Pengalaman ”Kecebur” Kolam hingga Dikira Menteri
Salah telepon narasumber, dikira pejabat, dikejar-kejar narasumber, hingga ”kecebur”kolam adalah sedikit di antara ribuan pengalaman wartawan ”Kompas”. Pengalaman unik itu makin memberi warna kehidupan seorang jurnalis.
Kehidupan wartawan yang bertemu banyak orang, mengunjungi banyak tempat, hingga menyaksikan banyak peristiwa sudah pasti meninggalkan sejuta cerita. Dari yang unik, lucu, bikin malu, hingga aneh dan konyol. Berikut beberapa cerita ”mini” di antaranya.
Kisah wartawan Kompas, Andreas Maryoto.
Suara pejabat
Saat itu saya masih bertugas untuk wilayah Karawang dan sekitarnya, tahun 1997 hingga awal tahun 2000. Pada suatu ketika terjadi demonstrasi besar-besaran yang diiringi kericuhan di sebuah pabrik di Kabupaten Purwakarta. Jaraknya sekitar 40 kilometer dari Karawang, tempat saya berdiam.
Pada masa itu, persebaran informasi belum secepat sekarang karena teknologi dan perangkat komunikasi yang belum secanggih saat ini. Oleh karena baru mendengar peristiwa tersebut malam harinya, saya tidak mungkin langsung berangkat ke Purwakarta. Jadilah, telepon menjadi andalan. Tetapi, siapa yang harus saya telepon. Bingung. Iseng saya telepon kantor Polres Purwakarta.
”Selamat malam,” sapa saya.
”Siap komandan!” jawab suara di seberang sana.
Saya kaget mendengar respons tersebut. Tiba-tiba muncul akal bulus. Saya menduga sang petugas baru saja menerima telepon dari orang penting. Bisa juga suara saya terdengar seperti suara pejabat. Dengan segera saya sampaikan maksud saya.
”Dik, tolong sediakan data kerusakan akibat kerusuhan di pabrik X, ya. Saya butuh,” kata saya dengan nada suara seberwibawa mungkin.
”Siap, Komandan! Laksanakan!”
Tak lama petugas tersebut membacakan jumlah bangunan dan mobil yang rusak akibat demonstrasi siang harinya. Hari itu saya selamat dari ”kecolongan” berita. Besoknya berita muncul dengan sempurna. Mungkin malam itu saya dikira orang Mabes Polri oleh polisi yang sedang piket jaga tersebut. Maaf, ya, Pak Pol.…
Baca juga : Tantangan Jurnalis Perempuan: Antara Keluarga dan Berita
Narasumber yang tertukar
Suatu kali saat sudah dipindah tugas ke Jakarta dan bertugas di Desk Ekonomi, saya berniat mewawancarai Didik J Rachbini lewat telepon seluler.
”Selamat malam, Mas,” sapa saya.
”Selamat malam,” jawab orang di seberang telepon.
”Mau wawancara, nih.”
”Oh, silakan.”
”Begini, Mas, harga gula kan naik. Apa penyebabnya?”
”Oh, kalau soal gula saya bisa jawab, tapi saya mau belajar dulu.”
Selama sekian detik saya bingung. Mengapa dia bilang harus belajar dulu soal ini. Padahal, kan, dia pengamat ekonomi. Tiba-tiba seperti ada yang menyadarkan. Saya tengok layar ponsel. Di situ tertera nama... Din Syamsuddin! Oalah, rupanya saya salah telepon!
Baca juga : Waktu-waktu ”Ajaib” Pentas Komunitas Lima Gunung
Dikira menteri
Awalnya, saya tidak menyadari. Setiap kali masuk hotel dan mal, petugas keamanan selalu memberi sikap hormat dengan sikap sempurna. Belakangan baru saya merasa ada yang ganjil. Kenapa ini baru terjadi setelah tidak lama Jokowi melantik menteri-menterinya?
Hingga suatu hari saya datang ke sebuah mal di bilangan Senayan, Jakarta. Belum lagi saya mendekati pintu masuk, dari kejauhan petugas keamanan sudah memberi hormat.
”Silakan, Pak. Lagi santai, Pak?” tanya petugas keamanan itu.
Ia membukakan pintu dan hormat dengan sikap sempurna. Tas saya pun tidak diperiksa seperti pengunjung lainnya.
”Iya, terima kasih, ya,” jawab saya sambil menahan rasa heran.
”Siap, Pak Menteri. Silakan….”
Oh, rupanya saya dikira menteri. Tidak perlu saya sebutkan, ya, namanya. Kalau sekarang lain lagi. Mungkin saya dikira Sekjen WHO!
Baca juga : Mobil Listrik, dari Meragukan sampai Akhirnya Jatuh Cinta
Wartawan Kompas, Sarie Febriane, juga menyimpan banyak cerita unik selama liputan. Ia lama meliput untuk kasus-kasus terorisme dan nongkrongin Mabes Polri sebelum berpindah ke Desk Nonberita untuk meliput gaya hidup.
Byur di gelap malam
Saat itu, saya hendak meliput acara yang dikemas dalam acara gala dinner di hotel bintang lima, The Dharmawangsa. Parkir kendaraan saya pilih di dekat Bimasena, klub privat yang dilengkapi restoran, spa, dan tempat nongkrong, masih dalam kawasan yang sama dengan hotel. Karena hendak menghadiri gala dinner, tentu saja kostum harus disesuaikan. Saya berdandan lengkap, termasuk memakai sepatu berhak tinggi.
Selesai parkir, saya berjalan cepat-cepat ke tempat acara karena sebenarnya sudah telat. Untuk menuju ruang gala dinner, saya harus melintasi area taman hotel yang remang-remang, namun bagi penglihatan saya sudah cukup gelap.
Saat sedang berjalan ngebut itu, dari arah belakang muncul sesosok pria muda manis yang kemudian bertanya apakah saya akan ke acara dinner tersebut. Tentu saja saya jawab ”iya” sambil tetap berjalan cepat. Namun, tiba-tiba, byuuurrrr. Saya kecemplung di kolam hias!
Sial, tidak kelihatan sama sekali itu kolam sebelumnya. Sang pria muda terdengar kaget dan panik melihat kejadian tak terduga itu. Ia berusaha menolong. Namun, saya yang saat itu malu bercampur gengsi luar biasa tentu saja menolak tawaran bantuannya dan berusaha memanjat sendiri untuk keluar dari kolam.
Baca juga : Dalam Ricuh, Bandung Kembali ke Zaman Batu
Terpaksalah kemudian balik lagi ke mobil untuk berganti baju. Saya punya kebiasaan membawa beberapa pilihan baju dan menyimpannya di mobil jika dalam sehari harus meliput ke berbagai acara yang berbeda. Jadi, berangkat dari rumah saya pakai kaus dan jins. Saat harus menghadiri acara formal, seperti hari itu, saya bisa berganti dengan baju yang sesuai.
Baju atasan beres. Tinggal bawahan. Ternyata tidak ada celana cadangan. Untung saja saat itu saya memakai bawahan legging hitam sehingga tidak terlihat terlalu basah. Legging kuyup itupun akhirnya jadi kostum untuk menghadiri gala dinner.
Gara-gara legging basah itu, perut kembung dan masuk angin. Jadilah, sepanjang acara saya kerap buang angin. Untung bunyinya tertutupi oleh suara musik yang keras. Kentutnya pun tidak berbau. Aman, yang penting saya berusaha tetap pasang muka seanggun mungkin setiap kali kentut. Untungnya lagi, saya tidak satu meja dengan pria muda yang menjadi saksi mata saya kecebur kolam. Malunya itu, lho….
Siap Jenderal!
Meliput kasus-kasus terorisme benar-benar bikin hidup berasa ikutan terteror. ”Radar” harus hidup terus-menerus memonitor perkembangan kasus terorisme yang untuk mencari informasinya, kita harus rajin-rajin mengais potongan informasi kepada banyak sumber.
Peristiwa bisa terjadi kapan pun tanpa kita duga. Kalau sudah begitu, siap-siap hidup semakin ”terteror” karena perburuan hingga penangkapan terduga atau tersangka pelaku juga bisa terjadi sewaktu-waktu.
Salah satu contoh hidup yang tidak tenang itu, dini hari pun harus siap ditelepon dan meluncur. Suatu ketika, lagi enak-enak tidur, pukul 03.00 masuk panggilan telepon dari seorang narasumber penting. Tanpa basa-basi ia bertanya, ”Bisa merapat sekarang?”
Oke, siap Jenderal! Berangkatlah saya membelah keheningan dini hari Jakarta dalam kondisi separuh melayang karena masih mengantuk. Narasumber saya ini tampaknya lupa, saya bukan anak buahnya yang siap sedia 24 jam dipanggil dan bisa langsung,”Siap! Perintah!” Tapi, mau bagaimana lagi, namanya juga butuh informasi.
Dituding bayaran
Suatu ketika di Bareskrim Mabes Polri, datang seorang perempuan politisi beken. Ia tengah bermasalah urusan hukum dengan perempuan politisi lain, rivalnya. Sebagian wartawan kemudian menghampiri dan mencegatnya untuk wawancara (door stop).
Saya tidak ikut wawancara dan hanya duduk-duduk saja karena Kompas memang tidak mengangkat masalah yang berakar pada pertengkaran personal kedua politisi tersebut. Sesekali saja saya menengok untuk melihat teman-teman yang tengah wawancara.
Keesokan hari, datang pesan pendek (SMS) ke ponsel saya dari sang politisi. Ia menuding saya orang bayaran dari rivalnya tersebut karena tidak mau mewawancarai dia. Alamak!
Tidak seperti yang orang pikir
Kali lain, seorang politisi tengah dikerumuni wartawan yang mewawancarainya door stop. Saya kebetulan melintas tidak jauh dari kerumunan tersebut, namun tidak ikut berkerumun karena tidak berniat wawancara.”
Melihat saya melintas, narasumber tersebut malah menyibak kerumunan para wartawan dan berjalan menghampiri saya. Ia lalu bertanya apakah ada yang bisa dibantu. Kerumunan wartawan pun lantas memandang kami berdua dengan wajah yang sulit dijelaskan, yang pasti suasana saat itu menyebalkan. Pengin banting bolpen rasanya!
Berbagai kisah pengalaman liputan semacam ini sering diceritakan di antara sesama rekan dan wartawan di ruang redaksi. Kisah ”remah” yang dampaknya tidak remeh. Ketika dikisahkan dan mampu membuat orang lain tertawa atau bahkan pelakunya menertawakan diri sendiri, kata ahli, hal itu bisa memberi dampak psikoterapi. Semoga!