Dikira Korban Pemerkosaan, Diusir dari Ruang Sidang
Tanpa ragu, tangan pengacara menunjuk ke arah saya. ”Dia tidak boleh ada di ruangan ini, Yang Mulia,” kata pengacara lantang. Hakim terkejut mendengar permintaan itu. Saya pun kaget sekaligus bingung bercampur malu.
Oleh
Soelastri Soekirno
·5 menit baca
Liputan pertama saya untuk kasus pemerkosaan menjadi pengalaman memalukan sekaligus menggelikan. Ini terjadi di awal saya bekerja sebagai wartawan Kompas. Gara-gara pengacara terdakwa mengira saya korban pemerkosaan, saat sidang ia meminta saya diusir keluar dari ruangan.
Peristiwa ini terjadi awal tahun 1984. Saat itu, saya baru dua bulan menyelesaikan pendidikan wartawan Kompas di Surabaya dan Jakarta untuk kemudian terjun ke lapangan. Sebenarnya selama masa pendidikan, semua calon wartawan Kompas sudah mendapat pengalaman liputan ke lapangan sebagai bagian dari pelatihan.
Namun, liputannya masih berdua dengan teman sesama peserta pelatihan. Begitu mendapat penempatan tugas dan harus bekerja sendirian, tentu tidak mudah mencari informasi yang bisa menjadi bahan liputan. Maklum, orang baru di pekerjaan itu.
Saya mencoba datang ke Kantor Pemerintah Kota Madiun, Jawa Timur, untuk mengais berita. Selain itu, sesuai dengan saran mentor saat pendidikan, saya juga datang ke kantor Pengadilan Negeri Madiun.
Di sana terdapat papan yang memuat pengumuman sidang apa saja yang akan digelar hari itu, baik perkara pidana maupun perdata. Salah satu yang hari itu akan digelar adalah sidang kasus pemerkosaan atas seorang gadis remaja. Saya lalu mencari tahu bagaimana caranya bisa meliput persidangan itu.
Salah satu petugas di PN Madiun kemudian menyarankan saya meminta izin kepada ketua pengadilan, sekaligus berkenalan untuk memudahkan peliputan selanjutnya. Bertemulah saya dengan ketua pengadilan yang kemudian mengenalkan saya dengan hakim yang akan memimpin persidangan.
Pak hakim lalu memberi izin untuk meliput sidang kasus pemerkosaan itu. Ia juga menjelaskan bahwa sidang dilakukan secara tertutup karena menyangkut perkara asusila sehingga langkah saya minta izin lebih dulu ia nilai tepat. Jika tidak mendapat izin, saya dilarang berada dalam ruang sidang.
Sekitar pukul 11 siang, sidang dimulai. Petugas yang sudah tahu keberadaan saya, meminta saya masuk ke dalam ruang sidang. Sadar saya masih belajar, saya duduk di kursi bagian belakang. Persidangan dimulai setelah seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun yang menjadi terdakwa pemerkosaan itu dihadirkan ke dalam ruangan. Ia mendapat pendampingan dari seorang pengacara.
Hanya ada beberapa orang di dalam ruang tertutup itu. Sebelum memulai sidang, jaksa melihat ke arah saya, lalu datang ke meja hakim. Keduanya berbisik-bisik sambil melihat ke arah saya. Oleh karena merasa sudah mendapat izin berada di situ, saya tetap duduk dengan tenang. Pak jaksa lalu membacakan dakwaan yang berisi uraian peristiwa pemerkosaan atas si gadis remaja.
Dari dakwaan itu, saya baru tahu kalau korban dan terdakwa adalah tetangga dekat, tetapi tidak saling kenal. Saya melihat, pengacara dan terdakwa menyimak pembacaan dakwaan itu dengan serius.
Hakim kemudian bertanya apakah terdakwa paham dengan dakwaan yang dibacakan barusan. ”Ya, Pak. Saya paham,” jawabnya.
”Ada yang mau ditanyakan?” lanjut hakim.
Terdakwa melihat ke arah pengacaranya. Ia kemudian diminta datang ke meja pengacara. Setelah terdakwa duduk kembali di kursinya yang berada di seberang hakim, pengacara lalu berdiri.
”Sebelum saya berbicara mengenai pokok perkara, saya ingin meminta agar korban dibawa keluar dari ruang persidangan supaya nanti tidak memengaruhi jalannya persidangan,” katanya tegas dan keras.
”Saya kira, saksi korban punya tempat sendiri sebelum dipanggil untuk bersaksi, tetapi bukan di dalam ruang sidang. Demikian Yang Mulia permintaan saya sebelum sidang ini dilanjutkan lagi,” lanjut sang pengacara. Matanya melihat ke arah saya yang masih merasa tenang-tenang saja.
Hakim terkejut mendengar permintaan itu. ”Siapa korban yang dimaksud Pengacara?” tanyanya.
Tanpa ragu, tangan pengacara menunjuk ke arah saya. ”Dia tidak boleh ada di ruangan ini, Yang Mulia,” kata pengacara lagi dengan lantang.
Hah, saya kaget. Bingung bercampur malu. Suasana dalam ruang sidang menjadi gaduh. Orang-orang saling bertanya, mengapa korban pemerkosaan ada di dalam persidangan yang mengadili kasusnya. Semua mata kemudian tertuju ke arah saya.
Hakim lalu memanggil pengacara untuk mendekat ke mejanya. Keduanya berbisik-bisik sambil sesekali melihat ke arah saya yang baru sadar ternyata menjadi satu-satunya perempuan dalam ruang sidang.
Saya merasa tidak enak hati, apalagi orang lain di dalam ruangan itu ikut berkomentar atas keberadaan saya. Namun, karena masih dalam persidangan, saya hanya bisa duduk sambil diam. Kebetulan tidak ada wartawan lain yang meliput persidangan tersebut.
Nun agak jauh dari saya, hakim tampak berbicara dengan pengacara yang lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ia lalu kembali ke tempat duduknya.
Melihat situasi yang mengundang kebingungan orang, hakim lalu menskors sidang sekaligus untuk istirahat makan siang. Sidang memang dihentikan, tetapi saya merasa sangat malu karena malah menjadi perhatian banyak orang setelah pintu ruangan dibuka.
Beruntung, Pak Hakim segera menghampiri saya. ”Maaf ya, Dik. Tadi itu pengacara salah paham. Dia kira Adik adalah korban pemerkosaan dalam kasus ini. Namun, sudah saya jelaskan kalau Adik wartawan Kompas,” ujar Pak Hakim sambil menepuk pundak saya.
Tampaknya dia tahu, saya merasa malu saat pengacara meminta dengan nada keras agar saya dikeluarkan dari ruang sidang. Sesaat kemudian, pengacara itu menyusul hakim menemui saya.
”Ah, saya minta maaf sekali. Tidak tahu kalau Adik wartawan. Saya kira, Adik korbannya. Saya baca berkas perkara, korban pemerkosaan masih remaja. Saya kira Adik yang jadi korban,” katanya.
Mendengar penjelasan itu orang-orang tertawa lebar. Sementara saya hanya bisa tersenyum kecut. Ah, nasib jadi wartawan muda….