”Konser Neraka” Deep Purple, Kedatangan Gerald Ford, dan Operasi ke Timtim
Ketika Deep Purple berkonser di Gelora Senayan pada pengujung tahun 1975, di Istana Negara Presiden Soeharto tengah menjamu Presiden AS Gerald Ford. Dua hari setelahnya, digelar Operasi Seroja ke Timtim.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2FBW-19751205-III-17-MGS017_1629906379.jpg)
Grup musik asal Inggris, Deep Purple, tampil menghibur penggemarnya di Jakarta, 4-5 Desember 1975. Penampilan mereka diwarnai dengan permainan asap buatan yang memukau pada akhir pertunjukan.
Ini tentu suatu kebetulan tak terulang. Ketika itu grup musik super dari Inggris, Deep Purple, berkonser di Gelora Senayan Jakarta, Jumat (5/12/1975). Pada malam yang sama, di Istana Negara yang hanya berjarak 18 menit berkendara dari Senayan, Presiden Soeharto tengah menjamu tamu negara Gerald Ford, Presiden Amerika Serikat yang hanya singgah di Jakarta selama 20 jam.
Ketika David Coverdale, Tommy Bolin, Jon Lord, Glenn Hughes, dan Ian Paice beraksi pada hari kedua konser Deep Purple, pada malam yang sama Presiden Soeharto dan Ibu Tien tengah menjamu Presiden Gerald Ford dan Ibu Negara dalam jamuan makan malam khas Nusantara dengan menu, antara lain soto madura, makanan daging, ikan bandeng, dan minuman sari buah sirsak. Musik dan tari-tarian Jawa, Bali, dan Sumatera juga disajikan untuk para tamu negara, termasuk Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger (Kompas, Sabtu 6 Desember 1975).
Keesokan paginya, halaman utama surat kabar Kompas edisi Sabtu (6/12/1975) tumplek-blek berisi foto-foto dan berita sambutan kunjungan Presiden Gerald Ford dan Ibu Negara Betty Ford. Berita pun didominasi hasil pertemuan kedua Kepala Negara.
Dua foto besar menghiasi lima dari sembilan kolom halaman satu Kompas. Tergambar suasana penyambutan yang dijaga ekstra ketat saat kedua Kepala Negara melintasi jalanan dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Istana Negara melalui simpang Semanggi di Senayan, tidak jauh dari tempat konser akbar Deep Purple di Gelora Senayan.
Dalam iring-iringan konvoi, tampak bendera tiap negara terpasang pada mobil yang ditumpangi Presiden Gerald Ford dan Presiden Soeharto. Kedua mobil itu diiringi mobil-mobil kap terbuka yang penuh oleh aparat ”US Secret Service”. Dua di antaranya siap bergerak melindungi samping kiri dan kanan mobil Presiden Gerald Ford yang antipeluru.
Acara jamuan terhadap tamu-tamu dari AS tidak hanya berlangsung di Istana Negara. Sekitar 200 wartawan dari AS juga disambut khusus. Mereka datang dari Peking, China, seusai meliput kunjungan kenegaraan Presiden Ford di sana.
Baca juga : Dari Lapangan Berakhir di Ruang Perawatan
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2FBW-19751205-IV-13-IKA005_1629908826.jpg)
Hujan rintik-rintik dan penjagaan keamanan yang ketat menyambut kedatangan Presiden Amerika Serikat Gerald R Ford di Jakarta, Jumat (5/12/1975) sore. Pesawat kepresidenan Boeing 707 ”Air Force One” yang di beri nama ”The Spirit of 76” mendarat di landasan Halim Perdanakusuma. Ford merupakan Presiden AS kedua yang datang ke Indonesia setelah Presiden Nixon tahun 1969.
Para wartawan dari AS itu mencarter khusus dua pesawat, PanAm (Pan American Airlines) dan Northwest Orient. Keduanya diparkir dengan posisi khusus di Bandara Halim Perdanakusuma, melindungi pesawat ”Air Force One” yang ditumpangi Kepala Negara mereka.
Para wartawan AS ini dijamu khusus oleh kalangan pers Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta jajaran Departemen Penerangan Republik Indonesia dalam sebuah jamuan tersendiri di Gedung Press Club, Jalan Juanda, tak jauh dari Istana Negara dan Sekretariat Negara.
Kibaran Merah Putih di sepanjang jalan
Apabila Anda penggemar musik rock yang waktu itu kebetulan melewati jalan protokol Sudirman untuk mengantar keberangkatan para personel Deep Purple dari Hotel Sahid Jaya di Jalan Sudirman menuju tempat konser di Gelora Senayan, jangan keburu ge-er (gede rumangsa) dulu. Bendera Merah Putih yang berkibar di sepanjang jalan saat itu bukan untuk mengibari bintang-bintang rock pujaan Anda.
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (KDKI) Ali Sadikin saat itu memberi instruksi agar warga penghuni jalan protokol Jakarta, dari dan menuju Bandara Halim Perdanakusumah, wajib mengibarkan bendera selama dua hari sebelum kedatangan tamu negara, yakni pada 5 dan 6 Desember 1975, .
Baca juga : Berbalut Rompi Antipeluru, Pengalaman Saya Selama di Kota Kabul
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2FJL-MT-HARYONO1-02_1629909656.jpg)
Ribuan warga Jakarta berdiri di sepanjang Jalan MT Haryono-Gatot Subroto untuk menyambut kedatangan Presiden Amerika Serikat Gerald Ford, Jumat (5/12/1975). Ketika itu Jalan MT Haryono dan Gatot Subroto masih terdiri dari dua jalur untuk setiap arahnya, yakni jalur cepat dan jalur lambat (tidak terlihat jelas dalam foto). Di antara jalur cepat dan jalur lambat terdapat jalur hijau yang sangat teduh.
Kedatangan Presiden Ford membuat obyek-obyek vital dijaga ketat. Gelora Senayan yang menjadi tempat konser tak luput dari pengamanan ekstra ketat. Meskipun hanya konser musik, penjagaannya dilakukan oleh aparat yang bersiaga penuh, lengkap dengan anjing pelacak dan anjing doberman.
Pengamanan ketat ini tidak lepas dari standar protokoler pengamanan US Security Service menjelang kedatangan Kepala Negara mereka. Beberapa hari sebelum hari-H, sesuai prosedur standar operasi (SOP), aparat US Secret Service terlebih dulu datang dan mensterilkan tempat-tempat yang berdekatan dengan jalan-jalan yang akan dilewati Kepala Negara dari AS tersebut.
Di sela kehadiran mereka di Jakarta, terjadi insiden yang membuat trauma, yakni peristiwa tewasnya kru (roadies) Deep Purple bernama Patrick atau Patsy Collins (31) yang jatuh dari lubang lif lantai 8 Hotel Sahid Jaya.
Gara-gara pengamanan yang ekstra ketat di Gelora Senayan, dalam sebuah wawancara internasional, pemain bass Deep Purple, Glenn Hughes, mengatakan, ”Konser di Jakarta seperti di neraka. Masih untung bisa lolos dari negeri itu dalam keadaan selamat....”, seperti termuat dalam DeepPurpleNet.
Mungkin Glenn Hughes mencampuradukkannya dengan suasana hati yang kala itu merundung grup musik tersebut. Di sela kehadiran mereka di Jakarta, terjadi insiden yang membuat trauma, yakni peristiwa tewasnya kru (roadies) Deep Purple bernama Patrick atau Patsy Collins (31) yang jatuh dari lubang lif lantai 8 Hotel Sahid Jaya. Ia tewas setelah berantem dalam keadaan mabuk dengan sesama kru, Patrick Callaghan (35), seusai bercumbu dengan perempuan.
Insiden ini membuat Patrick Callaghan dan manajer tur Deep Purple, Rob Cooksey, sempat mendekam di tahanan kepolisian, dini hari setelah hari pertama konser mereka pada 4 Desember 1975. Patrick dan Cooksey sempat membayar masing-masing 2.000 dollar AS kepada pihak kepolisian agar paspor mereka keluar (Kompas, 8 Desember 1975).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2FDeepPurpleSha0009_1629907959.jpg)
Deep Purple dalam jumpa pers di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (3/12/1975). Dari kanan ke kiri, pemain bass Glenn Hughes, drumer Ian Paice, gitaris Tommy Bolin, Jon Lord (tak kelihatan, tertutup Bolin), dan vokalis David Coverdale yang berbaju kembang-kembang.
Deep Purple merangkum secara gamblang tur mereka di Australia, Asia—termasuk kejadian kelam di Jakarta—serta Amerika (1975), dalam sebuah dokumentasi film konser ”Deep Purple, Rises over Japan” yang direkam secara profesional dengan lensa kamera 16mm di Budokan Hall, Jepang, 15 Desember 1975, selepas konser mereka di Jakarta.
Film dokumentasi konser Deep Purple ini baru dirilis tahun 1977. Lebih lengkap lagi dirilis dalam ”This Time Around: Live in Tokyo (2001)”. Saat itu, yang paling banyak beredar dalam format pita VHS yang kurang jelas gambarnya. Setelah 36 tahun kemudian, rekaman konser itu dipulihkan dalam kemasan format Blu-Ray berjudul ”Deep Purple: The Phoenix Rising” (2011). Edisi terlengkap ini, diisi dengan campuran suara stereo asli dan surround 5.1 baru.
Rekaman konser ”Deep Purple: The Phoenix Rising” yang istimewa ini sempat memenangi penghargaan Leserwahl di Jerman sebagai ”Blu-Ray Musik Terbaik” (2011). Rekaman ini sekarang bisa disaksikan via YouTube.
Minta tambahan
Deep Purple yang tengah tur promosi album terbaru mereka, ”Come Taste the Band” (1975), singgah di Jakarta atas ’rayuan’ wartawan majalah Aktuil Bandung, Denny Sabri.
Denny kebetulan kenal dekat dengan Rob Cooksey, manajer tur Deep Purple dalam tur Australia, Asia, dan Amerika, kali itu. Deep Purple bersedia singgah setelah diberi uang muka oleh Denny sebesar 10.000 dollar AS untuk bermain di depan 8.000 penonton.
Saat tiba di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Deep Purple dinego agar bersedia tampil dalam dua pertunjukan pada 4 dan 5 Desember 1975. Mereka sempat merasa terkecoh karena ternyata harus main di dua pertunjukan dan di depan massa yang jauh lebih banyak dari persetujuan semula. Mereka katakan, penonton ada sekitar 75.000 per pertunjukan.
Baca juga : Mampir ke Rumah Viktor Axelsen di Denmark

Penulis berfoto dan wawancara doorstop dengan gitaris Tommy Bolin sesudah konferensi pers di Hotel Sahid Jaya, Rabu (3/12/1975). Bolin bergabung dengan Deep Purple menggantikan Ritchie Blackmore yang hengkang bareng vokalis utama mereka, Ian Gillan, serta bassis Roger Glover.
Tetapi, menurut perkiraan saya, hari pertama konser Deep Purple jumlah penontonnya paling 30.000 orang, dan pada hari kedua 40.000 orang. Harga karcisnya bervariasi, mulai dari 5.000 dan Rp 7.500 untuk VIP, serta Rp 3.000, Rp 2.000, Rp 1.000 untuk kelas I dan ”kelas festival” yang berdiri di depan panggung.
Denny Sabri kepada saya mengungkapkan, pihak Deep Purple sempat kecewa yang diungkapkan oleh Rob Cooksey. Akibatnya, dari semula mereka setuju terima bayaran manggung Rp 15 juta, kemudian menuntut tambahan sehingga total bayaran mencapai sekitar Rp 45 juta.
Sementara grup cadas kita, God Bless, yang tampil sebagai pembuka konser pada hari kedua mendapat honor Rp 3 juta. Meski penuh persoalan, menurut Denny Sabri, promotor Buena Ventura berhasil meraup pemasukan Rp 150 juta dari dua hari penampilan Deep Purple di Gelora Senayan.
Sebagai gambaran, kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing, menurut Kompas terbitan 6 Desember 1975, adalah 1 dollar AS Rp 416. Bandingkan dengan kurs saat ini (per 24/8/2021), 1 dollar AS Rp 14.402,65.
Meski dalam beberapa media internasional, para pemain Deep Purple, seperti Glenn Hughes, Jon Lord, dan Ian Paice, menyebut konser di Jakarta sebagai ”konser neraka”, konser Deep Purple ini menjadi tonggak sejarah panggung musik Indonesia sebagai gelaran musik terbesar.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2FBW-00023607-16-RNA009_1629911578.jpg)
Grup musik God Bless saat tampil di Malang, Jawa Timur. God Bles pernah menjadi band pembuka Deep Purple pada hari kedua konser mereka di Jakarta, Jumat (5/12/1975).
Peristiwa Timtim
Meski konsernya heboh dan sukses, tulisan saya tentang konser Deep Purple terpental ke hari Senin (8/12/1975) atau tiga hari setelah konser, kalah dengan berita-berita kunjungan tamu negara.
Suasana media di Indonesia saat itu memang sedang hangat-hangatnya memberitakan kedatangan Presiden AS Gerald Ford dan Betty Ford yang bersamaan dengan hari pelaksanaan konser Deep Purple. Setelah kunjungan itu, ganti media ramai oleh pemberitaan tentang Operasi Seroja ke Timtim.
Operasi yang dikirim Indonesia pada 7 Desember 1975 atau dua hari setelah kunjungan Presiden AS Gerald Ford dan konser Deep Purple di Jakarta itu diberitakan media asing sebagai ”invasi" Indonesia ke Timor Leste (Timtim).
Ada spekulasi beredar bahwa momentum kedatangan Presiden AS Gerald Ford saat itu dimanfaatkan Indonesia sebagai ”saat yang tepat untuk melakukan operasi militer” di Timor Timur.
Hari Jumat (28/11/1975) atau sepekan sebelum kedatangan Presiden Ford dan konser Deep Purple, pihak Fretilin memproklamirkan kemerdekaan Timor Portugis.
Proklamasi ini tentu diprotes UDT dan Apodeti, partai yang prointegrasi dengan Indonesia. Kedua partai menilai, proklamasi itu telah mencederai ”memorandum kesepahaman” antara Fretilin, UDT, dan Apodeti yang disepakati di Roma pada awal November 1975.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2FBW-19751209-I-20-CMK011_1629935965.jpg)
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger saat mendampingi Presiden Gerald Ford dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (6/12/1975).
Menlu AS Henry Kissinger yang juga ke Jakarta menyatakan tak mengakui proklamasi sepihak Fretilin ini. Hubungan Republik Indonesia dengan Portugal saat itu pun putus.
Indonesia kemudian menggelar Operasi Seroja di Timor Timur, dua hari setelah kunjungan Presiden AS Gerald Ford ke Jakarta (5/12/1975). Beberapa saat setelah Operasi Seroja, ibu kota Timport (Timor Portugis), Dili, jatuh ke tangan empat partai pro-Indonesia, yakni UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalhista, pada 7 Desember 1975.
Setelah jatuhnya Dili, Portugal memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia yang sudah dibina sejak 1964, seperti diakui oleh Menlu RI Adam Malik.
Suasana hangat di atas sekadar sebagai gambaran, mengapa berita hangat konser musik rock dari sebuah grup terbesar sejagat saat itu, Deep Purple, bisa sampai tergusur.
Tulisan reportase saya tentang konser Deep Purple baru dimuat di Kompas edisi Senin (8/12/1975), yakni di halaman III dengan dua foto selebar empat kolom. Gambarnya, penghujung konser Deep Purple yang membawakan ”Highway Star”, lagu yang saat itu paling akrab di telinga penggemar Deep Purple di Indonesia, selain ”Smoke on the Water”.
Dan asap mesin dry ice yang tebal pun memenuhi panggung. Para personel Deep Purple bergegas turun panggung seusai ”Highway Star” karena suasana konser malam itu berubah rusuh.
JIMMY S HARIANTO, wartawan Kompas 1975-2012