Ayah Kandung hingga Guru Menjadi Predator Anak di Tangerang
Laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Tangerang fluktuatif. Pada 2018 ada 245 kasus, lalu naik menjadi 275 kasus di 2019, dan turun 150 kasus pada 2020, sebelum naik lagi menjadi 154 kasus di 2021.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
TOTO SIHONO
Ilustrasi kekerasan pada anak
Ayah kandung, ayah tiri, mahasiswa, hingga guru menjadi pelaku kekerasan seksual kepada 12 anak di bawah umur di Kabupaten Tangerang, Banten, sepanjang Januari 2022. Orang-orang yang harusnya menjadi penjaga utama anak-anak itu justru menjadi predator. Tujuh pelaku mendekam di balik jeruji besi untuk proses peradilan, sedangkan korban-korbannya tengah dalam pemulihan trauma.
Kasus kekerasan seksual itu masih seperti fenomena gunung es, banyak terjadi, tetapi sedikit yang dilaporkan. Polisi, dinas terkait, dan lembaga perlindungan anak terus berupaya menguatkan layanan pendampingan hingga kelurahan dan sosialisasi kepada masyarakat.
Para tersangka memerkosa dan mencabuli sembilan anak perempuan dan tiga anak laki-laki di lokasi dan waktu yang berbeda sepanjang Januari. Kasus-kasus tersebut, yakni AS (43), ketua RT, memerkosa anak kandungnya yang berusia 13 tahun di Kecamatan Cisoka hingga korban hamil; A (44), buruh tani, mencabuli anak tirinya di Kecamatan Gunung Kaler; dan EK (31), buruh harian, mencabuli dua anak perempuan di Kecamatan Cisoka.
Selanjutnya BRP (19), mahasiswa, memerkosa seorang anak di dalam mobil di Jalan Raya Serang; IFM (20), guru sekolah dasar, mencabuli tiga muridnya di perpustakaan sekolah; S (48), buruh harian, memerkosa anak berusia 14 tahun di Kecamatan Panongan; dan AA (24), guru pengajian, mencabuli tiga muridnya.
Masih banyak yang waswas melaporkan kekerasan yang terjadi atau dialami. Padahal, semakin banyak laporan, semakin banyak yang bisa ditolong.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Tangerang Asep Jatnika menuturkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti fenomena gunung es. Banyak terjadi, tetapi sedikit yang dilaporkan.
”Masih banyak yang waswas melaporkan kekerasan yang terjadi atau dialami. Padahal, semakin banyak laporan, semakin banyak yang bisa ditolong. Dalam beberapa kasus, korban bisa menjadi pelaku di kemudian hari karena tidak ada pemulihan trauma,” tuturnya pada Senin (14/2/2022).
Dalam kurun empat tahun terakhir, laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Tangerang fluktuatif. Pada 2018 ada 245 kasus, lalu naik menjadi 275 kasus di 2019, dan turun 150 kasus pada 2020, sebelum naik lagi menjadi 154 kasus sepanjang tahun 2021.
Dokumentasi Polresta Tangerang
IS (berdiri) dan GG (di kursi roda) tersangka penganiayaan, pemerkosaan, pencurian, dan percobaan pembunuhan terhadap SP, karyawati dari Tigaraksa, ketika dihadirkan dalam rilis di Polresta Tangerang, Selasa (25/1/2022).
Asep mengatakan, laporan yang masuk didominasi kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Setiap ada laporan masuk, pihaknya berkoordinasi dengan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Kota Tangerang dan lembaga perlindungan untuk pemulihan trauma korban.
Di sisi lain, mendorong pengungkapan atau penuntasan kasus supaya masyarakat berani melaporkan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Juga upaya pendampingan dan pencegahan kepada masyarakat.
”Tahun ini (2022) akan ditambah pendampingan hingga kelurahan dan lebih gencar sosialisasi, serta pembinaan terhadap anak sekolah dan guru,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Tangerang turut mengupayakan inovasi sistem informasi lewat program Sayang Barudak demi terwujudnya kabupaten layak anak. Sampai tahun 2021 sudah ada 25 dari 29 kecamatan yang menetapkan program kecamatan layak anak dan 147 dari 274 desa dan kelurahan yang menetapkan desa atau kelurahan layak anak.
Secara terpisah, Kapolres Kota Tangerang Komisaris Zain Dwi Nugroho memastikan bakal meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk perlindungan korban dan saksi, serta pemulihan trauma.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kampanye antikekerasan terhadap ibu dan anak terus disuarakan masyarakat, salah satunya melalui media mural, seperti terlihat di kawasan Gandaria, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Tantangan
Hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang 2021 menunjukkan, komitmen negara semakin membaik. Namun, ragam pengaduan kekerasan fluktuatif dengan kasus kekerasan fisik atau psikis paling banyak di Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Sumatera Utara.
Sepanjang 2021, pengaduan perlindungan khusus anak sebanyak 2.982 kasus. Trennya, kasus tertinggi dengan anak korban kekerasan fisik atau psikis (1.138 kasus), anak korban kejahatan seksual (859 kasus); anak korban pornografi dan cybercrime (345 kasus); anak korban perlakuan salah dan penelantaran (175 kasus); anak dieksploitasi secara ekonomi atau seksual (147 kasus), dan anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku (126 kasus).
Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi KPAI Maryati Solihah yang akrab dipanggil Ai menuturkan, para pelaku umumnya orang yang dikenal korban, sedangkan sebagian kecil tidak dikenal korban. Pelaku cukup variatif, yaitu teman korban, tetangga, kenalan korban, orangtua, pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan, serta aparat.
”Ada catatan krusial. Kekerasan seksual dan fisik akan sulit dilaporkan jika terjadi dalam lingkup keluarga. Apalagi, pelakunya orangtua atau orang dikenal. Biasanya diselesaikan secara kekeluargaan,” ucapnya.
KOMPAS/NOVAN NUGRAHADI
Aturan perlindungan dari kekerasan seksual pada anak.
Salah satu upaya KPAI untuk situasi tersebut ialah penguatan pengasuhan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas Pusat Pembelajaran Keluarga dan Taman Penitipan Anak yang berkualitas dan mudah di akses. Tujuannya, untuk mencegah munculnya potensi berbagai kasus perlindungan anak, baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku.
Selain itu, lanjut Ai, laporan atau pengaduan warga juga menjadi ujung tombak pelayanan sekaligus perbaikan. Laporan atau pengaduan membuka pintu advokasi, menjangkau korban untuk rehabilitasi fisik, kesehatan, dan psikologis.
”KPAI menerima aduan dan mengawasi kinerja penyelenggara. Tetapi, masyarakat tetap jadi pengawas aktif atau partisipatif memutus rantai kekerasan terhadap anak dan perempuan,” katanya.