Sumur Tambang Minyak Ilegal di Perbatasan Jambi-Sumsel Bakal Ditutup Permanen
Penutupan sumur secara permanen akan diiringi pemutusan akses jembatan dan jalan menuju lokasi-lokasi rawan tambang liar. Selanjutnya dibangun pos-pos sekat untuk menangkal masuknya kembali petambang minyal ilegal.
Oleh
Irma Tambunan
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Setelah padamnya api dari sumur tambang minyak ilegal di batas Jambi dan Sumatera Selatan, tim gabungan mulai menutup sumur secara permanen. Penutupan permanen pada 29 sumur ilegal lainnya di sekitar lokasi juga akan segera dilakukan.
Manajer Distrik PT Agronusa Alam Sejahtera Hengki Hermawan mengatakan, penutupan sumur dengan semen berlanjut pada Rabu (27/10/2021). ”Setelah selesai, tim akan lanjut menutup areal itu dengan tanah,” katanya.
Penutupan permanen dilakukan agar petambang liar tidak beroperasi lagi di sana. Rangkaian penutupan akan melibatkan aparat kepolisian dan TNI.
Selain penutupan sumur, pihaknya juga akan memutus akses jembatan dan jalan menuju lokasi-lokasi rawan tambang liar. Selanjutnya, bakal dibangun dua pos sekat untuk menangkal petambang datang lagi.
Menurut Hengki, pihaknya juga telah menerbitkan memo internal. Isinya larangan bagi seluruh petugas hutan membuka akses masuk bagi pendatang, khususnya yang dicurigai akan membangun sumur tambang. Untuk memperkuat pengamanan, dua personel Brigade Mobil Polda Jambi turut diperbantukan menjaga kedua pos.
Kepala Bidang Humas Polda Jambi Komisaris Besar Mulia Prianto membenarkan jalur akses ke lokasi rawan tambang liar itu akan diputus. Selanjutnya, akan dilakukan upaya pemulihan vegetasi yang rusak. Hingga kini, tahapannya masih dibahas bersama pemerintah daerah setempat.
Pendekatan sosial
Agar tambang minyak liar tidak berulang di wilayah itu, pihaknya juga mengupayakan pendekatan pada masyarakat sekitar. Peluang bekerja sebagai tenaga tanam dan tenaga panen dibuka bagi warga.
”Kami akan mulai berproduksi pada tahun depan sehingga masyarakat dapat terlibat di dalamnya,” ujar Mulia.
Begitu pula peluang pengembangan agroforestri dalam kawasan hutan itu. Harapannya, jika masyarakat terlibat akan turut serta menjaga hutan dari ancaman aktivitas ilegal.
Pihaknya mengakui warga sekitar membutuhkan sandaran ekonomi. Maraknya aktivitas tambang minyak ilegal terpicu ulah para cukong minyak dan pemodal sehingga warga tergiur iming-iming uang.
Padahal, jika dihitung hasil yang didapatkan para pekerja di lokasi tambang tidak seberapa. Sebab, keuntungan besar diraup para pemodal minyak. ”Hasil dari bekerja di sumur tambang tidak sebanding jika mereka mengelola hutan secara berkelanjutan,” tambahnya.
Sementara itu, terkait dua tersangka kebakaran sumur ilegal, Aipda Dr dan Uj, saat ini ditahan di rumah tahanan Polda Jambi. Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi Jambi Lexy Fatharany mengatakan, jaksa penuntut umum telah meminta tim penyidik polda untuk memperbaiki berkas perkara.
”Berkas telah kembali ke penyidik untuk dilengkapi sesuai petunjuk dari jaksa,” katanya.
Keduanya tersangkut tindak pidana orang perseorangan yang melakukan kegiatan tambang dalam kawasan hutan tanpa izin berusaha dari pemerintah. Ulah mereka melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juncto Pasal 37 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
Dr merupakan pemodal pembukaan sumur-sumur tambang minyak ilegal di sana. Salah satu sumur yang dimodalinya meledak dan terbakar pada 18 September lalu. Dr merupakan oknum anggota Kepolisian Resor Batanghari.
Tersangka lainnya, Uj, merupakan warga Kunangan Jaya, Bajubang, Batanghari. Dia bertugas menjadi penunjuk titik-titik potensial yang akan dibuka untuk pengeboran minyak. Sumur-sumur tambang minyak ilegal itu menyebar dalam konsesi hutan tanaman industri PT Agronusa Alam Sejahtera.
Masifnya aktivitas ilegal di sana berlangsung sejak 2018. Rangkaian upaya pemutusan pipa distribusi ilegal hasil tambang minyak hanya menghentikan sementara aktivitas itu. Pekerja tambang kerap masuk kembali ketika aparat mulai lengah.