke perimeter dalam untuk mendapatkan sudut-sudut pemotretan yang lebih dekat dan menarik untuk merekam aksi overtaking sesama pebalap.
Sementara pada sepertiga lap terakhir, saya harus cepat-cepat bergeser ke zona podium untuk mengincar momen selebrasi dan penyerahan tropi. Tentu saja praktiknya di lapangan dinamis dan sangat mungkin berubah. Namun, setidaknya begitulah patokan dasar saya.
Oh ya, perimeter adalah jalan beraspal di sepanjang tepi sirkuit untuk mobilitas marshall, ofisial, jalur evakuasi pebalap dan sepeda motornya jika terjadi kecelakaan, serta fotografer. Perimeter ini terbagi menjadi ring atau lingkar luar dan dalam. Untuk menuju ring dalam, terdapat terowongan dengan jalan yang terdiri dari dua jalur.
Setiap jalur terdiri dari satu lajur yang hanya cukup untuk lewat satu mobil. Sepeda motor yang kebetulan berada di belakang mobil pun tak mungkin menyalip. Dengan kondisi demikian, tidak heran jika sering terjadi macet. Di tepi jalan terdapat semacam trotoar untuk akses berjalan kaki. Bayangkan jika kami sedang terburu-buru hendak pindah titik pemotretan tetapi harus bertemu kondisi macet seperti itu.
Memotret balapan semacam ini susah-susah gampang karena kegiatan utamanya hanyalah balapan memutari sirkuit yang dilakukan berulang-ulang sepanjang lomba.
Baca juga: Mualnya Sudah Hilang, tetapi Terus Terkenang
Mengingat balapan MotoGP di Mandalika bukan merupakan penentuan gelar juara dunia sehingga terjadinya peristiwa di luar rutinitas balap akan sangat menarik. Misalnya, atraksi pebalap melakukan stoppie, wheelie, atau burn out.
Stoppie adalah aksi pebalap mengerem roda depan dengan keras sehingga ban belakang terangkat. Sebaliknya dengan wheelie. Sementara burn out adalah aksi memutar roda belakang sambil mengerem roda depan sehingga gesekan roda belakang dengan aspal memunculkan asap.
Pada WSBK 2021, untunglah saya bisa mendapatkan momen ”stopprak” alias aksi stoppie oleh pebalap Toprak Razgatlioglu sebagai selebrasi usai berhasil mengunci gelar, lengkap dengan wearpack dan helm juara berwarna emasnya. Meskipun momen itu kemudian diulang Toprak di depan zona parc ferme di dekat panggung podium.
Demikian pula saat WSBK 2022, saya berhasil memperoleh momen selebrasi Alvaro Bautista usai mengunci gelar. Kalau momen-momen itu sampai lepas, lemaslah saya karena bisa dibilang misi liputan gagal total.
Momen pebalap harus keluar dari arena sirkuit karena gangguan teknis pada sepeda motor, cedera, kecelakaan, atau alasan lainnya juga merupakan obyek foto yang menarik.
Meskipun tentu saja tidak mengharapkan terjadinya kecelakaan, tetapi mendapatkan momen riders out, terutama high side crash, adalah salah satu yang paling diantisipasi oleh fotografer karena visualnya yang dahsyat, menampakkan sepeda motor dan pebalap ”terbang”.
Baca juga: Lima Kenangan di Gunung Ijen
Kreativitas karena kepepet
Untuk liputan WSBK 2021, saya berbekal kamera EOS 1DX Mk II dan EOS 5 D Mk IV lengkap dengan lensa sudut lebar 16-35 mm, tele 70-200 mm, dan supertele 400 mm. Namun, lensa andalan 400 mm minus lens hood alias tudung lensa. Padahal, saat itu sedang musim hujan sehingga tudung itu juga berfungsi sebagai kaitan rain cover atau pelindung lensa dari siraman air hujan.
Apa boleh buat, saat itu kondisi sedang tidak memungkinkan untuk memperoleh lens hood. Kalaupun bisa, harus membeli dari toko daring luar negeri karena barang itu sulit diperoleh di dalam negeri. Maklum, jarang-jarang pengguna punya lensa 400 mm tanpa tudungnya sehingga jarang ada toko yang menyetok si tudung. Sementara waktu yang tersisa sebelum keberangkatan sangat mepet.
Akhirnya, saya berangkat dengan berbekal plakban, jas hujan sekali pakai, dan sebait doa agar selama balapan tidak turun hujan. Namun, situasi berkata lain. Untunglah ada kardus air mineral di media center yang kemudian saya manfaatkan sebagai lens hood. Kardus itu saya balutkan di sekeliling lensa “termos” dengan bantuan plakban lalu saya selimuti dengan jas hujan.
Terhindarlah kamera dan lensa dari terkena langsung guyuran hujan. Walaupun untuk itu harus saya tebus dengan... rasa malu. Beberapa rekan sejawat yang melihat saya tampak tertawa. ”Ah, bodo amat, yang penting bisa motret dengan aman,” pikir saya. Untunglah masih ada aturan wajib memakai masker yang menyembunyikan muka ini.
Berikutnya, saat harus meliput MotoGP, kondisi belum berubah. Saya pun ogah pakai kardus lagi. Sebelum berangkat, saya otak-atik stoples plastik untuk dijadikan lens hood. Bagian alasnya saya lubangi sesuai ukuran moncong lensa 400 dan kupingnya saya gerinda dengan bantuan tukang las. Untuk menyamarkan, saya semprot bagian dalamnya dengan cat hitam. Eh, ternyata saat dipakai di sana, sebagian catnya mengelupas.
Seorang fotografer bule mengamati lens hood saya lalu bertanya, apakah itu bikinan sendiri. Sambil tersipu, saya mengiyakan dan segera melipir untuk menghindari pertanyaan selanjutnya.
Baca juga: Kisah Mistis dari Hutan Bakau Pesisir Sumatera
Pada kesempatan ketiga liputan ke sana alias saat WSBK 2022, saya sudah bisa menegakkan kepala saat menyandang lensa 400 mm karena lengkap dengan lens hood betulan. Walaupun, itu hasil pinjaman dari ”adik” perusahaan yang kali itu tidak mengirimkan fotografernya.
Di luar kendala itu, saya tetap senang mendapat kesempatan liputan ini karena bisa bertemu pebalap-pebalap dunia di ”rumah” sendiri. Bersama seluruh rakyat Indonesia lainnya, saya menjadi saksi sejarah perkembangan balap sepeda motor Tanah Air.
Tahun 1997, Sirkuit Sentul pernah menjadi tuan rumah balap sepeda motor sekelas MotoGP. Saat itu namanya masih GP 500. Selang 24 tahun kemudian, barulah Indonesia kembali menjadi tuan rumah hajatan balap sepeda motor internasional, dimulai dengan WSBK 2021 lalu MotoGP 2022.
Kali ini Indonesia baru bisa menyediakan sirkuit, tetapi semoga kelak akan mampu memunculkan local hero anak Indonesia sebagai pebalap tuan rumah yang berlaga tanpa wild card di balapan sepeda motor kasta tertinggi, WSBK dan MotoGP.