Polda Metro Jaya Perbaiki SOP Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak
Pemahaman penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak harus dimulai dari petugas di sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT), yang berhadapan langsung dengan masyarakat yang melaporkan kasus.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya melakukan pembenahan internal terkait penanganan kasus kekerasan, khususnya pada perempuan dan anak. Pasalnya, aparat yang menangani laporan warga kerap abai dan tidak menjadikan isu itu sebagai prioritas.
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran menyampaikan hal tersebut dalam acara peluncuran buku Panduan dan Bimbingan SOP Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak, di Jakarta, Selasa (15/2/2022).
”Saya sadari sepenuhnya, masih banyak anggota polisi yang tidak paham bagaimana menghadapi korban kejahatan kekerasan terhadap anak. Mulai dari tahap pelaporan sampai tahap penyidikan,” katanya.
Bentuk ketidakpahaman yang dimaksud antara lain pengabaian laporan dan kurang sensitifnya aparat dalam mencari barang bukti. Masalah ini terpotret dari beberapa kasus kekerasan seksual yang dilaporkan warga Bekasi tahun 2021 lalu.
SA (40) serta dua anak perempuannya, BA (17) dan KM (10), menjadi korban pelecehan seksual oleh S, eks ketua RT yang juga tetangga mereka, di Jatimelati, Pondok Melati, Kota Bekasi (Kompas.id, 28/12/2021).
Keluarga melaporkan kasus itu ke Polres Metro Bekasi Kota pada 19 Oktober 2021. Polisi lalu memproses kasus tersebut dan menetapkan S sebagai tersangka. Namun, keluarga korban tidak puas karena pelaku yang juga meresahkan masyarakat sekitar tak kunjung ditahan polisi.
Pada 20 Desember, AY, kepala keluarga korban, beserta kuasa hukum kembali melapor ke polisi. Laporan itu kemudian diviralkan oleh pemberitaan media. Tidak lama kemudian, polisi menahan tersangka.
Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Komisaris Besar Aloysius Suprijadi saat itu beralasan, polisi tidak langsung menahan pelaku karena membutuhkan barang bukti dan penyelidikan lebih dalam.
Kasus lain, seorang ibu berinisial D (34) bersama suami dan keluarga juga sempat terpaksa menangkap sendiri pelaku kekerasan seksual berinisial A (35) pada 21 Desember 2021. Pelaku tersebut sudah berulang kali menjadikan anak perempuan D, berinisial S (11) dan N (9), sebagai sasaran kebejatannya.
Saat kasus itu dilaporkan ke polisi, petugas meminta keluarga korban menangkap sendiri pelaku. Padahal, saat itu pelaku sudah berusaha kabur dan telah berada di kawasan stasiun kereta api di Kota Bekasi.
Menurut D, polisi baru memiliki keseriusan dalam memproses kasus yang dialami anaknya setelah pernyataannya viral. ”Sudah diviralkan, saya baru disambut dengan baik. Dan polisi juga minta maaf atas kesalahan bawahannya,” ujarnya.
Fadil meminta agar pembenahan dimulai dari petugas di sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT) yang berhadapan langsung dengan masyarakat untuk melaporkan kejadian. Fadil meminta mereka memperlakukan kasus itu secara khusus dan mau meningkatkan kapasitas terkait pemahaman struktural dan psikologis.
”Kalau bicara struktural, berarti bicara tentang tradisi, yang berkembang di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara bagi laki-laki dalam berbagai aspek. Sementara SPKT banyak diwakili laki-laki. Ini juga berpengaruh pada sikap polisi-polisi itu. Nah, ini yang tidak boleh lagi terjadi,” ujarnya.
Selain unit SPKT, Fadil juga meminta unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) di kantor-kantor polisi tidak hanya menjadi pelengkap dan tidak diisi dengan sumber daya manusia tanpa kapasitas mumpuni.
”PPA bukan diisi orang-orang yang tidak memiliki kapasitas, PPA bukan hanya kuat di polda, PPA bukan tempat orang-orang bermasalah, dan sebagainya. Stigma itu harus dibuang jauh di Polda Metro Jaya,” imbuhnya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat pada kesempatan sama menyampaikan agar buku panduan SOP penanganan kekerasan perempuan dan anak tidak hanya dipakai menjadi rujukan dalam pelaksanaan penyelidikan oleh polisi.
”Tetapi, lebih kepada penanggulangan dengan melibatkan semua pemangku kebijakan, baik dari pemerintah daerah, organisasi, dan lain sebagainya. Penanganan (kakus kekerasan) terhadap perempuan dan anak tidak mungkin bisa diselesaikan oleh polisi yang lebih kepada aspek penyidikan,” tuturnya.
Adapun Polda Metro Jaya mengambil langkah ini untuk menerapkan, antara lain, Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, UU No 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No 11/2012 tentang Peradilan Anak.