Kominfo Perpanjang Masa Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik
Pemerintah memperpanjang masa pendaftaran bagi penyelenggara sistem elektronik. Namun, selain aturan yang dianggap kurang kondusif oleh pelaku industri, soal perlindungan data pribadi dinilai masih jadi persoalan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan tenggat pendaftaran penyelenggara sistem elektronik privat, yang sebelumnya 24 Mei 2021, disesuaikan dan diperpanjang paling lambat enam bulan sejak 2 Juni 2021. Perubahan itu mengikuti pemberlakuan sistem perizinan berusaha berbasis risiko atau online single submission risk based approach (OSS-RBA) yang efektif berlaku 2 Juni 2021.
Akan tetapi, keputusan pemerintah tersebut dinilai tetap kurang responsif terhadap inovasi digital dan menyimpang pada prinsip perlindungan hak asasi manusia. Sejumlah pihak menilai ketentuan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 dan direvisi dalam Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat itu perlu penyempurnaan.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatik, Semuel Abrijani Pangerapan, Senin (24/5/2021), di Jakarta, mengatakan, pendaftaran penyelenggara sistem elektronik (PSE) privat hanya dilayani satu pintu melalui OSS atau sistem OSS-RBA yang dikelola Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Bagi PSE privat yang tak menunaikan kewajiban, tetap berlaku ketentuan pemutusan akses. Menurut Semuel, sejak Permenkominfo Nomor 5/2020 terbit pada 24 November 2020, ada lebih dari 700 PSE privat menunaikan kewajibannya mendaftar.
”Penyusunan Permenkominfo Nomor 5/2020 merupakan salah satu bentuk dukungan serta kehadiran pemerintah untuk menjaga data masyarakat seiring dengan meningkatnya pemanfaatan data dalam ekonomi digital. Keseluruhannya merupakan upaya Pemerintah untuk memajukan, menjaga, dan melindungi negara serta masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Ekonomi Digital Bergeliat di Tengah Kontraksi Ekonomi
Regulasi itu juga mengatur tentang pemberian akses data pribadi kepada pemerintah untuk kepentingan pengawasan penegakan hukum.
Semuel mengimbau semua pihak untuk menahan diri dari upaya penyebaran informasi tidak tepat, khususnya analisis terkait ketentuan Permenkominfo Nomor 5/2020, yang sepihak serta dan terlebih dahulu meneliti dan mengonfirmasi ke pihak terkait.
Menurut dia, secara garis besar, Permenkominfo Nomor 5/2020 mengatur tentang kewajiban pendaftaran, tata kelola, moderasi informasi atau dokumen elektronik, dan permohonan pemutusan akses atas informasi ataupun dokumen yang dilarang. Selain itu, regulasi itu juga mengatur tentang pemberian akses data pribadi kepada pemerintah untuk kepentingan pengawasan penegakan hukum serta sanksi administratif yang mungkin dijatuhkan kepada PSE yang ada di Indonesia.
Sesuai dengan Pasal 2 Ayat (2) Permenkominfo Nomor 5/2020, PSE lingkup privat meliputi PSE yang diatur atau diawasi oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan. PSE yang memiliki laman, portal, atau aplikasi daring yang digunakan untuk perdagangan barang dan jasa, mengoperasikan layanan transaksi keuangan, pengiriman materi atau muatan digital berbayar melalui jaringan data baik dengan cara unduh, layanan komunikasi.
Lalu, PSE privat yang mempunyai layanan mesin pencari serta layanan penyediaan informasi elektronik yang berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, dan permainan atau kombinasi, dan PSE privat yang memproses data pribadi. Kewajiban untuk mendaftar juga berlaku bagi PSE privat asing atau di luar negeri, tetapi memberikan layanan di Indonesia.
Pasal 21 Permenkominfo Nomor 5/2020 mengatur pemberian akses terhadap sistem elektronik atau data elektronik untuk kepentingan pengawasan dan penegakan hukum pidana. Pasal 36 Ayat (5) secara spesifik menyebutkan, PSE lingkup privat memberikan akses terhadap data pribadi spesifik yang diminta oleh aparat penegak hukum berdasarkan ketentuan ayat sebelumnya, seperti harus melampirkan dasar kewenangan aparat penegak hukum.
Adapun yang dimaksud dengan data pribadi spesifik adalah data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Baca juga: E-Dagang Dorong Penjualan Produk
Relatif sama
Menanggapi keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika tersebut, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga memandang, Permenkominfo Nomor 5/2020 memang masih butuh banyak penyempurnaan agar ada keseimbangan dalam pengawasan dan pertumbuhan bisnis ekonomi digital. Sikap idEA relatif sama seperti sikap yang disampaikan kepada publik pada Februari 2021. Keberatan bukan semata-mata mengenai kewajiban pendaftaran PSE privat.
Pertama, menyangkut pengawasan konten. idEA berpandangan akan sulit bagi PSE privat jika hanya diberi waktu satu hari 24 jam untuk menyikapi pelaporan konten. Hal ini terkait dengan ketersediaan sumber daya yang ada dan variasi laporan yang diterima sehingga dibutuhkan verifikasi lebih lanjut, misalnya terkait pelanggaran hak cipta.
Kedua, idEA tetap berharap, ketentuan pemberian akses sistem elektronik ataupun data dari PSE privat untuk kepentingan penegakan hukum harus dibuat rambu-rambu hukum yang melindungi data pribadi masyarakat sehingga ada akuntabilitas dan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
”Rambu-rambu hukum bisa dilakukan dengan adanya persetujuan dari lembaga independen yang diamanatkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi bagi kementerian atau lembaga negara yang berkeinginan melakukan akses terhadap data di platform digital,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Herlambang P Wiratraman saat dihubungi terpisah berpendapat, secara mendasar masukan-masukan publik tidak didengar atau dipertimbangkan oleh pemerintah. Posisi sikapnya masih sama seperti yang terangkum dalam pandangan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) tertanggal 21 Mei 2021.
Baca juga: Ekonomi Digital
Terbitnya Permenkominfo Nomor 5/2020, menurut SAFENet, mengejutkan di tengah desakan publik untuk segera menuntaskan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Pemerintah malah mengatur lebih jauh nan teknis terkait sistem elektronik lingkup privat.
Lingkup privat mempunyai konsekuensi hukum dan masalah bukan semata dari aturan yang tidak sesuai standar, teori hukum beserta prinsip-prinsipnya, melainkan juga masalah dasar kebebasan dan hak-hak asasi manusia, khususnya di ranah digital.
Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto memberikan empat rekomendasi. Salah satunya adalah pemerintah perlu memastikan perlindungan hak privasi atau pribadi, termasuk dalam lingkup PSE privat sehingga aturan terintegrasi dengan regulasi induk, yaitu peraturan undang-undang perlindungan data pribadi.
Herlambang menegaskan, letak inti permasalahan yang disorot publik dalam Permenkominfo No 5/2020 bukan semata-mata pada substansi wajib pendaftaran bagi PSE privat yang diperpanjang tenggat waktunya.
”Kami ingin mencegah potensi miss use dari Permenkominfo No 5/2020, yaitu potensi bias/pengabaian hak asasi manusia. Kami setuju pajak dari hasil transaksi elektronik (ekonomi digital) perlu dikelola hulu-hilir. Namun, pemerintah jangan rajin mengenakan pajak, tetapi cenderung bersikap abusive,” katanya.
Permenkominfo No 5/2021 memuat sejumlah kata ”pemutusan akses” yang dimaknai sebagai pemblokiran akses ataupun take down. Dia menilai hal itu bertentangan dengan pembatasan dan kebebasan berekspresi.
Baca juga: Kebocoran Terus Berulang, RUU Perlindungan Data Pribadi Mendesak Disahkan
Ekonomi digital
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar berpendapat senada. Konsekuensi pemutusan akses terhadap sistem elektronik merupakan langkah tidak solutif dalam tata kelola konten internet. Mengacu pada kaidah hukum internasional hak asasi manusia, setiap tindakan pembatasan, termasuk pembatasan kebebesan berekspresi dan hak atas privasi, setidaknya harus bersandar pada tiga hal, yakni diatur oleh hukum (prescribed by law), untuk tujuan yang sah (legitimate aim), dan benar-benar diperlukan (necessary).
Permenkominfo 5/2020 melahirkan konsep subyek hukum baru penyelenggara sistem elektronik lingkup privat (PSE lingkup privat) yang merupakan penyelenggara sistem elektronik oleh orang, badan usaha, dan masyarakat. Menurut dia, definisi itu terlalu luas sehingga dapat dimaknai seluruh PSE, termasuk nonkomersial seperti organisasi nirlaba memiliki laman, menjadi bagian yang dijangkau peraturan itu.
”Hal yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah kebijakan afirmasi untuk melindungi PSE baru, seperti UMKM dan startup digital. Kebijakan ini dinamakan sandbox policy,” ujar Wahyudi.
Dari sisi sektor perdagangan secara elektronik atau e-dagang, PSE privat bisa mencakup UMKM dan startup. Dengan pemberlakuan Permenkominfo No 5/2020, mereka punya tambahan beban patuh regulasi. Sebab, mereka juga wajib patuh peraturan dari kementerian/lembaga sektor lain, misalnya peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Model bisnis setiap platform digital juga berbeda-beda tergantung dengan target pasarnya. Permenkominfo No 5/2020 tidak mengakomodasi hal itu. Jika pemerintah khawatir ada kekosongan hukum dalam konteks pemanfaatan teknologi digital, dia memandang, setiap pemilik platform digital sesuai dengan jenis ataupun model bisnisnya membuat swa regulasi hingga Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan tentang perlindungan data pribadi dan konten.
Wahyudi juga memandang, kewajiban pendaftaran PSE privat dengan mekanisme perizinan merupakan mekanisme kontrol negara yang cenderung konservatif dan state-centric. Cara ini cenderung membatasi akses internet dengan membangun national portal atau gerbang virtual, sebagaimana yang dikembangkan oleh negara-negara otoritarian. Padahal, mekanisme tersebut tidak sesuai dengan karakteristik teknologi digital yang bersifat lintas batas dan tidak sesuai dengan rezim pengaturan internet yang lebih terbuka, inklusif, dan multi pemangku kepentingan.
Jika tujuan pemerintah berupaya melindungi pengguna internet dan ekonomi digital, dia memandang langkah strategis yang dapat didahulukan, antara lain reformasi pengaturan pajak digital, perlindungan data pribadi yang mumpuni, dan memperkuat pelindungan hak kekayaan intelektual.
”Kami berharap pemerintah masih membuka ruang untuk kajian publik. Ruang konsultasi publik dibuka lagi. Jika pemerintah tetap ingin substansi-substansi yang ada dijalankan, kami tentu akan melihat sejauh mana pemerintah menegakkan peraturan Permenkominfo yang baru itu,” ujar Wahyudi.
Baca juga: Kebocoran Terus Berulang, RUU Perlindungan Data Pribadi Mendesak Disahkan