Mulus Berkat Bahasa Tetun
Rafael dan keluarganya tidak pernah beli beras. Mereka mampu swasembada meski tinggal di daerah kering di wilayah tapal batas Indonesia-Timor Leste. Bagaimana mungkin?
Kamis (7/7/2022) pagi, kami bertolak dari Kota Kupang menuju Atambua, Kabupaten Belu, yang berada di wilayah utara Pulau Timor. Dua kota di Nusa Tenggara Timur ini terpaut jarak lebih kurang 275 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 8 jam.
Jalan dari Kota Kupang ke Atambua yang statusnya jalan nasional ini kondisinya relatif mulus. Jalur ini bagian dari rute menuju Dili, ibu kota negara Timor Leste. Jarak antara Kota Kupang dan Dili sekitar 400 kilometer yang ditempuh sekitar 12 jam.
Kali ini saya beruntung karena mendapat teman perjalanan dan liputan, wartawan senior Kompas, Kornelis Kewa Ama, yang sekaligus mengendarai mobil. Ia sungguh menguasai rute yang kami tempuh lantaran sudah lebih dari 15 tahun menjelajahi Pulau Timor. Belum terhitung 5 tahun saat masih sebagai calon koresponden.
Ia pernah ditugaskan Kompas di Dili pada era sebelum hingga sesudah referendum Timor Timur 1999. Setelah itu, ia dipindah tugas ke Jayapura, Papua, lalu kembali bertugas di Kupang tahun 2006 hingga saat ini.
Untuk mencapai Atambua dari Kota Kupang, kami harus melewati tiga kabupaten, yakni Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara. Perjalanan ini membelah bukit dan gunung serta menyeberangi sungai, jauh dari pesisir pantai. Pemandangan sepanjang perjalanan masih relatif hijau.
”Dua bulan lagi, pasti jarang ketemu daun hijau. Semua akan berubah coklat karena kemarau panjang. Nanti juga lebih sering ketemu sapi yang kurus karena kurang makan,” ucap Kornelis yang berinisial KOR itu.
Timor adalah pulau batu karang. Setiap tahun, hampir seluruh pulau itu dilanda kekeringan ekstrem. Karena itu, jarang sekali didapati areal pertanian yang menghijau sepanjang tahun. Yang sering terdengar adalah laporan gagal panen jagung atau ternak sapi yang mati akibat kekurangan air.
Perjalanan liputan kali ini untuk memotret kehidupan masyarakat di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Kehidupan yang perlahan mulai menikmati kue pembangunan. Presiden Joko Widodo berulang kali memantau langsung perkembangan pembangunan di sana.
Baca Juga: Turiskain, Perbatasan Tradisional Indonesia-Timor Leste
Salah satu lokasi yang kami datangi adalah perbatasan Turiskain di Desa Maumutin, Kecamatan Reihat. Setelah menumpang istirahat di Atambua, keesokan harinya kami berangkat pagi-pagi benar setelah mendengar kabar bahwa di Turiskain terdapat pasar perbatasan. Kegiatan jual beli melibatkan orang-orang Indonesia dan Timor Leste.
Turiskain dan Atambua terpaut jarak 40 kilometer dengan kondisi jalan yang jauh lebih baik dibandingkan sebelum era Jokowi. Dulunya, waktu tempuh antara keduanya lebih dari 2 jam. Namun, kini hanya sekitar 1 jam. Warga menyebutnya jalan sabuk merah.
Sayangnya, di jalan nasional itu masih minim petunjuk jalan. Orang yang baru pertama kali melintasinya kemungkinan besar akan kesulitan. Mengandalkan Google Maps juga sering tidak akurat. Satu-satunya jalan adalah bertanya kepada warga setempat. Mereka dengan ramah membantu.
Akan tetapi, setibanya di Turiskain, tak terlihat tanda-tanda kegiatan pasar. Yang kami dapati hanyalah bangunan pasar yang sebagian besar tertutup semak belukar. Tempat jualan juga sudah berubah menjadi tempat istirahat sapi. Penuh kotoran dan bau. Seorang pria tampak duduk di kantor pasar sambil menunggui sapinya merumput tak jauh dari situ.
Baca Juga: ”Tenggelam” di Perkampungan Terapung Suku Bajo
Melihat kami, pria itu beringsut pergi. Sepertinya ia mengira yang datang adalah petugas yang akan memeriksa kondisi pasar. Ia khawatir ditanya macam-macam, termasuk perbuatannya menggembalakan sapi di dalam areal pasar. Kornelis lalu turun dari mobil dan berjalan mendekati pria tersebut.
”Katuas naran saida?” tanya Kornelis dalam bahasa daerah Tetun. Artinya, Bapak nama siapa?
Bahasa Tetun adalah bahasa daerah yang dipakai oleh sebagian masyarakat di Pulau Timor. Pengguna bahasa ini tersebar di sebagian Kabupaten Malaka dan seluruh Kabupaten Belu. Bahasa Tetun juga dipakai warga negara Timor Leste.
Mendapat pertanyaan tak terduga, pria tersebut mengurungkan langkahnya lantas berbalik menatap Kornelis dengan raut wajah penuh keheranan. Tak lama ia tersenyum dan menjawab, ”Rafael Lelo.”
Namanya Rafael Lelo, salah satu tokoh masyarakat di Desa Maumutin. Pria berusia 67 tahun itu pernah jadi aparatur desa.
Baca Juga: Terjebak Tanjakan Penyelesan hingga Dihantui Hukum Murphy
Rafael dan Kornelis lalu berbicara dalam bahasa Tetun. Dari Rafael, diperoleh informasi bahwa pasar perbatasan itu ditutup sejak pandemi Covid-19 merebak. Setelah pandemi mereda, Pemerintah Timor Leste belum mengizinkan lagi warganya untuk datang ke pasar tersebut. Rencana kami meliput pasar perbatasan pun berantakan.
Namun, berkat obrolan dengan Rafael, kami memperoleh informasi bahwa Turiskain merupakan salah satu lumbung pangan di perbatasan. Daerah itu dialiri Sungai Malibaka yang membatasi Indonesia dan Timor Leste. Di sisi sungai itulah, warga bertani dengan menanam padi, jagung, dan aneka tanaman hortikultura.
Mereka mampu swasembada beras. Bahkan, sering kali membagi beras untuk orang yang membutuhkan.
Rafael adalah salah satu warga yang memiliki banyak lahan pertanian. Ia dan keluarga hampir tidak pernah beli beras. Mereka mampu swasembada beras. Bahkan, sering kali berbagi beras untuk orang yang membutuhkan. Ia punya lumbung padi di belakang rumah. Rafael terhitung petani sukses di Turiskain.
Berkat keuletannya bertani, Rafael berhasil menyekolahkan 13 anaknya. Bahkan, ada yang sampai meraih gelar magister. Banyak warga sekitar bekerja sebagai buruh tani di lahan miliknya sehingga tidak tergoda menjadi pekerjaan migran. Kabupaten Belu merupakan salah satu penyumbang pekerja migran nonprosedural (TKI ilegal).
Baca Juga: Swasembada di Tapal Batas
Cerita tentang swasembada pangan ini kemudian kami angkat sebagai cerita inspiratif dari tapal batas. Bahwa di banyak sudut Pulau Timor yang gersang dan sering dilanda paceklik, ada daerah yang sukses mengolah lahan pertanian. Cerita inspiratif ini menurut kami sangat menarik untuk diwartakan.
Di luar itu, penguasaan bahasa Tetun oleh Kornelis yang bukan orang Pulau Timor sangat membantu kelancaran proses liputan. Ini bukan berarti warga setempat tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka sangat fasih. Hanya saja penggunaan bahasa Tetun benar-benar membantu memuluskan proses komunikasi. Mereka merasa kami adalah bagian dari mereka.
Kami pun jadi teringat dengan ucapan pemimpin revolusioner Afrika Selatan, Nelson Mandela. Katanya, ”Jika Anda berbicara dengan seseorang menggunakan bahasa yang dia mengerti, kata-kata Anda akan masuk ke dalam kepalanya. Namun, jika Anda berbicara dengan bahasa dia sendiri, kata-kata Anda akan masuk ke dalam hatinya.”
Obrigado, Tio Rafael. Terima kasih, Om Rafael....