Dengan sigap JS berpindah ke saluran televisi agar adegan video esek-esek tidak tampak. Di layar muncul siaran CNN tentang Rajiv Gandhi yang baru saja terbunuh! Dengan sok tahunya, saya memerintahkan percetakan stop.
Oleh
Arbain Rambey
·4 menit baca
Malam itu, 21 Mei 1991. Kantor kosong, semua orang sudah pulang karena waktu sudah lewat tengah malam. Hanya ada saya dan JS (panggilan akrab almarhum fotografer Julian Sihombing). Kami lalu duduk berdua di area Desk Internasional memutar film esek-esek dari pita video VHS oleh-oleh seorang teman yang baru pulang dinas luar negeri.
Baru beberapa menit video diputar, rombongan petugas satpam masuk mengecek lantai demi lantai, termasuk lantai 3 yang menjadi markas Redaksi Kompas. Dengan sigap, JS berpindah ke saluran televisi agar adegan video esek-esek tidak tampak di layar.
Di layar muncul siaran CNN tentang Rajiv Gandhi yang baru saja terbunuh! Ia tewas pukul 23.50 WIB. Saya dan JS terkesiap. Saat itu, saya masih wartawan yang sangat baru. Namun, dengan sok tahunya saya langsung lari ke percetakan Gramedia di lantai 2. Saya memerintahkan percetakan untuk menghentikan proses pencetakan koran Kompas edisi 22 Mei 1991. Herannya, percetakan nurut!
Pada saat yang sama, JS membuka jaringan kantor berita asing untuk mencari berita teleks tentang pembunuhan Rajiv. Waktu itu belum ada internet. Saya lalu mengedit sebuah berita di halaman 1, memotongnya sedikit untuk menyelipkan berita stop press tentang terbunuhnya Rajiv Gandhi.
Setelah selesai, pencetakan koran Kompas pun dilanjutkan kembali dengan damai. Namun, tidak begitu dengan suasana Redaksi Kompas keesokan harinya yang sama sekali tidak damai.
Semua pemimpin mendadak sadar betapa rendahnya tingkat keamanan percetakan Kompas. Seorang Arbain yang baru beberapa hari resmi menjadi wartawan Kompas bisa menghentikan proses percetakan, bahkan mengganti konten di halaman 1.
Walaupun saat itu aku dan JS menuai pujian, tetapi kemudian dilakukan pembenahan besar-besaran di redaksi. Kartu identitas pegawai dirombak total. Orang-orang yang berhak masuk ruang cetak diberi kartu berwarna merah.
Sedangkan hak menghentikan percetakan atau mengganti isi yang sudah disahkan pemred sebelum cetak tetap berada di tangan mendiang Jakob Oetama atau wakilnya. Saat itu dijabat oleh August Parengkuan dan Robby Sugiantoro (keduanya kini telah berpulang).
Okelah, apa pun yang terjadi, saya dan JS tetap pahlawan pada waktu itu. Namun, ”kepahlawanan” kami berdua hanya berumur kurang dari 3 bulan. Pada 12 Agustus 1991 sore, saat saya pulang dari liputan tenis, saya melihat JS sedang mengetik di meja saya.
Kami memang akrab. Entah mengapa, sejak aku masuk Kompas, aku dekat dengan dia. Dia juga merasa cocok berteman denganku dan Anton Sanjoyo (JOY). Kami sering runtang-runtung bertiga. JS memanggilku ”In”, aku dan Anton memanggilnya ”Jul”, sementara JS memanggil Anton dengan ”Atong”.
Julian senang sekali duduk di mejaku. Rupanya sore itu, JS sedang mengetik teks untuk foto yang ia buat siang harinya tentang kunjungan Miss Universe.
”Eh, In. Siapa sih nama Menteri UPW (Urusan Peranan Wanita)?” tanya JS sambil ketak-ketik di komputer saya.
Sambil berganti t-shirt, saya menjawab sekadarnya,”Lasiah Soetanto”. ”El-a-es-i-a-ha-es-o-e-te-a-en-te-o,” lanjut saya mengeja untuk membantu penulisan nama. Itu pun sebenarnya kurang tepat karena nama seharusnya Lasiyah.
Saya benar-benar lupa kalau saat itu Lasiyah Soetanto sudah meninggal dan digantikan Lasikin Murpratomo. Dan ternyata, JS tetap mengetik nama itu. Celakanya lagi, redaktur malam tidak menyadari kesalahan tersebut. Nama Lasiyah pun naik cetak!
Keesokan harinya, telepon di Redaksi Kompas berdering sepanjang waktu. Ratusan orang mengejek Kompas. Kata mereka, ”Miss Universe ketemu Lasiyah Soetanto, yang meliput pasti PK Ojong.” Pendiri Kompas, PK Ojong, meninggal tahun 1980.
Demikianlah, saya dan JS lalu jadi pesakitan. Sebenarnya sih yang salah secara resmi JS karena saya tidak terlibat. Namun, seluruh rekan kami di Kompas tetap menganggap duet ”Thomson/Thompson” (pasangan detektif dalam komik Tintin) ini bersalah. Begitulah, pertemanan saya dan JS yang banyak diwarnai berbagai kisah.
Peristiwa epik lain yang mewarnai persahabatan kami adalah terkait lensa 35 mm/1,4. Suatu hari, JS menghadiahi saya lensa Nikkor 35mm/1,4 yang langka. Pesan JS pada saya, ”Pakailah lensa ini. Ini keren banget biar fotomu makin oke.”
Saya pun menerima lensa itu. Waktu itu gaji saya masih ”tertinggal” jauh oleh keborosan hidup saya yang sudah tinggi. Suatu hari karena ingin membeli sebuah benda yang mahal, lensa 35 mm itu saya jual kepada Anton Sanjoyo. Untuk sementara, masalah beres.
Namun ternyata, beberapa tahun kemudian saat Anton butuh uang, dia ingin menjual lensa yang faktanya tak pernah ia pakai itu. Anton tentu tak akan menjualnya kepada saya bukan? Lalu Anton terpikir untuk menjualnya kepada JS. Apa yang terjadi? Sore itu, seusai ditawari lensa, JS mengamuk sejadi-jadinya kepada saya. Dia jelas sangat mengenali lensa langka itu.
Julian kemudian mengambil lensa itu dan mengembalikannya ke meja saya. Ia memang ingin sekali saya menggunakan lensa itu. Saya kembali memakainya untuk beberapa waktu. Seingat saya, saya kemudian membayarkan sejumlah uang kepada Joy karena ia sedang membutuhkan uang. Begitulah, persahabatan kami berjalan. Dan, bulan Oktober tahun ini genap delapan tahun kepergian Julian….