Ketika Saya Harus Memotret Jay Subyakto
Memotret Jay adalah piknik saya sebagai jurnalis foto. Sore itu, saya pulang dari rumah Jay dengan hati gembira karena selain mendapatkan foto yang bagus, saya juga mendapat suguhan teh nasgitel yang penuh nostalgia.
Memotret profil seseorang bagi saya adalah latihan mengolah sisi kreatif otak. Ketika sebagian besar liputan menuntut respons memotret karena mengejar terbitan harian, memotret profil untuk edisi Kompas hari Minggu, membuat saya bisa melepaskan gagasan visual di kepala menjadi sebuah foto yang tidak hanya menarik, tetapi juga berkarakter.
Setiap kali mendapatkan tugas memotret profil orang untuk rubrik ”Figur” di Kompas hari Minggu (Koming), saya selalu berusaha membuat foto yang berbeda dengan foto yang pernah saya buat sebelumnya.
Meski demikian, saya tidak pernah terlalu pusing memikirkan konsep foto yang akan dibuat. Saya lebih sering datang ”kosongan”. Maksudnya, saya sengaja tidak merencanakan konsep khusus sebelum bertemu sang narasumber.
Saya sangat menikmati gagasan yang tiba-tiba muncul di kepala dan kemudian saya wujudkan dalam foto.
Biasanya, saya butuh beberapa saat untuk mengamati lokasi dan memilih sudut untuk pemotretan. Tidak jarang, lokasi pemotretan terlalu biasa sehingga sulit diolah menjadi latar foto. Dalam kondisi demikian, saya akan memotret profil dari jarak dekat dan berusaha menangkap ekspresi wajah serta gestur tubuh orang tersebut.
Saya sangat menikmati gagasan yang tiba-tiba muncul di kepala dan kemudian saya wujudkan dalam foto. Ide yang muncul tersebut harus segera ”jadi foto” sebelum saya teralihkan dan lupa.
Beberapa foto saya di rubrik ”Figur” Koming adalah hasil gagasan spontan tersebut. Contoh terakhir adalah ketika memotret seniman multitalenta Jay Subyakto, pertengahan November 2020.
Ide untuk membuat sebuah foto menarik tentang Jay Subyakto saya dapatkan ketika ia menjadi pembicara dalam acara Kompas Talks Photography Weeks yang bertema ”Fashion Photography”.
Baca juga : Cambuk Kreativitas Jay
Lebih dikenal sebagai penata panggung dan perancang konsep artistik pertunjukan, Jay sesungguhnya juga seorang fotografer yang foto-fotonya menampilkan karakter yang unik.
Sejak awal karier hingga sekarang ini, Jay tetap mengerjakan proyek foto fashion dengan ciri khas karyanya yang indah dan surealis. Jay merancang adegan secara alami lalu memadukannya dengan properti dan teknik fotografi di luar kebiasaan.
Dari sekian banyak foto yang ditampilkan Jay dalam acara Kompas Talks tersebut, salah satunya amat menarik perhatian saya. Seorang perempuan dipotret dengan latar depan titik-titik air yang menempel di kaca. Foto ini tidak sekadar indah secara visual. Lebih jauh, foto ini merupakan pernyataan (statement) Jay soal estetika fotografi.
Baca juga : Cara Jay Subyakto Mencintai Indonesia melalui Fotografi
Selepas acara, saya berbincang dengan Jay. Saya berusaha mendapatkan informasi dan latar belakang proses kreatif foto tersebut.
Rupanya, foto itu dibuat Jay pada tahun 2000 untuk rubrik busana (fashion spread) di majalah Harpers Bazaar Indonesia. Model fotonya adalah Mariana Renata, perempuan berparas ayu yang namanya melambung seusai menjadi lawan main Nicholas Saputra dalam film Janji Joni (2005).
Pemotretan Mariana Renata dilakukan di garasi rumah lama Jay di kawasan Simprug, Jakarta. Hampir seluruh proses pemotretan dikerjakan sendiri oleh Jay, termasuk menata lampu dan menyemprotkan air ke kaca mobil untuk menciptakan efek titik air hujan pada foto.
Baca juga : ”Mission Impossible” Saat Kecelakaan Pesawat Lion Air
Bagi saya, foto Jay yang simpel, namun kuat tersebut menunjukkan pemahamannya yang mendalam tentang visual. Foto itu kemudian memicu ide saya untuk mereka ulang foto itu dengan Jay sendiri sebagai modelnya.
Bagi saya, memotret Jay adalah salah satu pekerjaan ”termudah”. Itu karena saya cukup mengenal karakternya meski tidak berteman dekat. Jay yang saya tahu adalah pembaca setia koran Kompas hingga saat ini. Dia juga sahabat karib fotografer Kompas Julian Sihombing (almarhum).
Dalam beberapa kesempatan, dia berkunjung ke ruang Redaksi Kompas dan terlibat obrolan santai dengan para fotografer Kompas. Ia tidak segan mengapresiasi karya kami. Beberapa kali saya juga menerima pesan Whatsapp dari Jay yang merespons karya foto yang saya buat.
Baca juga : Merasakan Sapaan Hangat Maradona
Ketika datang ke rumah Jay di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (19/10/2020), saya sampaikan ide untuk mereka ulang foto karya Jay. Saat itu, saya kebagian tugas memotret Jay yang menjadi narasumber rubrik ”Figur”.
Dia menyambut ide tersebut lalu menyarankan pemotretan dilakukan di dalam mobil yang terparkir di garasi rumahnya. Sebagai lampu sorot adalah dedolight yang kerap digunakan untuk produksi audio visual. Lampu ini juga yang digunakan Jay untuk memotret Mariana Renata.
Sambil mengingat-ingat pengalaman 20 tahun yang lalu, Jay kemudian menata arah sorot cahaya lampu ke dalam mobil. Ia lalu menyemprotkan air ke kaca samping mobil untuk menciptakan efek air hujan. Pemotretan kala itu dilakukan pada sore yang mendung sehingga dengan mudah diperoleh suasana remang gelap seperti foto yang pernah dibuat Jay.
Baca juga : Intuisi dan Hoki pada Merapi yang Tak Pernah Ingkar Janji
Sambil melihat foto Mariana di layar ponsel, saya mulai mengarahkan posisi duduk Jay agar wajahnya terkena cahaya lampu. Selama 30 menit pemotretan, Jay dengan sabar mengikuti arahan saya. Saya sadar, sangat mustahil untuk membuat foto yang hampir sama dengan karya Jay.
Foto Jay dipersiapkan secara rapi, sementara foto saya dibuat berdasar kondisi yang ada dan persiapan spontan di lokasi. Saat itu, saya hanya berusaha mendapatkan ekspresi Jay yang kurang lebih senada dengan ekspresi Mariana Renata dalam foto Jay.
”Dia itu muse saya atau model favorit kalau dalam istilah seni. Dia lengkap, dari kecantikan, sikap, dan kewajaran ketika berhadapan dengan kamera. Saya cukup kasih tahu mood yang saya mau dan dia langsung masuk ke mood tadi tanpa harus diarahkan lagi,” jelas Jay tentang karakter Mariana Renata saat difoto.
Baca juga : Ironi dan yang Bikin Geli di Gang Dolly
Saya menemukan ” rasa” yang sama ketika memotret Jay. Saya merasa Jay sangat menghargai ide yang saya sampaikan. Ia juga sangat membantu agar saya menghasilkan foto sesuai rencana.
Reka ulang foto Jay di mobil mengakhiri sesi foto Jay untuk rubrik ”Figur” Koming. Sebelumnya, saya ” memotret bebas” Jay di halaman rumahnya. Karakternya yang khas serta profesinya sebagai seniman membuat saya tidak ragu untuk berekspresi dalam foto.
Saat itu, saya menggunakan tiga kamera, yakni Voigtlander yang saya isi film negatif hitam putih ukuran 135 mm, kamera Lomo berisi film ukuran 135 mm, dan kamera plastik Holga berisi film ukuran 120 mm.
Baca juga : Membalas Utang Budi pada Merapi
Saya menikmati memotret menggunakan film negatif meski membutuhkan penanganan lanjutan yang lebih rumit. Era fotografi digital memang memudahkan fotografer. Namun, fotografi manual bagi saya tetap memiliki karakter yang abadi.
Memotret Jay adalah piknik saya sebagai jurnalis foto. Menjadi fotografer di media, apalagi media harian dituntut untuk mengikuti ritme peristiwa yang kencang dan terkadang menumpulkan sisi kreatif seorang fotografer. Karena itu, memotret Jay adalah pengalaman berkesan bagi saya. Senang rasanya bisa membuat foto sesuai konsep yang saya rencanakan.
Sore itu, saya pulang dari rumah Jay dengan hati gembira karena selain mendapatkan foto yang bagus, saya juga mendapat suguhan teh nasgitel (panas, legi alias manis, dan kental) yang mengingatkan pada teh yang dulu kerap saya nikmati di angkringan kota Solo.