Kerusuhan Mei 1998 di Solo, Kenangan yang Ingin Kulupakan
Tanggal 14-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan di Solo. Pengalaman meliputnya begitu melelahkan. Diri ini seperti ”imun” karena cukup sering melihat kekerasan terjadi depan mata. Kenangan yang ingin sekali bisa saya lupakan.
Oleh
Eddy Hasby
·6 menit baca
Kerusuhan Mei 1998 tidak hanya terjadi di Jakarta. Pembakaran dan kerusuhan yang tidak kalah hebat juga terjadi di Solo, Jawa Tengah, 14-15 Mei 1998. Namun, karena jaraknya yang jauh dari Ibu Kota, gaung peristiwanya tidak sebesar yang terjadi di Jakarta. Fotografer Kompas, Eddy Hasby, merekam sebagian dari kejadian itu.
Apa yang terjadi di Solo rasanya tidak bisa dipisahkan dari kejadian di tempat lain. Saat awal kerusuhan terjadi di Solo tanggal 14 Mei, saya sedang bertugas di Yogyakarta. Basis tugas saya sebenarnya di Jakarta, yang kemudian ditugasi untuk meliput demonstrasi di Yogyakarta dan sekitarnya.
Di Kota Pelajar, sejak awal Mei, terjadi serangkaian demonstrasi. Salah satunya yang terjadi pada 8 Mei dan berujung tewasnya seorang mahasiswa, Mozes Gatotkaca.
Hari itu terjadi bentrokan ribuan massa mahasiswa dan masyarakat dengan ratusan aparat keamanan, menyusul saling serang antara aparat dan para demonstran. Mozes kemudian dimakamkan pada 10 Mei 1998.
Di Solo juga terjadi terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan pengunjuk rasa. Sebanyak 25 pengunjuk rasa luka-luka akibat tembakan peluru karet yang dilepas aparat dan lebih dari 100 luka-luka akibat lemparan batu dan gebukan.
Dari jumlah itu, 30 korban dirawat di Unit Gawat Darurat RSU Dr Moewardi dan 11 menjalani rawat inap. Peristiwa di Solo diliput oleh wartawan Kompas Ardus M Sawega.
Setelah itu, demonstrasi masih terus terjadi di Yogyakarta. Di samping memotret demonstrasi, saya masih sempat meliput peringatan Waisak di Candi Borobudur tanggal 11 Mei yang fotonya dimuat sebagai foto utama halaman 1 koran Kompas.
Dua hari setelahnya, 13 Mei 1998, kembali terjadi bentrokan. Aksi keprihatinan Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) yang berlangsung di Jalan Kaliurang, yang termasuk dalam kompleks kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, berakhir dengan bentrokan. Tiga mahasiswa UGM dan seorang pemulung terkena tembakan dan dirawat di RS Panti Rapih. Sekitar 50 mahasiswa diamankan.
Beruntung, selama meliput demonstrasi, saya tidak pernah kena gebuk atau terluka. Kalau mata perih karena udara yang pekat dengan gas air mata, sih, sudah biasa. Pernah suatu kali, saya terkepung di antara kerumunan massa. Beruntung saya bisa melepaskan diri dan lari ke dalam masjid kampus IAIN Sunan Kalijaga.
Karena cukup mengenal medan liputan, saya bisa mengantisipasi apa yang akan terjadi. Kalau massa mulai begini, berarti akan terjadi bentrokan dan seterusnya.
Di antara berbagai pengalaman itu, terselip kejadian unik. Seorang rekan wartawan mengungkapkan ingin membeli beras dalam jumlah banyak karena dia melihat gelagat akan terjadi kondisi yang luar biasa. ”Ngapain beli beras, beli dollar, dong,” ujar saya setengah berkelakar.
Saat itu, kurs rupiah terhadap dollar AS memang terus merangkak naik, mencapai Rp 8.000, dibandingkan dengan setahun sebelumnya di kisaran Rp 2.500. Betul saja, kurs rupiah terhadap dollar AS kian meroket, bahkan sebulan kemudian sempat menembus Rp 16.000. Entahlah, apakah teman saya itu jadi membeli dollar AS atau tidak.
Keesokan harinya, tanggal 14 Mei, saya bersama wartawan Kompas, Hariadi Saptono, meliput Sri Sultan HB X beserta istri, GKR Hemas, yang menjenguk para korban kekerasan yang dirawat di RS Panti Rapih. Saat itu, Sultan sempat menyatakan siap turun ke jalan jika masih juga terjadi kekerasan terhadap mahasiswa dan masyarakat yang berdemonstrasi dengan tertib.
Sekitar pukul 15.00, saya sempat bertemu Hidayat S Gautama, mantan fotografer Tempo yang kemudian bekerja untuk sebuah stasiun televisi asing. ”Kayaknya kita mesti ke Solo. Di sana sudah bakar-bakaran,” katanya. ”Wah, gue mesti laporan, nih,” sahut saya.
Benar saja, sesampainya di kantor, Mas Hariadi mengajak saya segera ke Solo. ”Ed, kita harus ke Solo karena Mas Ardus kewalahan sendirian. Dia juga terjebak di kantor, tidak bisa pulang. Solo gelap gulita karena listrik padam,” kata Mas Hariadi.
Kami segera berkendara ke Solo untuk mengevakuasi Pak Ardus sekaligus meliput kondisi Solo. Sampai di Bundaran Kartasura, kami dicegat warga sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Saat itu, hari sudah gelap, kira-kira pukul 20.00.
Meskipun jarak dari Bundaran Kartasura ke pusat kota Solo sebenarnya cukup jauh, tampak jelas langit yang membara dan asap membubung tinggi di atas kota Solo. Suasana yang gelap gulita membuat pemandangan di kejauhan itu terlihat nyata.
Karena semua akses jalan ditutup, mau tidak mau kami harus putar balik dengan rencana kembali ke Solo pada pagi buta. Keesokan harinya, pukul 04.00 kami sudah meluncur balik ke solo. Tiba di kantor Kompas Solo di Jalan Slamet Riyadi, kondisi seperti ”kapal pecah”. Tampak pentungan dan benda-benda lain dalam kondisi berantakan, sepertinya sempat terjadi kepanikan.
Jalan Slamet Riyadi menjadi salah satu pusat terjadinya kerusuhan. Kejadian serupa juga berlangsung di beberapa tempat lainnya, seperti kawasan pertokoan Singosaren. Begitu banyak gedung, bangunan, toko, yang dijarah, dirusak, dan dibakar.
Saya, Mas Hariadi, dan Pak Ardus kemudian berkeliling kota untuk melihat kondisi Solo. Di beberapa spot, saya memotret bus dan mobil-mobil yang bergelimpangan dan hangus bekas terbakar.
Di Gladak, tampak api masih menyala-nyala di sebuah kawasan pertokoan. Kerusuhan masih berlanjut. Kami juga sempat ke Solo Baru, melihat rumah menteri penerangan saat itu, Harmoko, yang habis dibakar massa.
Kembali ke Kota Solo, menjelang siang kami sempat melihat pasukan Kopassus melintas di Jalan Slamet Riyadi. Suasana terasa mencekam.
Pasukan Kopassus berpatroli di Jalan Slamet Riyadi yang saat itu tampak relatif sepi. Hanya terlihat kelompok-kelompok warga berjaga di mulut-mulut gang.
Saat pasukan Kopassus melintas, mereka berteriak menyuruh warga bubar. Jika bergeming, pasukan akan meledakkan granat hampa. Granat yang tidak melukai, tetapi suaranya sangat dahsyat memekakkan telinga.
Kami juga sempat memantau kondisi di seputaran Bandara Adi Soemarmo yang berada tidak jauh dari perbatasan Kota Solo, Colomadu-Karanganyar, dan Boyolali. Dalam perjalanan, kami bertemu para pemuda yang menunggang puluhan sepeda motor. Mereka bergerak ke luar Kota Solo.
Namun, pergerakan mereka terhenti karena dihadang oleh siswa-siswa yang tampaknya tengah mengikuti pendidikan di sekolah tamtama atau bintara TNI AU di Colomadu, tidak jauh dari bandara. Rombongan sepeda motor itu akhirnya balik arah kembali menuju Solo.
Jika bandel, pasukan akan meledakkan granat hampa.
Sore hari, kami harus kembali ke Yogyakarta karena situasi di sana juga belum kondusif. Barangkali karena saya tidak terbiasa meliput di Solo, ada rasa terasing dan sendiri, ditambah aura yang begitu mencekam. Tidak seperti di Yogyakarta, liputan di Solo seperti meraba-raba. Mungkin juga karena terlalu banyak spot yang harus diliput karena kerusuhan terjadi di mana-mana.
Beberapa hari kemudian, saya ditarik kembali ke Jakarta karena fotografer di sana, Julian Sihombing dan Arbain Rambey, kelelahan. Di Jakarta, saya sempat memotret para demonstran yang menduduki gedung DPR/MPR dalam arti sesungguhnya. Mereka duduk di atas atap gedung yang berbentuk kubah berwarna hijau tersebut.
Tidak berhenti di bulan Mei, ketegangan terus berlangsung hingga bulan November saat terjadinya Tragedi Semanggi I. Harus saya akui, berbagai pengalaman meliput peristiwa kerusuhan itu begitu traumatik, melelahkan, dan membuat stres. Diri ini seperti ”imun” karena cukup sering melihat kekerasan terjadi depan mata.
Semua kenangan yang tertancap mendalam di benak ingin sekali bisa segera saya lupakan. Jangan lagi ada kerusuhan. Capek. Sudah terlalu banyak. Semoga tidak terjadi lagi peristiwa yang menorehkan luka batin anak bangsa ini. (SRI REJEKI)