Pelanggaran Kewajiban Registrasi Layanan Prabayar Ponsel Masih Terjadi
Implementasi kewajiban registrasi nomor telepon seluler layanan prabayar dengan verifikasi dan validasi data kependudukan masih bermasalah. Pemerintah masih menemukan sejumlah pelanggaran.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih menemukan pelanggaran pemakaian nomor layanan prabayar telekomunikasi seluler tidak sesuai dengan identitas kependudukan yang sah. Situasi ini berpotensi menyebabkan serangan siber dan mengganggu kinerja industri telekomunikasi seluler.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh, Kamis (8/7/2021), di Jakarta, menjelaskan, sesuai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 14 Tahun 2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, calon pelanggan layanan prabayar telekomunikasi seluler wajib melakukan registrasi dengan verifikasi data kependudukan, yaitu nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (KK). Data ini digunakan untuk registrasi paling banyak pada tiga nomor telepon seluler di setiap operator telekomunikasi.
Namun, berdasarkan pemantauan per 7 Juli 2021, Zudan menyebutkan, masih ditemukan satu nomor NIK dipakai untuk registrasi lebih dari tiga nomor telepon seluler. Ini terdeteksi terjadi di hampir semua operator telekomunikasi seluler.
Zudan mencontohkan, ada satu NIK dipakai untuk meregistrasi sampai lebih dari 400 nomor telepon seluler layanan prabayar salah satu operator besar di Indonesia. Dia menduga kejadian itu dilakukan oleh oknum penjual kartu perdana nomor telepon seluler layanan prabayar.
”Kami sempat melakukan riset menghubungi nomor telepon seluler dengan data NIK yang sama dipakai untuk registrasi ke lebih dari tiga nomor satu operator. Temuan kami, penggunaannya berbeda dengan data NIK. Kami lacak terus sampai ketemu bahwa NIK yang sama dipakai untuk registrasi nomor lain yang digunakan untuk modus penipuan,” ujarnya.
Berdasarkan hasil penarikan data hingga per 7 Juli 2021, terdapat 2,6 miliar kali operator telekomunikasi mengakses sistem Direktor Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk verifikasi NIK dan nomor KK yang disetor oleh pengguna nomor telepon seluler. Jumlah itu terdiri dari 1,96 miliar kali verifikasi sukses, 381,79 juta kali data NIK yang dimasukkan tidak ditemukan, serta 300,23 juta kali data NIK dan nomor KK yang tidak sesuai.
Kecurigaan Zudan lainnya, masih ada warga pengguna nomor telepon seluler yang tidak memahami persoalan teknis di balik nomor KK. Misalnya, perubahan kepala keluarga berarti nomor KK ikut berubah. Lalu, warga bersangkutan memasukkan data nomor KK yang belum diperbarui.
”Intinya, kami sangat menaruh perhatian terhadap masih adanya kasus seperti ini. Apalagi, kasusnya cenderung menjurus pada pelanggaran penggunaan data pribadi, khususnya data kependudukan,” katanya.
Penindakan atas pelanggaran ini mengacu pada Pasal 95A Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 58 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan UU No 23/2006.
Isi Pasal 95A UU No 24/2013 adalah setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan data kependudukan dan data pribadi dipidana penjara paling lama dua tahun ataupun denda paling banyak Rp 25 juta. Sementara isi Pasal 58 PP No 40/2019 adalah pelanggaran penggunaan data pribadi atau data kependudukan melampaui batas kewenangannya atau menjadikan data pribadi sebagai bahan informasi publik, maka lembaga pengguna akan dikenai sanksi administrasi berupa pencabutan hak akses pengguna, pemusnahan data yang sudah diakses, dan denda administrasi sebesar Rp 10 miliar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo Ahmad M Ramli menyebut fenomena masih adanya perdagangan kartu perdana nomor telepon seluler yang sudah aktif di pasaran. Hal ini melanggar regulasi yang berlaku. Salah satu penegasan hukumnya adalah Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Pasal 153 Ayat (4) dan (5) Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2021 menyebutkan, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengedarkan kartu perdana nomor telepon seluler dalam keadaan tidak aktif. Ketentuan ini wajib diteruskan kepada setiap orang yang menjual kartu perdana nomor telepon seluler, seperti distributor, agen, dan pelapak.
”Saya selalu mengingatkan agar operator telekomunikasi seluler sampai kepada mitra penjual patuh. Jangan ada lagi cerita kasus perdagangan kartu perdana nomor telepon seluler sudah aktif dan siap pakai,” kata Ahmad.
Hanya saja, dia tidak menyebut lebih jauh ada tidaknya proses penindakan Kemenkominfo terhadap masih adanya fenomena perdagangan kartu perdana nomor telepon seluler sudah aktif dan siap pakai.
Jangan ada lagi cerita kasus perdagangan kartu perdana nomor telepon seluler sudah aktif.
Menurut dia, risiko fenomena itu berupa ancaman serangan siber. Sebab, lebih dari 50 persen pengguna internet di Indonesia mengakses internet memakai ponsel pintar mereka.
Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Institut Teknologi Bandung Ian Joseph Matheus Edward secara terpisah mengatakan, operator telekomunikasi seluler telah menggabungkan merek-merek layanan prabayar telekomunikasi seluler menjadi satu merek. Sebagai contoh, Telkomsel baru-baru ini menyatukan tiga merek layanan prabayar telekomunikasi seluler mereka—Simpati, Kartu AS, dan Loop—menjadi merek Telkomsel Prabayar. Operator telekomunikasi lain telah melakukannya terlebih dulu.
Strategi perusahaan seperti itu dinilai mampu menekan praktik warga beli-pakai-buang kartu perdana nomor telepon seluler layanan prabayar, sama seperti semangat pemerintah memberlakukan wajib registrasi dengan verifikasi data kependudukan. Praktik beli-pakai-buang kartu perdana nomor telepon seluler layanan prabayar dianggap berkontribusi terhadap kasus serangan siber, seperti penipuan melalui pesan singkat (SMS) dan telepon. Praktik ini juga tidak akan menyehatkan perusahaan telekomunikasi seluler karena mereka tidak akan punya pelanggan yang loyal.
”Saat ini, persentase pelanggan memutus hubungan layanan atau churn rate di industri telekomunikasi seluler masih berkisar 10 persen. Churn rate ideal yaitu kurang dari 1 persen,” ujar Ian. Jika penggabungan merek produk layanan prabayar disertai registrasi dengan verifikasi data kependudukan optimal berjalan, churn rate bisa terus turun.
Saat ini, persentase pelanggan memutus hubungan layanan atau churn rate di industri telekomunikasi seluler masih berkisar 10 persen. Churn rate ideal yaitu kurang dari 1 persen.
Menanggapi Kemenkominfo yang mengingatkan jangan ada lagi kartu perdana nomor telepon seluler aktif dan siap pakai di pasaran, Ian menduga fenomena itu disebabkan masih adanya stok lama. Kemungkinan besar, perusahaan telekomunikasi seluler belum menarik sampai bersih.
Tata niaga
Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan, tata niaga kartu perdana nomor telepon seluler layanan prabayar meliputi perusahaan telekomunikasi, ke distributor, agen, sampai ke retailer kecil. Distributor yang ditunjuk operator telekomunikasi harus berbadan hukum. Kerja sama keduanya pun memuat ketentuan hukum yang mengikat.
Dia menegaskan, kartu perdana nomor telepon seluler layanan prabayar ataupun pascabayar yang keluar dari gudang operator telekomunikasi selalu dalam kondisi tidak aktif.
”Kami (operator telekomunikasi seluler dan distributor) saling mengingatkan pentingnya patuh regulasi pemerintah. Kami juga sering secara acak terjun ke pasar memantau perdagangan kartu perdana nomor telepon seluler sampai ke retailer. Kadang, kami sidak bersama kementerian dan aparat penegak hukum,” paparnya.
Menurut Merza, operator telekomunikasi seluler bisa memblokir nomor telepon seluler layanan prabayar yang terbukti tidak dimiliki oleh pengguna sah sesuai data kependudukan. Pemblokiran juga dapat dilakukan operator telekomunikasi apabila menemukan nomor telepon seluler yang terindikasi dipakai untuk perbuatan melawan hukum.