logo Kompas.id
Di Balik BeritaRahasia Menemukan Orang-orang ...
Iklan

Rahasia Menemukan Orang-orang Istimewa

Mencari orang-orang istimewa yang bekerja untuk kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Tak mudah, apalagi harus mengikuti kiprahnya bertahun-tahun. Ini yang dilakukan wartawan Kompas, Khaerul Anwar, sebelum menulis.

Oleh
Khaerul Anwar
· 10 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/v4atAJWUHxaEf80B80nHzPjnhGw=/1024x1365/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20-05-30-18-34-51-159_deco_1590838631.jpg
ARSIP KOMPAS

Tulisan pada rubrik Sosok karya Khaerul Anwar.

Rubrik Sosok terbit setiap Senin hingga Sabtu di harian Kompas. Rubrik ini menampilkan kiprah orang-orang istimewa. Orang-orang ”biasa” dengan kiprah luar biasa yang bekerja untuk kemanusiaan atau meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya, tetapi jauh dari sorot perhatian.

Wartawan Kompas, Khaerul Anwar, yang bertugas di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu yang paling aktif menulis untuk rubrik ini. Ia aktif blusukan ke desa-desa untuk menemukan calon ”Sosok” yang kemudian ia ikuti kiprahnya bertahun-tahun sebelum ditulis menjadi artikel. Berikut kisahnya:

Menulis profil seseorang dalam rubrik Sosok di harian Kompas gampang-gampang susah. Gampangnya, kalau kita sudah mendapat kandidat ”Sosok” sesuai pakem Kompas, tinggal merangkai ceritanya menjadi tulisan.

Baca juga : Dokter Cantik Obatnya

Hal tidak mudahnya adalah menemukan sosok seseorang yang pantas di-”Sosok”-kan karena tergolong ”manusia langka”. Biasanya, orang ini memiliki karakter dan kepribadian yang khas dengan kiprah yang menginspirasi dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.

Berburu calon Sosok di masa kini bisa dilakukan melalui media sosial, ponsel, televisi, atau internet. Berbeda dengan dua dekade sebelumnya, saat perangkat informasi dan telekomunikasi masih barang langka. Alat komunikasi jarak jauh paling banter adalah telepon duduk yang tidak dimiliki semua orang.

Tulisan Sosok membutuhkan wawancara mendalam melalui tatap muka. Tidak seperti wawancara kuesioner yang membatasi jawaban narasumber dengan ”ya” atau ”tidak”, membuat profil seseorang memerlukan pertemuan langsung agar dapat mengamati gestur dan perilaku narasumber, termasuk suasana dan tempat wawancara. Mungkin di bale-bale, teras, halaman rumah, sawah, atau kebun.

https://cdn-assetd.kompas.id/6sSbBnyFHpsOE4_tVwsUU8J4o3s=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20160117RUL01_1590803435.jpg
KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Blusukan ke desa-desa dan berbincang dengan banyak warga setempat dilakukan wartawan Kompas, Khaerul Anwar, untuk menemukan sosok-sosok manusia istimewa.

Penggambaran situasi akan menjadi ”bumbu” yang membuat tulisan semakin sedap dibaca, sekaligus membawa pembaca seakan bertemu langsung dengan sang tokoh di lokasi wawancara.

Di masa lampau, karena keterbatasan fasilitas informasi dan komunikasi, saya sempatkan seminggu sekali ke lapangan khusus untuk berburu Sosok. Keluar masuk kampung di Kota Mataram hingga blusukan ke dusun dan desa di Pulau Lombok.

Saya temui warga, kepala dusun, kepala desa, generasi muda, hingga aktivis non-govermental organisation (NGO). Saya ajak mereka berdialog berbagai hal, seperti kondisi sosial, budaya, sumber pendapatan penduduk, pendidikan, kesehatan, pertanian, kerajinan, irigasi, air minum, dan program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan pemerintah dan NGO.

Baca juga : Berani Meliput ”Jalur Tengkorak” karena Tidak Tahu Bahaya

Keterbukaan untuk berdialog menandakan mereka telah bersedia membuka pintu rumahnya untuk diketahui orang luar. Lalu, mengalirlah cerita-cerita tentang orang-orang hebat di desa atau dusun mereka, khususnya dari kalangan rakyat kecil.

Dalam setiap dialog, saya bersikap sebagai pendengar yang baik. Obrolan semakin nyambung karena saya mengerti bahasa mereka, yakni bahasa Sasak, Lombok. Orang yang memenuhi kriteria kemudian saya dekati untuk selanjutnya menjadi ”mata” dan ”telinga”, sekaligus incaran saya untuk dijadikan subyek tulisan Sosok kelak.

Ya, masih jadi incaran karena saya harus menunggu tiga-empat tahun lagi untuk membuktikan kiprahnya secara konkret. Karena itu, saya terus memantau dengan cara mengunjunginya langsung ke desa sebelum bisa di-”Sosok”-kan. Kalau kini, bisa dilakukan via komunikasi ponsel.

Untuk kebutuhan sowan atau wawancara, biasanya saya merogoh kocek setara dengan 1 kilogram gula pasir atau seharga sepasang sandal jepit sebagai ”kompensasi” karena saya telah menyita waktu kerjanya untuk wawancara.

https://cdn-assetd.kompas.id/QLRQjjuTZvAXiz-QWyyTZcBlWYw=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20160318rul03_1590803633.jpg
KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Rajin berbincang dengan warga akan membantu dalam menemukan bahan-bahan tulisan yang menarik, termasuk bertemu orang-orang biasa dengan kiprah luar biasa bagi kemanusiaan dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Orang biasa

Sosok yang saya tulis adalah orang biasa yang tidak biasa. Salah satunya, Abdul Muhyi, yang saya temui delapan tahun silam. Ia adalah pekasih atau petugas distribusi tata guna air irigasi tingkat jaringan tersier dalam sistem subak di Lombok.

Informasi tentang Muhyi saya peroleh dari seorang rekan yang menjabat camat di Lombok Timur. Saat itu, Muhyi sudah menjabat pekasih selama 22 tahun. Ia tinggal di Kokok Lauk II, Kelurahan Kelayu Selatan, Kecamatan Selong, Lombok Timur.

Baca juga : Liputan Perang Irak (3): ”Wisata Kuliner” di Tengah Kecamuk Perang

Tugas Muhyi akan semakin berat ketika musim kemarau tiba. Debit air di saluran irigasi cenderung menyusut sehingga ia harus memonitor jaringan irigasi sepanjang 3 kilometer dan memunguti sampah yang menyumbat aliran air ke areal sawah warga seluas 114 hektar. Kondisi itu menuntutnya pulang larut malam atau menginap di bale-bale sawahnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/iLP08fgfVfP74vkfu-oVfbWRtmU=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20120318RUL03.JPG_1590803790.jpg
KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Abdul Muhyi, petugas distribusi tata guna air irigasi berdedikasi di Lombok Timur.

Dengan menginap di bale-bale, ia dapat segera turun tangan apabila timbul gelagat konflik. Misalnya, suatu hari ketika tengah mengontrol saluran irigasi, sekitar pukul 10.00 Wita, Muhyi kedatangan petani A yang melaporkan bahwa petani B telah membendung saluran air ke sawah A.

Petak sawah A berada di hulu, sedangkan petak sawah B berada di hilir. Sesuai jadwal, seharusnya A yang mendapat jatah air lebih dahulu. Setelah berdebat, akhirnya disepakati aliran air ke sawah B dilanjutkan sampai selesai, baru kemudian ke sawah A. Muhyi mengingatkan agar B tidak mengulangi perbuatannya yang sebenarnya termasuk tindakan mencuri air.

Baca juga : Kerusuhan Mei 1998 di Solo, Kenangan yang Ingin Kulupakan

Atas kerjanya itu, Muhyi mendapat upah Rp 100.000 per hektar atau suwinih berupa gabah 25-40 kg setahun dari anggota subak. Bisa saja ia memungut dana operasional dari anggota subak. Namun, itu tidak dilakukannya karena, ”Saya nanti dituduh menjual air”. Ia merasa cukup dengan hasil dari 1,4 hektar sawah yang dikelolanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/Edy5r8Q8w5Ych8al3gpyvBHONZQ=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FScreenshot-252_1590803904.png
ARSIP KOMPAS

Tulisan tentang kiprah Abdul Muhyi di harian Kompas.

”Three in one”

Sosok lain yang pernah saya tulis adalah Zuhirman (27), warga Dusun Kecinan, Desa Melaka, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Ia pertama kali saya temui tahun 2015 berkat informasi rekan Pegiat Literasi.

Zuhirman menyebut profesinya three in one. Pagi hari ia mengajar dan merangkap Kepala Sekolah Dasar Islam (SDI) Ar Rahmah yang didirikannya. Pukul 13.00-16.00 Wita ia berjualan bakso cilok keliling kampung. Di sela-sela itu, tiga kali seminggu ia kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Mataram.

Baca juga : Liputan Perang Irak (2): Berkawan Rompi Bismillah

Lokasi sekolahnya menempati lahan seluas 3 are, hasil sumbangan orangtua Zuhirman, Sirajudin dan Masidah. Sekolah yang hanya mempunyai 5 guru sukarelawan itu memiliki 30 siswa, yang terdiri dari 7 siswa kelas I, 7 siswa  kelas II, dan 16 siswa kelas III. Dua siswa di antaranya adalah penyandang disabilitas.

”Ini sebuah pilihan. Kita hidup, kan, tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga harus peduli terhadap orang lain,” katanya tentang profesinya yang three in one itu.

https://cdn-assetd.kompas.id/AkMABW2dF4ZwLJv-Qsn_wWn2YcM=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FScreenshot-254_1590804159.png
ARSIP KOMPAS

Sosok Zuhirman yang muncul di harian Kompas.

Tidak jarang, bahan tulisan Sosok saya temukan secara tidak sengaja. Salah satunya, A Rahman Saleh, yang saya temui di obyek wisata Hutan Pusuk di perbatasan Lombok Utara dan Lombok Barat pada awal Januari 2007.

Saat itu, saya melihatnya berteriak di pinggir jalan raya, ”Iiikkk, iiikkk.” Tak lama kemudian bermunculanlah kawanan kera yang lalu diberinya makanan. Kera-kera itu menjadi atraksi wisata Hutan Pusuk.

Iklan

Nada panggil ”iiikkk, iiikkk” yang khas itu ia ciptakan dan sosialisasikan agar kera-kera terbiasa mendengarnya. Rahman telah mengamati perilaku kera sejak tahun 1998. Ia bersama istrinya berjualan makanan ringan di obyek wisata itu.

Baca juga : Menjadi Manusia Tidak Berdaya Saat Berada di Episentrum Korona

”Jika memberi makanan, jangan memandang matanya karena kera akan menunjukkan taring pertanda dia marah,” kata Rahman mengungkap hasil pemantauannya.

Hasil pengamatan lain membawa Rahman berkesimpulan bahwa kera memiliki sikap kesatria. Kera hidup dalam kelompok yang beranggotakan 20-30 ekor. Setiap kawanan memiliki kavling wilayah ”kekuasaan”. Di Hutan Pusuk, terdapat 10 lokasi tempat kera biasa bergerombol dengan radius 100-200 meter.

Kera-kera itu makan dari pemberian manusia karena sumber makanannya habis akibat hutan gundul karena pembalakan liar. Dalam pengamatan Rahman saat itu, jumlah populasi kera di sana tidak bertambah yang terindikasi dari bentuk kaki dan panjang badan kera yang tidak berubah, selain jumlah anggota yang relatif tetap dalam satu koloni.

https://cdn-assetd.kompas.id/GtkO5sFVmFUFWwKyEbG-Q4PG5b0=/1024x1024/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FScreenshot-256_1590804224.png
ARSIP KOMPAS

Tulisan tentang A Rahman Saleh karya wartawan Kompas, Khaerul Anwar.

Pembuatan sumur yang heroik

Pengalaman mengesankan lainnya dalam meliput Sosok terjadi awal Februari 2002. Saat itu, saya harus naik turun bukit di tengah terik panas matahari bersama narasumber saya, Hasan Muchtar, yang saat itu berusia 53 tahun.

Dengan napas sampai di kerongkongan, saya hampir menyerah ketika mengikuti Hasan Muchtar yang setengah berlari naik turun bukit. Terkadang saat naik turun bukit itu, ia memegang lengan saya untuk membantu melompati lubang atau menahan badan saya agar tidak tergelincir.

Baca juga : Liputan Perang Irak (1): Disambut Ledakan Bom Saat Menembus Irak

Petani asal Desa Penanae, Kecamatan Rasanae Timur, Kabupaten Bima, itu punya semangat luar biasa. Ia menggali batu cadas untuk dibuat 11 sumur berderet-deret dari puncak hingga dasar bukit, tempat lokasi kebunnya seluas 7 hektar.

Sebanyak 10 sumur sedalam 3-5 meter berfungsi untuk menampung air hujan dan mengairi tanamannya di musim kemarau. Satu sumur lainnya sedalam 20 meter, berada paling bawah, yakni di lahan garapannya dan digunakan untuk kebutuhan air minum.

https://cdn-assetd.kompas.id/9qxBo18AXWCT4PtBEVVPSH7AEq0=/1024x1536/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20100706rulh_1590804441.jpg
KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Hasan Muchtar, penggerak lingkungan.

Bagian dasar dan dinding sumur dilengkapi ijuk, serabut kelapa, dan kerikil yang berfungsi menahan air hujan. Ia menanam pohon pisang di antara tanaman mangga, nangka, jambu mete, dan kelapa di kebunnya. Menurut dia, 50 persen batang pohon pisang mengandung air yang akan keluar di musim kemarau sehingga dapat menyuplai kebutuhan air bagi tanaman.

Sumur-sumur itu digalinya bersama istri dan empat anaknya selama enam jam sehari. Mereka mampu menyelesaikan tiga sumur pada tahun 1987, enam sumur tuntas tahun 1988-1989, dan sumur terakhir selesai tahun 1990.

Penggalian sumur menggunakan pacul, linggis, palu, dan alat cungkil sederhana. Cungkil juga digunakan untuk melubangi batu yang lalu diisi tanah sebagai media untuk tanaman karena ketebalan tanah di bukit itu hanya 2 sentimeter.

Belakangan, ia mengajak 24 warga untuk bergotong royong membangun jalan dari kampung mereka ke lahan-lahan kebun warga. Jalan itu sepanjang 5 kilometer dengan lebar 3 meter. Untuk biaya makan minum pekerja, Hasan Muhtar menjual dua rumahnya, lalu menempati rumah peninggalan orangtuanya.

Dalam proses pembangunan jalan itu, ia divonis hukuman percobaan 4 bulan oleh Pengadilan Negeri Bima pada Juli 2001 karena dinyatakan bersalah telah menebang pohon jati tanpa izin pemiliknya.

Ia menebang pohon jati yang ada di areal jalan karena pemiliknya lama tidak memberikan izin. Sementara pengerjaan jalan mendesak segera diselesaikan.

https://cdn-assetd.kompas.id/LQY4gLmUp-2JxY9NNFRpEvk-BKE=/1024x819/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FScreenshot-258_1590804594.png
ARSIP KOMPAS

Tangkapan layar tulisan tentang kiprah Hasan Muchtar di harian Kompas.

Berkat adanya jalan lebar yang semula setapak, warga lebih mudah pergi pulang dari rumah ke kebun, termasuk si pemilik pohon jati yang paling diuntungkan dengan adanya jalan dan sumber air minum. Ikhtiar dan pengorbanan Hasan Muchtar tentu dilandasi semangat, kerja keras, dan kepedulian kepada masyarakat sekitar.

Seperti yang juga dilakukan Amak Abdul Halim alias Meh (72), yang saya tulis kisahnya pada tahun 2018. Warga Dusun Lendang Batu, Desa Sukamulia Timur, Lombok Timur, itu menyumbangkan 150 meter persegi lahannya dari total 2 hektar tanah yang ia miliki untuk membuat embung.

Sejak tahun 2000, Meh bermimpi ada embung di dusunnya. Namun, mimpi itu baru terwujud menyusul turunnya subsidi dana APBN tahun 2107 dari Kementerian Pertanian sebesar Rp 235 juta. Dana itu digunakan untuk membangun embung sepanjang 55 meter, lebar 33 meter, dengan kedalaman 2,75 meter.

https://cdn-assetd.kompas.id/FvALML-WPLEqZHKm_SGmR59e3Us=/1024x1365/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F632119d8-a222-4b4f-b13b-bfdf6e9e536e_jpg.jpg
Kompas/Khaerul Anwar

Amak Abdul Halim alias Meh menyumbangkan tanahnya seluas 150 meter persegi untuk pembangunan embung di Dusun Lendang Batu, Desa Sukamulia Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Embung itu menampung air hampir 5.000 meter kubik dan mampu mengairi 35 hektar sawah milik 50 petani. Pada pertengahan tahun 2018, untuk pertama kalinya sawah-sawah yang semula hanya bisa ditanami palawija bisa ditanami padi.

Tahun 2016-2017, Meh juga memimpin warga membangun jalan di dua lokasi dusun itu, masing-masing sepanjang 1 kilometer dan 50 meter dengan lebar 4 meter.

Jalan yang dibangun secara gotong royong itu memperlancar mobilitas alat dan mesin pertanian serta memudahkan kendaraan roda empat mengangkut sarana produksi dan hasil pertanian dari dan ke areal sawah petani.

Selain bertani, Meh juga mengabdikan diri untuk mengontrol dan membersihkan air embung dari kotoran. Ini dilakukannya tanpa mengharap imbalan. Ia hanya minta satu hal sederhana, ”Sisakan sepetak tanah dekat embung itu untuk makam saat saya meninggal kelak.”

https://cdn-assetd.kompas.id/_2edu2ScDOPNikZR29lU4TJylto=/1024x818/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FScreenshot-260_1590807148.png
ARSIP KOMPAS

Tulisan tentang kiprah Amak Abdul Halim alias Meh di harian Kompas.

Putus asa

Ada pula narasumber yang bikin saya nyaris putus asa. Ujipudin alias Ujip (37), Kepala Dusun Dasan Montong, Desa Lenek, Kecamatan Lenek, Lombok Timur, yang sekaligus pegiat sosial ini beberapa kali menolak saya wawancarai.

Karena ditolak, saya merasa marah dan sakit hati. Ibarat syair sebuah lagu, ”sakitnya tuh di sini”. Saya kemudian meminta bantuan rekan aktivis NGO agar Ujip bersedia diwawancara. Taktik ini berhasil.

Ia kemudian mengungkapkan alasannya menolak diwawancarai. ”Ada orang lain yang lebih pantas (dijadikan Sosok). Saya khawatir kalau dimuat koran, saya dibilang sombong.”

Aktivitas kemanusiaan Ujip patut diketahui orang. Ia membantu pengobatan warga miskin yang sakit leukemia, neuroblastoma, atau kanker saraf pada anak, sakit jantung bawaan, hidrosefalus, bibir sumbing, katarak, hingga membantu penderita disabilitas mendapat tongkat dan kursi roda.

https://cdn-assetd.kompas.id/yVUU9wvckj5ic2a19Xdet6UKQ1Y=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F57985d56-a842-4366-a754-6d0911b1d9fd_jpg.jpg
KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Ujipudin, warga Dusun Dasan Montong, Desa Lenek, Kecamatan Lenek, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ia juga pegiat kemanusiaan yang membantu warga miskin yang sakit untuk mendapat layanan pengobatan di puskemas dan rumah sakit.

Selama 2004-2020, lebih dari 300 penderita yang dia tolong. Ia bahkan mendampingi penderita berobat hingga ke rumah sakit di Denpasar, Bali, dan Jakarta.

Dalam proses pendampingan itu, Ujip terkadang membawa beras dan sayur dari Lombok untuk keperluan makan minum di Denpasar. Beras dan sayur kangkung dimasukkan ke dalam karung berkapasitas 50 kilogram.

Hal itu mengundang perhatian petugas Pelabuhan Padangbai. ”Bapak pelihara sapi, ya?” katanya menirukan pertanyaan petugas yang menduga kangkung itu untuk pakan ternak.

Suatu ketika, Ujip harus memungut beras yang tercecer akibat karung berasnya bocor di Jalan Bypass Ida Bagus Mantra, Sanur, Bali, dalam perjalanan ke tempat menginap di Denpasar.

Beras itu sebagai bekal makan selama menemani seorang pasien yang tengah berobat di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. ”Saya terpaksa berhenti dulu untuk memperbaiki karung dan mengumpulkan ceceran beras, lalu saya masukkan ke karung, baru saya jalan lagi,” ujarnya.

Editor:
Sri Rejeki
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000