Ketika juri mencicipi durian, saya ikut mencicipi, mengamati warna dan mencium aromanya. Lalu saya mengintip lembar kertas penilaian juri untuk mengasah ”rasa” dalam menilai durian. Ada puluhan durian yang dicicipi juri.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Menjalankan tugas jurnalistik sebenarnya tidak hanya menghasilkan berita, yang lebih penting bisa mempelajari hal baru. Salah satunya, belajar tentang durian (Durio zibethinus) dari para ahlinya, mulai dari menilai kualitas buah hingga menelusuri pohon induk tunggal durian.
Pengalaman ini saya peroleh saat berlangsung festival durian di Kecamatan Singkawang Timur, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, September 2022. Sebagai juri adalah para peneliti durian yang juga tergabung dalam Tim Ekspedisi dan Eksplorasi Durian Unggul (TEEDU) Kalbar.
Salah satunya, Guru Besar Taksonomi Tumbuhan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang Amin Retnoningsih. Ia sekaligus ketua TEEDU Kalbar.
Juri lainnya, Ketua Yayasan Durian Nusantara Mohamad Reza Tirtawinata, yang juga anggota TEEDU. Tercatat juga sebagai juri, Anton Kamaruddin selaku Kepala Unit Pelaksana Tugas Pengawasan dan Sertifikasi Benih Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalbar serta anggota TEEDU.
Berdiskusi dengan mereka menyadarkan saya bahwa durian bak ”harta karun” bergelantungan di rimba Kalbar. Contohnya, durian si blih di perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Dalam beberapa aspek, durian ini bahkan dinilai lebih unggul dibandingkan durian musang king dari negara jiran, Malaysia.
Kalbar menjadi sentra materi genetik durian terbaik. Bahkan, para peneliti mengatakan, kemungkinan masih banyak lagi durian kualitas unggul di Kalbar yang belum dieksplorasi. Ibarat di atas langit masih ada langit. Semakin dieksplorasi, semakin banyak ditemukan durian yang lebih baik.
Hal itu pun menggugah rasa ingin tahu saya. Tidak hanya mendapatkan bahan liputan mendalam, saya juga beroleh pengetahuan berharga. Kesempatan ini tentu saja tidak boleh saya lewatkan.
Tertarik untuk mempelajari bagaimana para peneliti menjaring durian unggul, saya pun memperhatikan dengan saksama kerja mereka saat menjadi juri festival durian hingga menyusuri pohon induk tunggal (PIT) di rimba.
Sebelum festival dimulai, saya meminta izin kepada Ketua Yayasan Durian Nusantara Mohamad Reza Tirtawinata untuk berada di dekatnya saat ia menjadi juri festival. Ini agar saya bisa mengamati detail apa saja yang perlu diperhatikan dalam menilai kualitas durian.
”Silakan,” ujar Reza menyambut terbuka keinginan saya untuk belajar.
Setelah itu, satu per satu warga membawa durian ke teras salah satu rumah di Kecamatan Singkawang Timur, Rabu (28/9). Juri duduk di tempat yang telah disiapkan. Saya kemudian mengambil kursi dan duduk persis di sebelah juri agar bisa mengamati setiap proses.
Saya intip secarik kertas yang bertuliskan poin-poin penilaian, antara lain rasa, warna, tekstur, dan aroma. Ketika juri mencicipi durian, saya ikut mencicipi, mengamati warna, dan mencium aromanya. Setelah itu, saya melongok ke lembar kertas untuk melihat hasil penilaian juri untuk setiap aspek.
Saya juga melihat lembar penilaian juri lainnya untuk meluaskan perspektif. Para juri ini adalah orang-orang yang sudah sangat berpengalaman dalam mencari durian-durian terbaik.
Ada puluhan durian yang dicicipi para juri. Tidak mau ketinggalan, saya pun turut mencicipi durian satu per satu lalu ”mengintip” lembar penilaian juri. Dengan demikian, saya dapat mengasah ”rasa” dalam menilai durian.
Setidaknya saya memiliki gambaran mengenai durian dengan kualitas unggul lewat penilaian para juri. Inilah cara terbaik yang bisa saya pikirkan untuk menjadi ahli durian ”ala-ala” saya.
Tak hanya itu, saya juga bersama mereka mencari PIT durian yang menjadi juara festival, di lereng Bukit Rayo di Kecamatan Singkawang Timur. Hal ini dilakukan, selain untuk memastikan durian yang menjadi juara festival berasal dari PIT daerah tersebut, juga untuk mengambil sampel guna proses identifikasi dan basis data. Para juri yang juga para peneliti durian ini kemudian mengajari para pemilik PIT untuk menduplikasi PIT agar tidak punah.
Saya juga mengikuti para peneliti menyusuri lereng Bukit Rayo menuju lokasi PIT. Saya dan tim menapaki jalan selebar 80 sentimeter di lereng Bukit Rayo. Jalan itu menanjak dengan kecuraman 20-25 derajat. Kian ke atas, tanjakan kian terjal dengan kemiringan 30-40 derajat.
Di sebelah kanan terdapat jurang dengan kedalaman puluhan meter. Semakin ke atas, jalur semakin menantang, bahkan sesekali ada tanjakan dengan kecuraman 45 derajat. Beberapa kali tim harus beristirahat di tepi jalan, gundukan batu, atau di pondok warga di tengah hutan durian.
Kami juga harus melompati batu-batu yang berada di tengah sungai kecil. Di usia para peneliti yang sudah di atas 60 tahun, mereka berusaha mencapai lokasi PIT. Melihat spirit mereka, saya yang sebenarnya kelelahan kembali terbakar semangat untuk sampai di lokasi PIT.
”Untuk menghasilkan penelitian bermanfaat, perlu totalitas,” ujar Amin Retnoningsih.
Untuk mencapai lokasi salah satu PIT, kami butuh waktu 2-3 jam. Demikian pula waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke titik awal keberangkatan. Dengan demikian, total waktu pergi pulang 4-6 jam.
Saat turun dari lokasi, suasana sudah gelap karena mulai masuk malam, ditambah hujan deras yang mengguyur. Kami keluar hutan ditemani warga lokal dan pemilik PIT.
Sesekali kami harus saling bantu agar tidak terperosok ke lubang ataupun jurang. Penerangan sangat terbatas. Beberapa anggota tim memanfaatkan lampu ponsel sebagai penerangan.
Perjalanan tersebut hanyalah sebagian kecil dari eksplorasi yang pernah dilakukan tim. Mereka bahkan pernah mengeksplorasi durian hingga ke perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Di sanalah, tim menemukan durian si blih yang kualitasnya mengungguli durian musang king.
Bagi saya yang lahir di Kalimantan, berjalan di hutan dan masuk ke kampung-kampung bukan hal baru karena kerap saya lakukan di masa kecil. Namun, masuk hutan kali ini beda. Lebih dari sekadar menyusuri rimba, perjalanan ini memberi banyak perspektif dan pengetahuan baru.
Perjalanan semacam ini saya yakini akan berguna bagi masa depan daerah karena durian bisa menjadi alternatif pengembangan ekonomi masyarakat, sekaligus menjaga kelestarian di tengah degradasi lingkungan yang terus terjadi di Kalbar.