Menyaksikan Perayaan Kasada di Tengah Pandemi
Puncak Yadnya Kasada jatuh pada 6-7 Juli. Timbul pertanyaan di benak, apakah ritual melarung sesaji ke kawah Gunung Bromo akan tetap diselenggarakan di tengah situasi pandemi?
Bagi wartawan foto yang bertugas di Jawa Timur seperti saya, meliput kegiatan Yadnya Kasada bisa dibilang ”kewajiban”. Bagi saya pribadi, liputan ini sekaligus cara untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas dan udara panas Kota Surabaya tempat saya bermukim.
Namun, entah mengapa di tengah dinginnya kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru itu, saya justru merasakan kehangatan. Kehangatan yang berasal dari sambutan warga Tengger. Kebanyakan warga Tengger masuk dalam kelompok suku tersendiri, yakni suku Tengger. Mereka berdiam di lereng Gunung Bromo dan Semeru di ketinggian 2.329 meter di atas permukaan laut.
Biasanya, saat Kasada saya menyewa rumah milik warga Tengger. Di kala senggang, saya senang berbincang dengan pemilik rumah di depan tungku api, sembari menikmati kue-kue dan kopi panas yang dihidangkan. Keramahan warga Tengger itulah yang membuat saya selalu ingin kembali ke Bromo.
Baca juga : Semangkok Mi dan Segelas Kopi di Saat Akhir Bersama Mbah Maridjan
Sudah empat kali Kasada saya menginap di kediaman Pak Muliad yang rumahnya sering menjadi tempat singgah para fotografer. Ia tak sungkan mengajak tamu-tamunya merambah dapur yang menjadi ruang privatnya. Dapur menjadi satu-satunya tempat paling hangat di rumah itu karena keberadaan tungku di sana.
Tahun ini, puncak Yadnya Kasada jatuh pada 6-7 Juli. Timbul pertanyaan di benak, apakah ritual melarung sesaji ke kawah Gunung Bromo itu akan tetap diselenggarakan di tengah situasi pandemi?
Banyak ritual budaya lain yang terpaksa diurungkan untuk menghindari timbulnya keramaian demi mencegah penyebaran Covid-19. Terlebih, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru masih ditutup untuk pengunjung.
Pertanyaan tersebut menjadi bahan pikiran berhari-hari para fotografer yang rutin meliput ke sana, termasuk saya. Kepastian baru tiba dua hari menjelang pelaksanaan. Yadnya Kasada tetap berlangsung.
Saya pun lega mendengarnya. Tahun ini akhirya bisa ngadem juga di Bromo. Namun, kemudian datang informasi yang sungguh mengagetkan. Mereka yang boleh hadir terbatas hanya warga Tengger. Itu pun harus dengan protokol kesehatan yang ketat.
Lalu bagaimana dengan kami wartawan foto? Apakah tetap diperkenankan meliput? Bagaimanapun, Kasada yang berlangsung di tengah pandemi akan menjadi peristiwa bagus. Kasadanya saja sudah menarik, apalagi ditambah terjadinya di tengah situasi pandemi. Tentu akan menjadi sejarah yang selalu diingat.
Baca juga : ”Stop Press” dan Film Esek-esek
Melalui rekan wartawan foto yang berdinas di Kabupaten Probolinggo, saya mendapat informasi bahwa pemerintah daerah setempat memperbolehkan wartawan foto untuk meliput. Hanya saja, harus membekali diri dengan surat keterangan sehat.
Sebagai orang yang patuh pada protokol, saya dapat memahami ketentuan itu. Bagaimanapun juga, hal tersebut dilakukan untuk melindungi semua pihak, khususnya warga Tengger, dari paparan Covid-19.
Walaupun surat yang harus dibawa bukan berupa surat bebas Covid-19, setidaknya surat itu memastikan orang luar Tengger yang akan datang, dalam hal ini wartawan foto, dalam keadaan sehat. Saya kemudian mengurus surat keterangan sehat di salah satu puskesmas di Kota Surabaya.
Setelah melengkapi persyaratan, saya pun meluncur ke Gunung Bromo. Di Kantor Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, saya dan beberapa teman melapor untuk mendapatkan kartu izin peliputan.
Saya kemudian melanjutkan perjalanan, langsung menuju Desa Ngadisari untuk bermalam. Desa ini merupakan desa terakhir sebelum lautan pasir. Sepanjang perjalanan, saya menjumpai pemeriksaan yang ketat dari petugas. Ini pengalaman baru yang saya temui sepanjang beberapa kali meliput Kasada.
Setidaknya, saat itu saya melewati lima kali pemeriksaan, sejak saya keluar dari Kantor Kecamatan Sukapura hingga mencapai Desa Ngadisari yang berjarak sekitar 15 km. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan hanya warga Tengger dan orang-orang yang mengantongi izin, termasuk wartawan, yang masuk ke kawasan Gunung Bromo.
Baca juga : Pengalaman Kecebur Kolam hingga Dikira Menteri
Tiba-tiba, di tengah pemeriksaan yang ketat, saya mendapati pemandangan banyaknya warga Tengger yang kembali dari Gunung Bromo. ”Ada apa ya, apakah mereka sudah kembali dari melarung sesaji di kawah?” batin saya saat itu.
Tidak seperti biasanya, pada kesempatan Kasada tahun ini, saya dan beberapa teman wartawan foto yang berangkat bareng dari Surabaya sepakat untuk tidak meliput pengambilan air suci. Bukan karena medannya yang sulit, melainkan kami ingin fokus pada pengurusan izin liputan dan perayaan puncak Kasada saja.
Mendekati Desa Ngadisari, semakin banyak Warga Tengger yang meninggalkan kawasan lautan pasir dengan berbagai moda tranportasi yang mereka kendarai. Pemandangan yang biasa kita jumpai jika mereka baru saja selesai melarung sesaji.
Saya kemudian terlibat perdebatan dengan teman-teman untuk menentukan rencana selanjutnya. Apakah beristirahat atau lanjut menuju kawah? Untuk menjawab keraguan, kami akhirnya memutuskan untuk tidak mencari penginapan terlebih dahulu, tetapi langsung menuju kawah.
Turun ke lautan pasir dengan mobil ternyata di sana sudah ramai warga Tengger. Padahal puncak Kasada baru diselenggarakan dini hari nanti.
Pada tahun-tahun sebelumnya, sehari sebelum puncak Kasada, lautan pasir akan dipenuhi oleh truk-truk pengangkut warga dari luar tengger yang ingin melihat prosesi Kasada.
Baca juga : Waktu-waktu Ajaib Pentas Komunitas Lima Gunung
Momen Kasada memang sering dimanfaatkan warga luar Tengger untuk berwisata. Mereka bermalam dengan tenda seadanya di lautan pasir dekat Pura Luhur Poten, tempat prosesi bermula. Sambil menunggu, mereka memutar lagu-lagu dangdut gaya panturaan dengan suara ingar-bingar yang keluar dari speaker-speaker besar.
Namun kali ini, tidak ada lagi deretan truk. Begitupun dengan wisatawan yang biasanya datang dengan tujuan melihat prosesi ataupun sekadar mengabadikan kenangan dengan berswafoto di bibir kawah. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah warga suku Tengger.
Mengetahui sudah banyak warga yang melarung sesaji, akhirnya saya dan rekan wartawan memutuskan untuk naik ke kawah, lebih cepat satu hari dari biasaya. Dengan berjalan kaki, perlahan bukit-bukit pasir dilewati. Dari daratan yang datar hingga menanjak terjal.
Sempat, di sela-sela istirahat di tangga bawah menuju puncak Bromo, saya melihat pemandangan yang menenangkan jiwa. Warga Tengger tetap setia melestarikan ajaran nenek moyang mereka meski terjadi pandemi. Namun, kali ini dengan protokol kesehatan.
Bagi warga Tengger, ritual di masa pandemi justru menghadirkan kekhusyukan yang mungkin sudah puluhan tahun lalu terakhir kali mereka rasakan, saat Gunung Bromo belum populer sebagai kawasan wisata.
Setelah meniti tangga, saya menyadari bibir kawah yang biasanya terasa sempit kini tampak lebar. Warga yang akan melarung dan berdoa di bibir kawah tak perlu lagi berdesakan atau bergantian lewat dengan wisatawan. Pewarta foto pun tidak terlalu merasa khawatir akan jatuh karena masih banyak ruang tersisa untuk berpijak.
Baca juga : Tantangan Jurnalis Perempuan: Antara Keluarga dan Berita
Secara pribadi, saya sering merasa miris melihat ritual budaya seperti kehilangan kesakralannya karena harus berbagi dengan kepentingan pariwisata. Namun, tentu saja situasi tersebut tidak bisa kita lihat secara sederhana.
Bagaimanapun, banyak warga Tengger menggantungkan hidupnya dari pariwisata dengan menyewakan mobil jip, rumah, kuda, membuka warung, hingga menjual pernak-pernik suvenir.
Selepas, liputan di kawah dan meniti tangga turun, hujan turun rintik-rintik. Saat itu menjelang sore. Masih banyak warga yang akan naik ke kawah. Saya kembali merasakan kekhusyukan yang mendalam akan ritual bernama Kasada yang dijalani warga Tengger.
Masih dalam kondisi basah, seusai menyelesaikan urusan mengirim berita, saya kebingungan mencari tempat untuk menginap. Rupanya banyak penginapan tutup demi menaati imbauan pemerintah daerah untuk tidak dulu menerima tamu.
Setelah susah payah mencari, akhirnya ada juga sebuah penginapan yang mau membuka pintu karena melihat kami bukan wisatawan, melainkan wartawan yang meliput Kasada.
Dalam perbincangan di kamar setelah mandi air panas, saya dan beberapa teman bersepakat bahwa Kasada di tengah pandemi ini terasa sangat mengesankan, selain penuh kejutan: naik ke kawah sehari lebih cepat dari biasanya hingga diguyur hujan.
Tidak adanya wisatawan membuat kami merasa lebih ringan dalam meliput karena jalan menuju kawah tidak seramai tahun-tahun yang lalu. Kami pun turut merasakan kekhusyukan ritual yang mungkin telah lama diidam-idamkan kembali oleh suku Tengger.