Delapan Jam Menjadi Pemilik Mobil Super Si ”Kuda Jingkrak”
Jika Thomas Magnum memacu kencang mobil Ferrari 308 dengan latar pemandangan indah Hawaii, saya harus ekstra hati-hati mengendarai Colt T 120 agar tidak menyerempet becak atau sepeda ontel di jalanan kota Cilacap.
Bagi sebagian orang, berfoto dengan latar mobil super yang mahal adalah impian hidup. Apalagi bisa duduk di kursi kemudi, menyalakan mesin mobil, lalu memacunya kencang di jalanan. Saya termasuk golongan sebagian orang tersebut. Bahkan, saya sedikit beruntung karena pernah ”memiliki” sebuah mobil super walaupun hanya delapan jam.
Sebelum itu, saya tidak pernah lupa cerita hidup saya yang satu ini. Saat pertama kali belajar menyetir mobil milik bapak saya, yaitu mobil Mitsubishi Colt T 120, saya merasakan diri bak seorang pebalap. Masih ingat betul ketika kaki menginjak pedal gas, lalu tangan kiri mengganti tuas presneling, saya merasa seperti Thomas Magnum, tokoh detektif partikelir dalam serial Magnum P.I. yang tayang di TVRI sebelum siaran Dunia Dalam Berita.
Bedanya, Thomas Magnum memacu kencang mobil Ferrari 308 di jalanan Hawaii dengan pemandangan indah. Sementara saya harus menyetir dengan ekstra hati-hati agar tidak menyerempet becak atau sepeda ontel di jalanan kota Cilacap.
Namun, saya sedikit beruntung karena pernah ”memiliki” sebuah mobil super meski hanya delapan jam.
Saat kecil, saya pernah bermimpi menjadi pereli seperti Ricardo Gelael atau Alex Asmasoebrata. Tapi, namanya juga cita-cita, belum tentu tercapai. Masuk masa SMA, kuliah, dan kemudian bekerja sebagai jurnalis, minat saya menjadi pebalap perlahan menguap. Meski demikian, kemampuan menyetir saya tetap yang paling bagus, setidaknya di lingkungan keluarga.
Indikasinya, setiap bepergian dengan keluarga dan saya yang kebagian tugas menyetir, bapak saya selalu terlelap setelah 30 menit perjalanan. Sementara jika kakak atau adik saya yang menyetir, bapak saya selalu siaga memantau jalan dan sebentar-sebentar memberi pengarahan. Mirip seperti instruktur kursus setir mobil.
Pada tahun 2015, semangat saya menjadi pebalap muncul kembali. Saat itu, kantor menugaskan saya memenuhi undangan uji kendara mobil super (supercar) nan mewah, Ferrari. Wah, ini mobil impian saya. Serunya lagi, saya akan test drive di ”kampung halaman” Ferrari, yaitu Maranello, Italia.
Tentu saja kebahagiaan saya menjadi berlipat ganda. Pertama, dapat tugas ke luar negeri. Kedua dan yang paling penting, akhirnya saya bisa mencicipi kursi Ferrari yang saya bayangkan pastinya empuk sekali.
Singkat cerita, saya tiba di Maranello pada Agustus 2015. Dari Indonesia, saya berangkat bersama teman jurnalis Arif Arianto dan ditemani Inez Lawri dari Ferrari Jakarta sebagai pengundang.
Dua hari pertama di Maranello diisi dengan kunjungan ke Museum Ferrari dan melihat lini produksi mobil-mobil berjuluk ”kuda jingkrak” tersebut. Lalu tibalah yang ditunggu-tunggu, uji kendara salah satu mobil, yaitu Ferrari California T.
Baca juga : Mobil-mobil yang Bikin Gemas sampai Lemas
Malam sebelumnya, saya dan Arif diberi tahu bahwa uji kendara Ferrari California T akan melintasi jalan-jalan di sekitar kota Maranello. Mendengarnya, kami sangat bersemangat. Pagi pukul 08.00 waktu setempat, kami telah menunggu di pintu merah sesuai jadwal. Pintu ini tempat ”sakral” yang menjadi gerbang pabrik Ferrari sejak pertama kali beroperasi pada 1943.
Kepala Komunikasi Perusahaan Ferrari Joanne Marshall, yang sejak hari pertama mendampingi kami, muncul dari dalam kantor, lalu memberikan sebuah kunci mobil. Dia lalu menunjuk sebuah mobil Ferrari California T berwarna biru yang diparkir di dekat tempat kami berdiri. ”Mobil ini milik kalian. Kembalikan pada pukul empat sore,” ujar Joanne.
Kami terkejut dan bingung. Dunia seolah berhenti bergerak. Selama sekian detik kami hanya bengong, tidak tahu harus bagaimana, sambil berusaha mencerna situasi. Sebelum ini, kami mengira masing-masing bakal mengendarai sebuah Ferrari ditemani seorang pemandu.
Joanne memecah suasana dengan mengajak kami ke mobil. Dia lalu menekan layar untuk menyalakan GPS. Di sana telah tertera rute perjalanan yang harus kami lalui. ”Kalau mau balik, tekan saja tombol ini. Nanti GPS akan mengarahkan kembali ke pabrik Ferrari,” ujar Joanne lalu meninggalkan kami yang masih kebingungan.
Kami berdua kemudian ”lempar-lemparan”, persis seperti ketika dua anak kecil harus menentukan siapa yang akan mandi duluan. Kami sama-sama enggan menjadi yang pertama menyetir Ferrari keluar dari pabriknya. Pembicaraan untuk memutuskan siapa yang akan menyetir duluan sudah seperti pembacaan tuntutan di pengadilan, panjang.
Akhirnya, setelah melihat suasana bakalan deadlock, saya merelakan diri untuk menyetir duluan mobil sport berwarna biru itu. Semangat yang semula membara pun seketika padam. Bukan apa-apa, ketika harus mengeluarkan mobil Ferrari dari parkiran, saya takut akan menyerempet pagar pabrik. Nanti ndempul-nya di mana?
Baca juga : Gagal Bertemu Messi di Camp Nou
Keringat dingin berebut menembus kulit. Suasana yang saya impi-impikan berubah menjadi tidak nyaman. Napas saya tertahan ketika menginjak pedal gas mobil.
Untungnya sebelum ke Maranello, saya sudah belajar menyetir mobil Ferrari bersama kru Ferrari di Jakarta. Bedanya, di Italia posisi kemudi berada di sisi kiri mobil. Ini berarti akan menjadi pengalaman pertama saya mengendarai mobil dengan setir kiri.
Untungnya, posisi pedal gas dan rem tidak berbeda. Saya hanya perlu memusatkan pandangan ke depan. Saya bertanya kepada Arif rute yang akan kami tempuh. ”Kayaknya ke kiri, deh,” jawab Arif santai sambil melihat ke layar GPS.
Kami kemudian berbagi tugas. Saya fokus menyetir dan melihat jalan, sementara Arif tidak boleh lepas memelototi GPS. Perlahan, mobil kami melintasi Maranello. Jangan bayangkan Maranello kota metropolis dengan lalu lintas yang padat seperti Milan dan Roma.
Suasana Maranello lebih mirip perdesaan. Di perjalanan, terkadang kami mencium bau pupuk kandang yang digunakan untuk pertanian. Kalau di Indonesia, Maranello ini mungkin setingkat kota kecamatan di luar Pulau Jawa yang relatif sepi.
Kami kemudian melaju dengan pelan dan santun. Namun, rasanya tetap waswas karena meskipun bepergian berdua, dua-duanya tidak mengenal sama sekali rute yang akan dilalui.
Tiba-tiba saya merasa sedang berada di salah satu adegan film The Godfather atau serial televisi David Rocco’s Dolce Italy yang menyajikan keindahan alam Italia.
Oleh GPS, kami diarahkan menuju daerah bernama Verica, Seina. Seperti apa wujudnya, kami tidak tahu. Lokasi itu berjarak 180 kilometer dari Maranello. Akhirnya kami bondo nekat saja, asal yakin jalan.
Keluar dari Maranello, kami melintasi perdesaan dengan pemandangan perbukitan kebun anggur. Tiba-tiba saya merasa sedang berada di salah satu adegan film The Godfather atau serial televisi David Rocco’s Dolce Italy yang menyajikan keindahan alam Italia.
Kecemasan saya mulai hilang dan berganti dengan keasyikan mengendarai Ferrari. Saya mulai menginjak dalam pedal gas. Tentu saja, saya tidak berani ugal-ugalan karena rute jalannya sempit dan berkelok-kelok.
Baca juga : Kemanusiaan yang Mengalahkan Trauma Teror Bom di Surabaya
Meski demikian, keunggulan kontrol traksi mobil super ini saat di tikungan membuat saya untuk pertama kalinya menikmati bahwa menikung itu asyik sekali. Jauh lebih asyik ketimbang ketika saya melibas tikungan di tanjakan Nagreg, Jawa Barat, dengan menggunakan mode sport mobil Honda Jazz saya.
Saya jadi seperti anak kecil yang kegirangan dibelikan mainan oleh orangtua. Meski dari luar tampak tenang, dalam hati melonjak-lonjak. Apalagi, bunyi garang dari knalpot Ferrari membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi bergairah.
Lepas dari kelokan perdesaan, mobil masuk ke kota kecil, Vignola. Di sini, saya merasa seperti bintang film terkenal. Semua terkagum saat memandang ke arah saya. Padahal, sebenarnya mereka hanya melihat ke mobil dan bukan ke pengemudinya. Mulai halu....
Baca juga : Di Balikpapan, Aku Menjadi ”Dukun” Dadakan
Saat berhenti di perempatan jalan karena lampu merah menyala, saya menurunkan kaca mobil dan menyandarkan lengan di pintu mobil. Hm, kok lebih mirip sopir angkot saat menunggu penumpang, ya.
Kawasan Verica yang menjadi tujuan kami adalah desa kecil di perbukitan. Kami memutari kawasan Verica sebelum kemudian berhenti di sebuah area parkir di tengah desa. Di sampingnya, sebuah minimarket dan bar. Kami lalu beristirahat setelah memesan kopi espreso.
Sembari menyeruput kopi pahit, kami berinteraksi dengan penduduk setempat. Umumnya, mereka mengomentari mobil yang kami bawa. Salah seorang warga bertanya dari mana kami berasal. Ketika kami menjawab Indonesia, dia langsung merespons, ”O, Bali.”
Ternyata dia pernah tinggal di Bali selama beberapa waktu saat mendapat pekerjaan memasang lantai marmer Italia di sebuah vila mewah. Meski berbincang dalam bahasa Inggris seadanya, saya merasa mereka adalah orang-orang yang ramah terhadap orang yang baru dikenal.
Selesai beristirahat, kami berganti peran. Arif menyetir mobil, sementara saya mengambil kesempatan memotret interior dan mobil yang melaju. Sempat kami berhenti untuk membuka atap mobil yang bisa dilipat. Kami melakukannya tiga kali. Yang pertama dan kedua untuk mengukur berapa lama atap terlipat, sedangkan yang ketiga karena kami senang melihatnya. Dasar norak!
Kendali mobil kembali ke saya. Namun, muncul masalah. Kami tidak bisa menemukan rute perjalanan menuju Verica. Kami hanya tahu, ketika keluar dari perbukitan, tiba-tiba sudah berada di jalan lintas kota yang lebar dan padat.
Setelah mengecek kembali GPS, ternyata rute kami melambung dari rute sebelumnya. Kami memencet tombol sakti di GPS untuk mengarahkan ke jalan pulang. Rute yang dilewati sangat ideal untuk memacu mobil. Saya lalu memberi kode kepada Arif untuk bersiap-siap. Segera saya injak pedal gas sekencang mungkin.
Baca juga : Tim Hore Saat Pencarian Sriwijaya SJ-182
Yang saya ingat adalah bunyi raungan suara knalpot yang sangat keras menerjang telinga. Dalam beberapa detik, laju mobil sangat kencang. Badan serasa tertarik ke belakang dan kepala seperti menancap di jok mobil. Saya melaju kencang setelah memastikan lalu lintas aman.
Saya tidak berani melihat penunjuk kecepatan digital di mobil. Saking cepatnya, jalur jalan hanya terlihat seperti garis lurus dengan titik di ujung. Penglihatan saya terfokus ke depan. Sisi jalan dengan pepohonan rimbun terlihat blur dan bergerak kencang. Adrenalin saya berada di titik puncak, yang baru kali ini saya alami sepanjang hidup.
Dalam laju, saya membayangkan diri sebagai pebalap Ferrari, Fernando Alonso, saat melintasi sirkuit perbukitan Spa Francorchamps di Belgia. Cukup! Nyali saya menciut. Saya hanya sanggup menjalaninya selama 10 detik.
Saya melepas pedal gas. Cita-cita menjadi pebalap tercapai sudah. Kami melaju kembali dalam kecepatan normal, kemudian tertawa-tawa. Rasanya puas sekali mengalami sensasi mengemudi yang belum pernah kami alami sebelumnya.
Kami tiba di Maranello selepas siang. Mobil menepi di sebuah restoran Pizzaria. Saking asyiknya uji mobil, kami sampai lupa mengisi perut. Masing-masing lantas memesan piza seperti di gambar. Kami pikir porsinya personal. Nyatanya, sangat besar. Cukup untuk makan se-RT.
Dengan berat hati, hanya sedikit yang bisa kami santap. Setelah beristirahat dan tertidur sesaat akibat buaian sejuk angin sepoi, kami melanjutkan tur hingga pukul 16.00. Kali ini, kami tidak menggunakan GPS karena hanya berkeliling di kota-kota sekitar Maranello.
Saya melepas pedal gas. Cita-cita menjadi pebalap tercapai sudah.
Selama perjalanan banyak hal terjadi. Mulai dari bikin lecet velg Ferrari karena parkir terlalu mepet hingga dimaki-maki emak-emak pejalan kaki akibat mobil berjalan terlalu mepet ke pinggir.
Saya lupa bahwa setir di sisi kiri sehingga antisipasi jarak dengan bagian kanan mobil seharusnya berbeda dengan setir kanan. Yang paling ”epik” adalah ketika ingin ke toilet. Kami sampai harus singgah ke beberapa SPBU karena ternyata mereka tidak menyediakan toilet. Kalau di Indonesia, mungkin sudah diramein warganet di media sosial.
Mau menepi di pinggir jalan untuk buang air kecil, jelas tidak berani. Akhirnya, kami menumpang toilet di salah satu kedai kopi. Toiletnya pun sebenarnya untuk pengelola karena mereka tidak menyediakan untuk tamu. Si pemilik kedai kopi mungkin kasihan melihat kami yang kepayahan melipat kaki menahan ingin buang air kecil.
Pukul 16.00, kami kembali memarkir si kuda jingkrak di kandangnya. Perjalanan delapan jam ini bagi saya merupakan salah satu petualangan terhebat di negara orang. Dengan berat hati, saya kembalikan si biru kepada pemilik aslinya.