Saat Saya Dinyatakan Positif Covid-19
”Saya mau mengabarkan bahwa hasil tes usap Anda positif,” katanya. Saya pikir selama pakai masker dengan benar saya aman tapi ternyata salah besar. Saya terlalu sibuk melindungi mulut dan hidung tapi melupakan mata saya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI24_1607764725.jpg)
Melihat pemandangan di luar jendela.
Lebih kurang sembilan bulan, saya meliput isu-isu Covid-19. Sejumlah informasi tentang Covid-19 telah saya kuasai, termasuk tentang apa yang harus dilakukan saat dinyatakan positif Covid-19. Namun, ketika kabar positif itu datang betulan, saya mendadak blank dan tidak tahu harus berbuat apa.
”Saya mau mengabarkan bahwa hasil tes usap Anda positif,” kata seorang perempuan di saluran telepon.
Seketika mulut saya sulit berkata-kata. Saya yang biasanya cerewet hanya mampu menanggapi suara di telepon dengan jawaban singkat, seperti ”siap”, ”baik”, dan ”terima kasih”.
Baca juga: Pesan dari Ruang Isolasi
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI19_1607764719.jpg)
Tenaga medis melakukan pemeriksaan kesehatan di kamar pasien.
Saat itu, hati saya patah. Saya merasa hasil tes usap telah mengkhianati usaha saya selama ini dalam mematuhi protokol kesehatan. Saya ingin marah, tetapi tidak tahu kepada siapa.
Di tengah kekalutan itu, saya kembali memutar memori di otak. Barangkali, saya bisa menemukan di mana letak kelengahan saya sampai virus ini bisa masuk ke badan.
Selama pandemi, saya sudah mencoba sebaik mungkin menjalankan protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, serta mencuci tangan dengan sabun. Setelah beraktivitas di luar, saya langsung mandi, keramas, dan berganti pakaian. Tak lupa, saya juga selalu mendisinfeksi alat kerja, seperti kamera, laptop, dan ponsel.
Baca juga: Mewaspadai Fenomena ”Long Covid”
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI20_1607775189.jpg)
Petugas kebersihan di Rusunawa Tegalsari, Kota Tegal, mencuci kain pel di bawah keran air. Rusunawa ini menjadi tempat isolasi mandiri pasien Covid-19.
”Kamu rajin amat sih, OCD (obsessive compulsive disorder) ya?” ujar seorang teman menanggapi perilaku saya yang jarang mau buka masker atau sedikit-sedikit menyemprotkan cairan pembersih tangan.
Saat percakapan itu muncul kembali di ingatan, saya merasa semakin sulit mendapatkan jawaban atas ”bagaimana virus jahanam itu bisa masuk tubuh?”
Kalau Anda selalu pakai masker yang menutup hidung hingga mulut dan rajin membersihkan tangan, ada kemungkinan virusnya masuk lewat mata.
Titik terang atas pertanyaan itu saya dapat pada hari keempat isolasi. Kala itu, saya bercerita kepada dokter, usaha apa saja yang saya lakukan untuk melindungi diri dari Covid-19.
”Kalau Anda selalu pakai masker yang menutup hidung hingga mulut dan rajin membersihkan tangan, ada kemungkinan virusnya masuk lewat mata. Pernah enggak, berkomunikasi sama orang dalam jarak dekat tanpa memakai kacamata atau faceshield?” tanya seorang dokter yang merawat saya.
Baca juga: Ketika Hasil ”Rapid Test” Saya Dinyatakan Reaktif Covid-19
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI03_1607775094.jpg)
Pasien Covid-19 berjemur setiap pagi.
Seusai mendapatkan pertanyaan itu, saya langsung mak tratap! Saya ingat, beberapa kali berjumpa dengan narasumber yang tiba-tiba menurunkan masker di tengah wawancara dengan alasan pengap atau biar suaranya lebih jelas. Belakangan, sang narasumber dikabarkan positif Covid-19.
Saya pikir, selama pakai masker dengan benar saya aman, tetapi ternyata salah besar. Saya terlalu sibuk melindungi mulut dan hidung, tetapi saya melupakan mata saya.
Baca juga: Yang Sulit Dilupakan dari Tsunami Aceh
Jika diingat-ingat, saya pernah mendengar dan membaca artikel terkait penularan Covid-19 lewat mata. Tapi tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk memakai kacamata atau pelindung wajah. Ya, manusia memang tempatnya salah dan lupa.
Fokus sembuh
Setelah menemukan jawaban atas pertanyaan yang menghantui selama beberapa hari itu, saya mulai berdamai. Saya memaafkan diri saya yang melakukan kelengahan dan berjanji tidak akan lengah lagi. Saya kemudian mencoba fokus untuk sembuh.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI12_1607764702.jpg)
Pasien Covid-19 mengisi waktu dengan melakukan panggilan video bersama keluarga atau teman-teman.
Syukurnya, saya tidak merasakan gejala batuk, demam, hilang penciuman, atau sesak napas seperti dialami kebanyakan pasien Covid-19. Hal itu memudahkan langkah saya melaju ke gerbang kesembuhan.
Isolasi mandiri saya jalani di Rusunawa Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Selama itu, saya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang cara sembuh dari Covid-19.
Jika disarikan, kunci sembuh dari Covid-19 ada tiga. Bahagia, makan bergizi, dan istirahat cukup.
Saya membaca puluhan artikel dan menonton puluhan video tentang itu. Jika disarikan, kunci sembuh dari Covid-19 ada tiga. Bahagia, makan bergizi, dan istirahat cukup.
Selama ini, saya sering tidur larut malam dan bangun siang. Semenjak isolasi mandiri, saya selalu berusaha tidur sebelum pukul 23.00 dan bangun sebelum pukul 06.00. Kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI09_1607775125.jpg)
Tempat untuk berjemur pasien Covid-19 di Rusunawa Tegalsari, Kota Tegal.
Begitu melihat matahari muncul, saya langsung bersiap berjemur. Durasinya 15 - 30 menit. Sambil berjemur, saya membaca berita-berita di harian Kompas atau Kompas.id untuk memperbarui informasi.
Seusai berjemur, saya senam latihan pernapasan. Instruktur senamnya adalah YouTube. Latihan pernapasan itu membuat rata-rata saturasi oksigen saya di atas 97 persen.
Setelah berjemur dan senam, saya sarapan, mandi, kemudian mencuci pakaian. Setelah itu, membaca buku atau menonton film hingga makan siang tiba. Selain menyantap makan siang, saya juga meminum vitamin dan makan buah. Lalu, lanjut membaca buku atau menonton dan tidur siang.
Baca juga: Bom Natal Membuat Kami Jadi Loper Koran
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI01_1607775084.jpg)
Buku dan gawai adalah teman setia pasien Covid-19 saat menjalani isolasi.
Kalau sudah bosan membaca atau menonton, saya senang menelepon keluarga atau teman. Melalui telepon-telepon itu, saya menyadari telah melewatkan banyak hal.
”Aduh, si A kan sudah tidak kerja di situ lagi.”
”Lho, dia itu sudah putus dengan pacarnya yang itu. Bulan lalu dia nikah dengan B.”
”Sekarang kan bapak sudah tidak pelihara kambing. Sudah enam bulan terakhir, bapak pelihara sapi.”
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI04_1607775098.jpg)
Pasien Covid-19 menjalani pemeriksaan kesehatan rutin.
Kira-kira begitu jawaban orang-orang saat saya menanyakan kabar mereka. Saya jadi merasa bersalah. Selama ini, saya terlalu sibuk dengan dunia saya sampai tidak sempat berlama-lama mengobrol dengan keluarga atau teman. Kelak, saya jadi lebih sering menelepon keluarga dan teman karena tidak ingin lagi melewatkan banyak hal.
Pada isolasi hari kesepuluh, saya kembali menjalani tes usap. Hasilnya, diperkirakan keluar empat hari kemudian. Sembari menunggu hasil, saya tetap mengisolasi diri.
Baca juga: Kolor untuk Maryoto
Tepat pada hari keempat belas isolasi, saya menerima kabar bahwa saya telah negatif Covid-19. Rasanya senang bukan kepalang. Akhirnya, saya menang melawan Covid-19.
Setelah hari itu, saya menjalani hari-hari berikutnya dengan kewaspadaan ekstra. Saya juga memutuskan kembali berkacamata agar mata lebih terlindungi. Semoga virus korona tak singgah lagi di tubuh ini.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201210XTI22_1607775199.jpg)
Pasien Covid-19 antre untuk pemeriksaan kesehatan rutin.