Ironi dan yang Bikin Geli di Gang Dolly
”Kok, enggak masuk wisma, Mas, padahal cuma Rp 70.000. Apa mau sama saya?” Penugasan ke Gang Dolly selalu bikin deg-degan dan cemas, takut tergoda. Di Gang Dolly, saya pernah dibohongi hingga dikejar-kejar aparat.
Meski telah ditutup sejak 2014, kompleks pelacuran di Gang Dolly (Jalan Kupang Gunung Timur 1) dan di Jalan Jarak di Surabaya, Jawa Timur, masih terus menyisakan cerita. Ada kisah baru, lama, sedih, gembira, kegagalan, keberhasilan, kenistaan, kemuliaan, kemanusiaan, kebinatangan, hingga pro dan kontra.
Bagi jurnalis Kompas, baik yang ditempatkan maupun mampir tugas di Surabaya, rasanya kurang afdal kalau belum menengok kawasan yang pada masanya diklaim sebagai ”lembah hiburan” terbesar di Asia Tenggara itu. Dolly adalah fenomena sosial. Tak sedikit pengalaman kami yang mengharukan atau malah menggelikan terjadi selama liputan, yang tentu setelah direnungkan, dipilah, dan ditimbang, bisa dibagikan kepada pembaca.
”Kok, enggak masuk wisma, Mas, padahal cuma Rp 70.000. Apa mau sama saya?”
Kalimat itu saya temukan dalam arsip bertanggal 31 Desember 2003 di antara berkas tulisan berita dan feature yang saya tulis. Saat itu, saya masih bakal calon jurnalis Kompas yang tengah mengikuti masa pendidikan dan latihan di Universitas Surabaya Kampus Ngagel Jaya Selatan.
”Kalian ini membuat laporan jurnalistik, bukan stensilan porno,” kata mentor mengingatkan saya sebelum berangkat.
Laporan itu berjudul ”Semalam Mencoba ’Memotret’ Dolly” yang saya tulis setelah nongkrong di Gang Dolly sejak pukul 21.00-06.00 Feature itu dibuat atas instruksi dari mentor.
Apesnya, saya dan seorang kawan yang kebagian tugas ke kompleks pelacuran tersohor di Surabaya itu. Saat itu bersamaan dengan momen pergantian tahun. Kami seharus mampu merasakan denyut suasana di sana dan menuangkannya ke dalam tulisan.
Apes? Jelas. Penugasannya bikin deg-degan dan cemas, takut tergoda, he-he-he. Yang terang, sampai saat ini, saya masih teringat pesan para mentor yang merupakan senior jauh di Kompas. Menulis feature sebagai laporan jurnalistik, meski berbasis pengalaman, bukan berarti peristiwanya diungkapkan secara detail. Apalagi, ini kejadian di kompleks pelacuran.
”Kalian ini membuat laporan jurnalistik, bukan stensilan porno,” kata mentor mengingatkan saya sebelum berangkat.
Jika mengingat pengalaman ke sana beberapa kali, eh, sering kali, selama kurun 2004-2005, selalu menggelikan. Semuanya dalam rangka liputan. Ternyata, susah-susah mudah mendekati perempuan yang dilacurkan untuk digali ceritanya.
Saya pernah dibohongi, harus membayar makanan dan minuman orang lain, dikejar petugas keamanan karena perawakan mirip lelaki yang sedang dicari-cari di Gang Dolly, harus putar otak lebih keras agar bisa keluar dari jebakan situasi, dimarahi, hingga diancam. Semuanya menjadi pengalaman yang saya petik menjadi hikmah dan pelajaran.
Ketika kembali bertugas di Surabaya tahun 2017, suasana di Gang Dolly dan Jalan Jarak ternyata sudah berbeda sama sekali. Sebelumnya, semasa masih bertugas di Desk Metropolitan lalu Desk Olahraga di Jakarta, berulang kali saya membaca berita upaya penutupan kompleks pelacuran oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Baca juga : Membalas Utang Budi pada Merapi
Berhasil atau tidaknya ketika itu tidak menarik perhatian saya meski setiap bulan saya pulang ke Surabaya untuk menemui istri dan anak-anak. Citra Gang Dolly yang melekat di kepala saya, tempat itu ya kompleks pelacuran.
Namun, ketika kembali bertugas di Surabaya, kesan tentang Gang Dolly dan Jalan Jarak berubah. Di sana nyaris tiada lagi aktivitas perdagangan manusia dalam artian terjadi transaksi seksual dengan perempuan yang dilacurkan.
Deretan rumah atau wisma yang dinding depannya terbuat dari kaca seperti akuarium tidak lagi memajang para perempuan sebagai komoditas. Rumah-rumah yang masuk wilayah administratif Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, itu kini ganti memajang aneka produk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Pikiran pun nakal, lalu ke mana pelacurannya, apakah hilang? Oh, tidak begitu ternyata. Masih ingat, kan, kasus transaksi seksual daring (online) antara pengusaha RS dan pesohor asal Jakarta bernama VA yang ditangkap di Surabaya pada Januari 2019?
Pelacuran masih ada, tetapi berpindah platform ke dunia maya. TKP alias tempat kejadian pelacuran, eh perkara, pindah ke penginapan, hotel, atau kediaman pribadi.
Baca juga : Dari Merapi, Terempas ke Ombak Ganas Mentawai
Lokalisasi Dolly, menurut Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly tahun 1982, awalnya merupakan makam Tionghoa yang meliputi wilayah Girilaya dan berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Seorang pekerja seks bernama Dolly Khavit, yang menikah dengan pelaut Belanda, mendirikan rumah pelacuran pertama di wilayah itu. Pada tahun 1966, kawasan bekas makam itu diserbu pendatang. Dengan berjalannya waktu, pendirian wisma pelacuran pun bertambah hingga ke kawasan Jarak.
Berisiko
Lain lagi yang dialami senior saya, Agnes Swetta Pandia, ketika pindah tugas ke Surabaya pada November 1994. Sejak itu, cukup sering ia liputan ke Gang Dolly. Kalau ke sana, ia selalu mengusahakan diri pergi bersama rombongan kecil. Entah itu bersama para aktivitas perempuan atau peneliti sosial.
Kalaupun terpaksa sendiri, ia akan memilih pergi hari Jumat saat semua gang di kompleks pelacuran tutup. Jumat adalah hari para penghuni, termasuk para perempuan yang dilacurkan itu, menjemur kasur dan segala barang, lalu mengikuti pemeriksaan kesehatan dan suntik di Puskesmas Putat Jaya.
Baca juga : Euforia Perayaan Terpilihnya Obama
Jadi, kalau ingin liputan dan menggali cerita dari para perempuan yang dijebloskan ke pelacuran itu, bisa datang ke Puskesmas Putat Jaya setiap Jumat. Setiap bulan, tidak kurang dari 500 perempuan mengikuti pemeriksaan infeksi menular seksual di puskesmas.
Jika tidak ke sana, Eta—sapaan akrab Agnes Swetta—pergi ke rumah Lilik Sulistiowati alias Mami Vera. Di sana, ia ngobrol lama ngalor ngidul sambil tertawa lepas. Bagaimanapun, wartawan harus mampu menjalin hubungan dengan setiap kalangan.
Sebelum penutupan kawasan ini pada 2014, berada di kompleks pelacuran Gang Dolly dan Jalan Jarak, bagi perempuan jurnalis, sungguh tidak aman dan tidak nyaman.
”Mbak, kok, berani sendirian ke sini. Awas, lho, walaupun siang hari, kalau mau mencari seseorang, entah itu ketua RT atau yang lain, selalu ada temannya, ya,” nasihat seorang ibu rumah tangga yang sedang membersihkan sayuran di teras rumahnya. Rumah itu sebenarnya sekaligus disewakan sebagai wisma tinggal dan ”tempat kejadian pelacuran” para perempuan yang diperdagangkan itu.
Baca juga : Menyaksikan Perayaan Kasada di Tengah Pandemi
Perempuan seorang diri berada di kompleks pelacuran seperti memancing kehebohan. Belum lama berjalan atau naik becak, Eta segera menjadi obyek siulan dan cuitan bersahutan. Setiap kali menemui atau sekadar bertanya kepada perempuan dan laki-laki, segera mereka berubah curiga.
Cukup sering Eta ke Gang Dolly dan Jalan Jarak, terutama menjelang rencana Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menutup kawasan pelacuran itu. Risma gusar dan tidak ingin melihat kaumnya beraktivitas di kawasan yang dinilainya amat tidak sehat dan kejam itu.
Revolusi
Pelacuran adalah kekejian terhadap kemanusiaan. Dalam konteks kesehatan, pelacuran amat kejam karena aktivitas itu berpeluang besar menularkan penyakit yang berpotensi mematikan, bahkan berimbas kepada anak-anak keturunannya alias generasi mendatang.
Bagi anak-anak, lingkungan di sana tidak baik bagi perkembangan mereka. Hal ini disadari oleh orangtua sehingga anak-anak dilarang keluar rumah, bahkan untuk sekadar bermain.
Baca juga : Semangkuk Mi dan Segelas Kopi di Saat Akhir Bersama Mbah Maridjan
Orangtua cemas, anak-anak mereka akan terimbas pengaruh aktivitas pelacuran. Padahal, mereka juga yang menyewakan kamar-kamar di rumahnya sebagai pondokan bagi para perempuan yang dilacurkan.
Transaksi seksual bahkan bisa terjadi di kamar-kamar sewaan itu. Bagaimana mungkin anak-anak tidak terdampak? Tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa menutup mata seperti itu?
Mustahil membantah bahwa pelacuran tidak berdampak negatif terhadap kehidupan anak-anak. Kami menemukan beberapa remaja terpaksa terjun dan menjadi perempuan dilacurkan. Padahal, konstitusi tegas menyatakan bahwa hubungan seksual dengan anak-anak adalah kejahatan.
Dalam konteks menekan kejahatan itulah, Pemerintah Kota Surabaya menutup kompleks pelacuran di Sememi, Dolly, Jarak, Tambaksari, Klakah Rejo, dan Kremil.
Baca juga : ”Stop Press” dan Film Esek-esek
Hasil pendataan memperlihatkan, sekitar 3.500 perempuan dilacurkan di enam kawasan yang memiliki karakter lingkungan serupa, yakni sangat padat, bergang-gang sempit, dan berhias pengumuman menjengkelkan, semisal ”Matikan Mesin di Sini”, ”Ngebut Benjut”, ”Sing Sopan Rek”, ”Harap Pelan Banyak Anak-anak”, dan ”Anda Sopan Kami Senang”.
Kegigihan Risma dan aparatur untuk menutup kompleks pelacuran saat itu menghadapi gelombang penolakan dan tantangan. Banyak tokoh masyarakat dan agama dirangkul. Namun, rencana penutupan aktivitas yang usianya setua peradaban manusia itu memang bukan pekerjaan mudah seperti membalik telapak tangan.
Kala itu, di kompleks pelacuran digelar pengajian, sosialisasi kesehatan, dan rencana program ekonomi untuk menumbuhkan minat dan kepercayaan. Di rumah dinas wali kota di Jalan Sedap Malam, Risma juga kerap mengundang kalangan perempuan yang dilacurkan untuk membahas penutupan pelacuran.
”Kalau tempat kami ditutup, mau makan apa kami? Ibu Risma jangan main tutup-tutup saja. Ada ribuan orang hidup dari lokalisasi,” ujar seorang perempuan sekitar 50 tahun yang menantang Risma dalam pertemuan.
Baca juga : Pengalaman Kecebur Kolam hingga Dikira Menteri
Tantangan bahkan ancaman pembunuhan, toh, tidak membuat aparatur ”Bumi Pahlawan” gentar. Mereka bergeming bak pakai kacamata kuda untuk meneruskan rencana penutupan.
Rencana itu segera diikuti pemberian keterampilan membuat produk makanan-minuman, sablon pakaian, alas kaki, batik, kue-kue, dan lauk tradisional, khususnya tempe. Setidaknya ada 20 bekas wisma pelacuran yang dibeli pemerintah, kemudian dijadikan pusat pelatihan, pembelajaran, dan pameran.
Kini, di semua gang, khususnya di Jalan Jarak, tumbuh berbagai usaha, seperti batik, busana, kudapan, minuman, kerajinan, dan konfeksi. Selain itu, kawasan itu juga menjadi lebih tertata, apik, resik, serta hijau adem dipandang karena warga senang memelihara tanaman.
Masyarakat memoles secara mandiri perkampungan mereka sesuai karakter keunikan yang ditampilkan. Gang batik, gang sablon, dan gang tempe akhirnya meruntuhkan stempel Gang Dolly sebagai bintang pelacuran Asia Tenggara.
Sinar kekejian yang dulu terang benderang telah terganti nur yang hangat memancarkan kegembiraan. Tak sedikit ulasan di harian Kompas yang mengapresiasi perubahan revolusioner dari kawasan yang dahulu dicap nista ini menjadi pesta kemanusiaan.