Kemanusiaan yang Mengalahkan Trauma Teror Bom di Surabaya
Tidak cukup hanya dua gereja dibom. Kabar buruk berikutnya tiba. Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan juga dibom! Teror ini tidak hanya meninggalkan trauma, tetapi juga stigma dan rasa saling curiga.
Hari Minggu (13/5/2018), cuaca cerah, jalanan tenang dan lengang oleh kendaraan bermotor. Sungguh, suasana yang sangat ideal untuk menghabiskan hari Minggu. Warga pun memanfaatkannya untuk berolahraga.
Minggu pagi biasanya saya habiskan bersama anak saya dengan membuka layanan perpustakaan boneka di area car free day di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur. Demikian pula dengan agenda kami pagi itu.
Namun, sebelum ke Jalan Darmo, kami mampir dulu ke Markas Polda Jatim. Saya harus meliput kegiatan doa bersama untuk Indonesia dan Jatim damai. Acara berjalan lancar, dihadiri para petinggi TNI/Polri di Jatim. Suasana terasa normal dan baik-baik saja seperti biasa.
Mas Danu memberi kabar, ada gereja di Surabaya dibom!
Di sela-sela acara, saya sempatkan mengecek ponsel. Di layarnya tertera lima panggilan tak terjawab yang datang dari editor foto saya di Jakarta, Danu Kusworo.
Perasaan tak enak langsung menghinggapi. Kekhawatiran itu terjawab ketika membuka pesan Whatsapp. Mas Danu memberi kabar, ada gereja di Surabaya dibom!
”Bener, Mas? Ini saya di Polda. Semuanya ada, mulai dari pangdam, kapolda, dandim, kapolres,” kata saya saat menelepon balik Mas Danu, berharap informasi tersebut tidak benar.
”Ya, kamu pantau saja, ya, kalau-kalau ada situasi yang berkembang,” ujar Mas Danu.
Baca juga : Mobil-mobil yang Bikin Gemas sampai Lemas
Menit-menit itu rupanya terakhir kali Surabaya baik-baik saja. Seusai saya mematikan telepon, sejurus kemudian terlihat Kepala Polrestabes Surabaya Komisaris Besar Rudi Setiawan tergesa meninggalkan lokasi acara. Disusul seluruh jajaran pimpinan TNI/Polri yang hadir.
Seorang rekan wartawan lantas berseru, gereja di Jalan Ngagel dibom. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari Polda. Tanpa membuang waktu, segera saya menelepon istri untuk bertemu di titik yang saya tentukan untuk menjemput anak kami.
Setelah itu, saya langsung meluncur ke Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel. Area sekitar kejadian sudah ditutup. Beruntung, warga membantu dengan membukakan portal kompleks rumahnya agar saya bisa lebih mendekat. Ujung gang itu berakhir tepat di depan gereja.
Namun, kawasan kejadian telah steril. Saya hanya sempat melihat beberapa polisi meneliti benda asing yang diduga potongan tubuh pelaku bom.
Tidak lama, kabar lain tiba. Sebuah gereja lainnya dibom! Saya putuskan segera menuju gereja tersebut, yakni GKI Diponegoro, yang berjarak sekitar 10 kilometer. Hari Minggu yang semula tenang mendadak terasa gaduh.
Terjadi kemacetan menuju Jalan Diponegoro. Ruas jalan segera ditutup setelah terjadinya serangan bom. Warga yang sudah kadung di jalan tampaknya juga ingin segera berbalik demi keamanan diri.
Baca juga : Di Balikpapan, Aku Menjadi Dukun Dadakan
Kembali saya kesulitan mendekati lokasi kejadian. Polisi menutup akses masuk beberapa ratus meter sebelum gereja. Rupanya tidak cukup hanya dua gereja. Kabar buruk berikutnya tiba. Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan di Jalan Arjuno juga dibom!
Saya memutuskan segera bergeser ke lokasi ketiga. Di lokasi inilah saya meliput secara penuh, mulai dari mengikuti pemeriksaan tempat kejadian perkara oleh polisi hingga kedatangan Presiden Joko Widodo.
Dalam hati saya marah sekali atas aksi terorisme ini. Berbagai kecaman juga datang, tidak hanya dari masyarakat Surabaya, tetapi juga dari warga dunia.
Tindakan teror ini tidak hanya meninggalkan trauma, tetapi juga stigma dan tentu saja rasa saling curiga. Untunglah, warga tidak mudah terpecah dan terhasut oleh syak wasangka.
Melalui pesan berantai, malam harinya warga berkumpul di Jalan Pahlawan melakukan doa bersama, kegiatan yang diinisiasi oleh Bonek, kelompok suporter klub sepak bola Persebaya.
Saya beruntung menjadi saksi, tindakan biadab yang mencoreng rasa kemanusiaan yang terjadi di pagi hari, malam harinya luruh oleh semangat keberagaman.
Baca juga : Tim Hore Saat Liputan Pencarian Sriwijaya Air SJ-182
Di awal acara, peserta menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” yang merangkai kembali semangat keindonesiaan dan meneguhkan kembali persatuan. Kegiatan ini diikuti berbagai kelompok warga dan lintas keyakinan.
Mereka bergantian berorasi dan mengutuk aksi terorisme yang terjadi. Terorisme menjadi musuh dan tidak pantas hidup bukan saja di Surabaya, melainkan juga di Indonesia.
Lilin-lilin kemudian dinyalakan bersamaan dengan para peserta yang secara khusyuk melantunkan lagu ”Padamu Negeri”. Hari yang berat itu ditutup dengan doa agar para korban meninggal diberi tempat terbaik dan korban luka segera diberikan kesembuhan.
Rupanya, cobaan untuk warga Surabaya belum usai. Terjadi serangan lanjutan yang menyasar Markas Polrestabes Surabaya. Setelah itu, dilakukan serangkaian penangkapan anggota jaringan teroris oleh tim Densus 88 Antiteror.
Lima hari setelah serangan bom, tepatnya pada Jumat (18/5/2018) malam, digelar doa bersama di GKI Diponegoro. Acara yang dihadiri 1.700-an orang dari berbagai agama dan kepercayaan ini merupakan wujud dukungan dan penguatan kepada korban yang mengalami trauma atas teror bom.
Saya sendiri yang mendukung pluralisme merasa perlu ikut hadir. Selain sebagai pewarta, juga sebagai seorang Muslim yang sedang belajar terus mengenai toleransi.
Baca juga : Meliput All England 2009, Kala China Perkasa Indonesia Terpana
Mengingat peristiwa ini, ada rasa sesak di dada sekaligus trauma. Saat meliput, tentu saya ikut menyaksikan langsung kehancuran yang disebabkan perilaku biadab teroris yang jauh dari rasa kemanusiaan itu.
Di tengah acara, seorang penyintas berdiri di hadapan hadirin. Dengan tenang ia menceritakan kembali apa yang ia alami pada hari kejadian pemboman. Ia lantas memohon maaf jika masih trauma dengan busana tertentu karena serupa dengan yang digunakan oleh pelaku pengeboman.
Ia kemudian menceritakan pengalamannya ketika mengurus pengobatan korban bom di sebuah rumah sakit di kawasan Wonokromo. Saat itu, ia kesulitan mencari tempat fotokopi. Padahal, ia harus segera menggandakan sejumlah berkas penting.
Daerah yang biasanya masih ramai pada jam tersebut tiba-tiba terasa sepi. Rupanya, aktivitas ekonomi tutup lebih awal. Barangkali karena warga masih trauma dengan serangan bom yang terjadi pada pagi harinya.
Dari seorang tukang becak, ia kemudian mendapat informasi ada satu tempat fotokopi lain tidak jauh dari rumah sakit. Namun, setelah didatangi ternyata juga sudah tutup. Karena tidak ada waktu lagi, ia memberanikan diri mengetuk pintu kios. Tidak berapa lama si pemilik usaha fotokopi membuka pintu.
Si penyintas menjelaskan, ia harus segera memfotokopi dokumen untuk keperluan pengobatan temannya. Tanpa banyak bertanya, pemilik usaha segera memfotokopi berkas. ”Pak, ini korban bom tadi pagi, ya?” tanyanya.
”Betul, Pak” ujar si penyintas sambil menyodorkan uang sebagai biaya fotokopi.
Tanpa disangka, si pemilik usaha menolak. ”Tidak usah bayar, Pak. Gratis” ujarnya.
Baca juga : Berburu Momen Evakuasi Harimau Inyiak di Perbukitan Solok
Sang penyintas merasa sungkan. Ia kemudian menanyakan nama si pemilik fotokopi yang kemudian menjawab, ”Muhammad”. Si penyintas merasa terharu. Di tengah peristiwa biadab yang begitu kelabu, masih ada mereka yang penuh kemanusiaan. Peristiwa sederhana itu begitu membekas di hati sang penyintas. Setelah itu, ia merasa lebih tenang dan berdamai dengan traumanya.
Bagi wartawan, berbagai peristiwa yang terjadi dalam beberapa hari itu sungguh melelahkan. Meski begitu, saya pribadi merasa optimistis, kondisi akan segera pulih melihat warga Surabaya yang dengan sigap melakukan perlawanan balik terhadap terorisme dengan cara mereka.
Di tengah suasana kota yang sepi karena sekolah-sekolah diliburkan dan penjagaan kota diperketat oleh kepolisian, di mana-mana muncul spanduk berisi perlawanan dan kutukan terhadap teroris.
Sang penyintas merasa sungkan. Ia kemudian menanyakan nama si pemilik fotokopi yang kemudian menjawab, ”Muhammad”.
Peristiwa 13 Mei 2018 agaknya menyadarkan warga bahwa melawan terorisme bukan semata tugas TNI/Polri, melainkan juga seluruh warga negara. Berbagai kejadian teror bom dan aksi terorisme lainnya akan selalu melahirkan gerakan perlawanan.
Bukan dalam arti membalas dengan laku yang sama, melainkan membalas dengan persatuan yang lebih erat sehingga tujuan teror agar umat beragama terbelah tidak tercapai. Karena persatuan Indonesia terlalu berharga untuk dikorbankan.