Di Bawah Bayang-bayang Teror Penembakan di Papua
”Maaf posisi Bapak terlalu berada di ruang terbuka. Bisa jadi sasaran tembak.” Saya pun langsung paham. Sayangnya, saat itu saya lupa membawa helm baja dan rompi antipeluru yang dibekali oleh kantor.
Setelah puluhan tahun hidup dalam keterbatasan akses listrik, warga Kabupaten Puncak di Papua untuk pertama kalinya menikmati benderangnya listrik dengan lebih leluasa. Tidak lagi hanya 6-12 jam per hari seperti biasanya.
Saya menjadi salah satu saksi kebahagiaan mereka saat meliput peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Ilaga. Namun, untuk menuju ke sana tidak mudah. Kabupaten Puncak dikenal akan isu keamanannya. Tidak jarang terjadi teror penembakan di sana.
Sepanjang 2019, tercatat 10 aparat keamanan dan 10 warga sipil meregang nyawa setelah ditembak kelompok kriminal bersenjata yang menyatakan diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka. Salah satu lokasi penembakan adalah di Kabupaten Puncak.
Setelah enam tahun bertugas di Papua, akhirnya saya berkesempatan pergi ke Kabupaten Puncak pada Desember 2019. Kabupaten ini berada di kawasan pegunungan tengah Papua yang berbatasan langsung dengan Puncak Jaya dan Intan Jaya. Kabupaten lain yang juga berada di kawasan pegunungan tengah sudah pernah saya kunjungi, seperti Nduga, Yalimo, Jayawijaya, dan Tolikara.
Di Puncak, saya mendapat tugas meliput peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Ilaga pada 20 Desember 2019. Pembangkit ini dibangun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan anggaran Rp 99 miliar.
PLTMH Ilaga memiliki dua mesin pembangkit yang masing-masing berkapasitas 350 Kw. Ini fasilitas kelistrikan pertama di Puncak. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat menyambut hadirnya fasilitas ini dengan antusias setelah puluhan tahun hidup dalam keterbatasan daya listrik.
Sebelumnya warga hanya bisa menggunakan listrik selama 6 hingga 12 jam karena bergantung pada ketersediaan solar untuk mesin pembangkit listrik tenaga diesel milik Pemkab Puncak.
Dua hari sebelum acara, saya sudah berangkat karena harus ke Timika terlebih dahulu. Ibu kota Kabupaten Mimika ini menjadi salah satu pusat transit pesawat berbadan kecil, seperti jenis twin otter dan karavan yang menuju ke Ilaga dan sejumlah distrik atau kecamatan lain di Puncak.
Dari Timika, saya terbang ke Ilaga bersama delapan penumpang lain dengan pesawat jenis karavan. Perjalanan ke sana hanya bisa menggunakan pesawat berbadan kecil mengingat panjang landasan pacu lapangan terbang Aminggaru di Ilaga hanya 600 meter dengan lebar 23 meter.
Kondisi cuaca sering kali menjadi momok menakutkan bagi para pilot yang terbang ke Ilaga. Itu sebabnya, penerbangan ke Ilaga biasanya dilakukan dalam rentang waktu pukul 07.00 hingga sekitar pukul 12.00 WIT saja. Tujuannya, untuk menghindari cuaca berkabut.
Beberapa kali terjadi, pesawat menabrak gunung saat menuju Puncak atau tergelincir di Lapangan Terbang Aminggaru. Catatan Polda Papua, selama 2017-2019, terjadi empat kecelakaan pesawat di wilayah Puncak. Terakhir, pesawat jenis twin otter dengan nomor registrasi PK-CDC menabrak gunung di Distrik Hoeya di ketinggian 13.453 kaki atau sekitar 3.900 meter di atas permukaan laut. Empat penumpang meninggal dalam musibah ini.
Namun, deg-degan di sepanjang perjalanan ini ”seimbang” dengan panorama indah yang ditawarkan. Saat cuaca cerah, penumpang dapat menikmati pemandangan deretan pegunungan yang berselimut awan dan berkas sinar matahari yang menembus di sela-selanya.
Penerbangan dari Timika ke Ilaga berlangsung 30 menit. Sebelum mendarat di Lapangan Terbang Aminggaru, pesawat harus melewati sebuah celah gunung terlebih dahulu.
Aminggaru menjadi lapangan tersibuk di wilayah pegunungan tengah. Setiap hari, lapangan terbang kecil ini melayani 20-40 penerbangan. Setiap pesawat yang tiba tampak mendapatkan pengawalan ketat langsung dari aparat TNI Angkatan Darat dan Polri.
Teguran
Setibanya di sana, saya bersama tiga teman jurnalis dan seorang pegawai Humas Pemkab Puncak langsung menuju rumah dinas Bupati Puncak dengan menumpang ojek sepeda motor.
Setelah beristirahat sejenak dan menyimpan barang bawaan, kami menyempatkan datang ke PLTMH Ilaga bersama Bupati Puncak Willem Wandik, sebelum acara peresmian. Meskipun jaraknya hanya 1 kilometer, kami mendapatkan pengawalan dari puluhan anggota tim khusus Polda Papua.
Tidak jauh dari lokasi PLTMH, masyarakat setempat sedang membersihkan lahan untuk lokasi bakar batu. Kegiatan bakar batu biasa digelar masyarakat pegunungan sebagai sarana ucap syukur. Kegiatannya berupa memasak daging babi, ubi, dan sayuran-sayuran di sebuah lubang berisi batu yang telah dibakar terlebih dahulu hingga sangat panas.
Dengan antusias, saya mengambil foto peninjauan lokasi PLTMH sampai persiapan bakar batu, hingga tak sadar lokasi saya sudah semakin menjauh dari aparat keamanan. Tiba-tiba salah satu anggota polisi menegur saya. ”Maaf, posisi Bapak terlalu berada di ruang terbuka. Bisa jadi sasaran tembak.”
Mendengar ini, saya langsung paham bahwa meliput di wilayah ini tidak bisa sembrono, mengabaikan aspek keamanan. Sayangnya, saat berangkat, saya lupa membawa serta helm baja dan rompi antipeluru yang dibekali kantor. Perlahan, saya kembali bergabung dengan rombongan bupati yang sekiranya lebih aman.
Puncak merupakan salah satu daerah basis kelompok sipil bersenjata di bawah komando Lekagak Telenggen. Kelompok ini menyatakan diri sebagai bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka. Di mata Polri, mereka adalah kelompok kriminal bersenjata.
Sepanjang tahun 2019, terjadi empat kali kasus penembakan warga sipil dan aparat keamanan di Puncak. Tiga warga dan seorang polisi meninggal akibat ditembak kelompok sipil bersenjata di sejumlah lokasi di Kabupaten Puncak.
Terakhir, kasus penembakan seorang warga bernama Sahrudin pada 28 September 2019. Pemilik kios itu tewas ditembak dua anggota kelompok kriminal bersenjata di dekat Lapangan Terbang Aminggaru.
Pesawat ditembaki
Beberapa jam sebelum acara peresmian PLTMH Ilaga pada 20 Desember 2019, kelompok Lekagak kembali menebar teror. Anggota Lekagak melepaskan tembakan ke arah pesawat Maskapai Smart Air saat mendarat di Lapangan Terbang Beoga pada pukul 08.00 WIT. Beoga adalah distrik di Puncak yang berdekatan dengan Ilaga.
Beruntung tak ada korban jiwa dalam insiden penembakan ini. Pilot beserta sembilan penumpang selamat. Pesawat itu terbang kembali ke Timika beberapa jam kemudian.
Sesungguhnya, teror sudah dimulai beberapa hari sebelumnya. Kelompok Lekagak melepaskan tembakan ke arah helikopter yang mengangkut dua penumpang, saat hendak lepas landas di Kampung Olenki, Distrik Ilaga Utara, pada 16 Oktober 2019. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
Pada hari H, perasaan saya ketar-ketir membayangkan kalau-kalau kelompok ini nekat menembaki pesawat yang ditumpangi Menteri ESDM Arifin Tasrif beserta jajarannya saat mendarat di Lapangan Terbang Aminggaru. Tentunya, kami yang juga berada di lapangan terbang bisa turut menjadi sasaran.
Sekitar pukul 10.00 WIT, Arifin beserta rombongan tiba di Ilaga. Mereka disambut Bupati Puncak dan jajarannya serta tarian Wisisi yang dibawakan puluhan pelajar SMA.
Saya bersyukur, kegiatan peresmian PLTMH Ilaga yang berlangsung dua jam, akhirnya berlangsung lancar dan aman. Anggota TNI dan Polri yang tersebar di Lapangan Terbang Aminggaru dan sejumlah lokasi rawan penembakan selama berjam-jam, tampaknya membatasi gerak kelompok Lekagak.
Rombongan menteri dan jajarannya kembali ke Timika dengan selamat. Saya pun turut senang telah menjadi saksi kebahagiaan warga Ilaga yang kini bisa menikmati aliran listrik sepanjang hari.
Semoga kehadiran listrik ini turut meningkatkan taraf keamanan di sana. Selama ini, warga di Puncak begitu merindukan situasi yang aman damai. Hanya dengan begitu, pembangunan dan roda perekonomian di sana bisa berjalan.