Merasakan Sapaan Hangat Maradona
Kisah wartawan purnakarya ”Kompas”, James Luhulima, dalam mewawancarai pelatih tim nasional Brasil dan Argentina sebelum Piala Dunia 1994. James merasakan sapaan hangat dan berhasil mewawancarai Maradona.
Begitu membaca berita bahwa Diego Maradona meninggal karena henti jantung (cardiac arrest) di kediamannya pada 25 November 2020 pukul 21.05, ingatan saya langsung melayang mundur ke tanggal 20 April 1994, ketika saya mewawancarai Maradona di VIP Room Bandar Udara Domestik Jorge Newberry, Buenos Aires. Itu pertemuan saya yang pertama dan terakhir dengan Maradona.
Maklum, saya pada waktu itu adalah wartawan Desk Politik dan Luar Negeri. Namun, karena saya pernah bergabung dengan Desk Olahraga selama dua bulan pada awal saya bergabung dengan harian Kompas pada tanggal 5 Januari 1983, saya diminta untuk mewawancarai pelatih dan pemain kesebelasan sepak bola Brasil dan Argentina. Apalagi, walaupun saya wartawan politik dan luar negeri, tetapi saya mengikuti berita-berita tentang Piala Dunia.
Saya masih ingat tanggal 13-14 April 1994, saya dan wartawan Kompas yang berkedudukan di New York, Ratih Hardjono, ditugaskan meliput Konferensi Indonesia, the United States and the World Today di New York, Amerika Serikat (AS). Pada hari pertama saya di New York, saya ditelepon oleh Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas August Parengkuan. Ia menugaskan saya untuk pergi ke Brasil dan Argentina setelah konferensi selesai guna mewawancarai pelatih atau pemain sepak bola dari kedua negara raksasa sepak bola di Amerika Selatan itu.
Karena waktunya tidak banyak, maka saya meminta bantuan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di New York untuk mendapatkan visa ke Brasil dan Argentina. Visa untuk kedua negara itu pun diperoleh. Pada awalnya saya berencana ke Brasilia, ibu kota Brasil. Namun, kemudian saya putuskan untuk pergi ke Rio de Janeiro karena mendapatkan informasi bahwa tim Brasil untuk Piala Dunia 1994 berlatih di kota itu.
Baca juga: Selamat Jalan, Diego Armando Maradona!
Pada tanggal 16 April 1994 malam, saya meninggalkan New York dan berangkat ke Rio de Janerio dan tiba keesokan harinya. Atas bantuan dari Konfederasi Sepak Bola Brasil (CBF), saya bisa bertemu dengan pelatih Tim Piala Dunia 1994 Brasil, Carlos Alberto Perreira. Wawancara dengan Perreira berjalan mulus karena ia sangat lancar berbahasa Inggris.
Dalam wawancara itu, ia berulang kali meyakinkan saya bahwa Brasil akan menjadi juara dalam Piala Dunia 1994 di AS. Dan, memang itu yang terjadi, Brasil juara Piala Dunia 1994.
Dari Rio de Janeiro, saya kemudian terbang ke Buenos Aires, ibu kota Argentina. Tidak seperti di Brasil, ternyata di Buenos Aires tidak mudah untuk bertemu dengan pelatih atau pemain Tim Piala Dunia 1994 Argentina. Timing-nya tidak tepat. Tim Piala Dunia 1994 Argentina tengah latihan di pinggiran kota untuk bersiap-siap melakukan pertandingan persahabatan dengan Maroko di kota Salta, di bagian barat daya Argentina, 20 April 1994 malam. Saya tiba di Buenos Aires pada tanggal 20 April 1994 pagi.
Dari bandar udara, saya langsung mendatangi kantor Asosiasi Sepak Bola Argentina (AFA). Dari sana saya mendapat informasi bahwa tidak mungkin mewawancarai pelatih dan pemain sepakbola Argentina. Mereka akan bertanding di Salta malam ini dan sehari sebelumnya, 19 April 1994, mereka telah mengadakan konferensi pers. Saya berpikir, masak sih gagal menemui pelatih dan pemain sepak bola Argentina. Itu sama sekali tidak dapat diterima.
Baca juga: Maradona, Kisah Bola yang Lengket
Tiba-tiba muncul ide cerdas dalam benak saya, kalau mereka bertanding malam ini di Salta kan mereka harus naik pesawat terbang. Kenapa tidak saya cegat di VIP room bandara saja. Saya kemudian bertanya kepada seorang petugas AFA, dari bandara apa mereka berangkat? Dijawab dari bandara domestik Jorge Newberry, Buenos Aires.
Saya langsung berangkat ke Kedutaan Besar RI dan bertemu dengan Dubes Abdul Latief Taman. Saya ceritakan persoalan yang saya hadapi dan meminta bantuan kepadanya untuk mem-booking VIP Room Bandara Jorge Newberry. Dubes kemudian menugaskan personel protokol KBRI untuk mem-booking VIP Room seolah-olah akan menjemput tamu dan mendampingi saya sebagai penerjemah bahasa Spanyol.
Dubes kemudian menugaskan personel protokol KBRI untuk mem-booking VIP room.
Dari KBRI, saya diantar ke hotel untuk mengambil jas dan menuju ke bandara. Sampai di bandara sudah banyak wartawan yang menunggu. Ada yang berdiri dan ada yang duduk-duduk di pelataran.
Sambutan ramah Maradona
Saya dan personel protokol KBRI itu langsung menuju VIP room dan menunggu di sana. Tak lama kemudian, masuk Diego Maradona, Gabriel Batistuta, Claudio Caniggia, dan pelatih Alfio Basile. Saya langsung mendatangi Maradona dan memperkenalkan diri. Ia tersenyum menunjuk ke anting di telinga saya. Ia pun mengenakan anting. Saya sempat kaget karena tidak menyangka akan mendapatkan sambutan seramah itu, mengingat Maradona adalah nama besar di sepak bola.
Memang waktu itu posturnya sudah agak gemuk, tetapi karisma sebagai pemain sepak bola terbaik di dunia masih terlihat jelas. Para pengamat dan pakar sepak bola Argentina hanya memberi nilai empat untuk kinerja Maradona, dan menilai bahwa ia tidak akan sanggup bermain selama 45 menit. Namun, pelatih Tim Piala Dunia 1994 Argentina, Alfio Basile, memberi kesan bahwa Maradona masih akan tetap diandalkan sebagai motor penggerak bagi kesebelasan Argentina.
Baca juga: Kemanusiaan ”Si Tangan Tuhan”
Harus diakui bahwa keputusan Basile memanggil Maradona sudah benar karena dialah yang meloloskan Argentina ke putaran akhir Piala Dunia 1994 di AS. Ia yang membawa Argentina mengalahkan Australia dengan skor 1-0. Jalan Argentina ke putaran akhir Piala Dunia tahun 1994 hampir saja tertutup karena mereka dua kali dikalahkan dengan telak oleh Kolombia, 1-2 dan 0-5. Akibatnya, Argentina harus mengikuti playoff melawan Australia untuk menentukan apakah mereka bisa mengikuti putaran akhir Piala Dunia atau tidak.
Ketika ditanya tentang bagaimana peluang Argentina di Piala Dunia 1994, dengan rendah hati Maradona mengatakan, ”Semua terserah kepada Tuhan. Biarlah Tuhan yang menentukan.”
Pemain yang menjadi sangat terkenal dengan gol tangan Tuhannya ketika melawan Inggris pada Piala Dunia 1986 di Meksiko menyatakan, ia tidak ingin sesumbar. ”Yang penting bagi saya ialah bermain, bermain, dan bermain sebaik mungkin karena semua lawan yang akan kami temui di Piala Dunia adalah lawan-lawan yang tangguh,” ujarnya dengan sikap yang arif.
Ketika didesak, tim mana yang dianggap sebagai tim yang paling kuat bagi Argentina, Maradona enggan menjawab, ia hanya tersenyum. Adalah Batistuta yang menyeletuk dalam bahasa Inggris, ”Tim terkuat bagi Argentina ya Kolombia, kan, kami dua kali dikalahkan.”
Baca juga: Maradona yang Dicintai, Dipuja, Sekaligus Disesali
Maradona, yang lahir dengan nama Diego Armando Maradona, 30 Oktober 1960, dianggap beberapa kalangan menjadi lebih tenang dan matang setelah ia menghadapi berbagai macam persoalan yang menjadikannya harus beristirahat sementara dari permainan sepak bola.
Tidak banyak waktu yang diperoleh Kompas untuk berbicara dengan Maradona karena fans tidak henti-hentinya datang untuk meminta tanda tangan atau foto bersama. Bukan itu saja, gangguan pun datang dari telepon genggamnya yang seakan tidak pernah henti berdering.
Banyak orang yang menggantungkan harapan atas Maradona untuk memimpin rekan-rekannya dalam upaya memenangkan Piala Dunia yang ketiga kalinya. Mereka percaya bahwa Maradona, yang absen dari pertandingan resmi selama tiga bulan terakhir karena ia dilepas oleh klubnya, Newell’s Old Boys—Argentina—akan dapat memenuhi harapan mereka.
Mereka menganggap Maradona tidak akan membiarkan kariernya di sepak bola meredup begitu saja, seperti yang terjadi sebelum ini, di mana keterlibatannya dengan narkoba nyaris mematikan kariernya.
Baca juga: Akhir Indah Kisah ”Bocah Emas”
Mereka yakin bahwa Maradona akan menggunakan putaran akhir Piala Dunia 1994 di AS ini sebagai tempat untuk membuktikan kepada dunia, dan terutama juga kepada Argentina, bahwa ia adalah pemain terbaik di dunia pada zamannya.
Basile mengatakan, ”Kali ini Argentina tidak bisa tidak harus menjadi juara. Pokoknya, Argentina harus jadi juara. Itulah tekad kami.” Basile mengakui bahwa tekad itu tidak mudah diwujudkan karena kesebelasan-kesebelasan yang masuk ke putaran akhir Piala Dunia 1994 itu semuanya merupakan kesebelasan pilihan yang tangguh. ”Sebab itu, yang terpenting bagi Argentina adalah bermain sebaik mungkin,” ujar Basile.
Namun sayang, setelah memainkan dua pertandingan di babak penyisihan, langkah Maradona di Piala Dunia 1994 terhenti karena gagal lolos tes doping. Padahal, rapor Maradona sudah dianggap bagus setelah Argentina mengalahkan Maroko 3-1 di Salta. Tanpa Maradona, Argentina tersingkir di babak 16 besar.
Dan, yang sangat mengesankan bagi saya adalah, ketika akan meninggalkan VIP room untuk memasuki pesawat, secara khusus Maradona mendatangi saya dan mengajak bersalaman. Selamat jalan Maradona….
(James Luhulima, wartawan Kompas 1983-2016)