Kematian Seorang Pelukis
Api berkobar-kobar, bergerak ke sana kemari, lalu melompat-lompat ke pohon-pohon lain. Jreng! Wiwin menindih tubuh Sawitri, dan Sawitri terbangun, lalu dengan kecepatan kilat melemparkan Wiwin ke lantai.
Di Jl Diponegoro ada sebuah rumah besar, milik dokter Munandar, ahli jantung terkenal. Setiap kali dia praktik, pasiennya tidak pernah kurang dari tiga puluh.
Istrinya, dokter Meti, hanyalah dokter umum, tapi perhatiannya pada penyakit jiwa sangat kuat, dan setiap kali dia praktik, pasiennya tidak pernah sedikit. Dan ingat, dia juga mempunyai kemampuan istimewa untuk menghipnotis pasien.
Suami istri dokter ini mempunyai dua anak, satu laki-laki, dan satu perempuan. Dua anak ini mempunyai cita-cita sama, yaitu menjadi dokter. Kesukaan mereka juga sama dengan kedua orangtua mereka: lukisan, musik klasik, dan piano. Buku mengenai pelukis-pelukis besar, komponis-komponis raksasa, dan maestro pemain piano, mereka punya. Tentu saja, rekaman musik klasik tidak terhitung jumlahnya.
Maka terceritalah, beberapa kali koran memberitakan mengenai Wiwin, pelukis wajah terkenal, dan sering dimintai tolong oleh polisi untuk menggambar wajah penjahat. Wiwin mendengarkan polisi, menanyakan beberapa hal kepada polisi, kemudian merenung, dan setelah merenung, jadilah gambar wajah penjahat.
Bukan hanya itu. Wiwin juga sering mengumpulkan potongan-potongan obituari, lalu mengubah-ubah sekian banyak wajah orang mati sesuai dengan instingnya. Ada orang mati yang semasa hidupnya dermawan, pemarah, pengkhianat, penjilat, berhati mulia, dan entah apa lagi.
Tidak ada yang tahu, bahwa sudah lama Wiwin menjadi pasien kesayangan dokter Munandar dan istrinya. Mereka bersepakat untuk tutup mulut, tidak memberi tahu hubungan akrab mereka. Bik Rimang, pembantu Wiwin, tahu, tetapi diam. Inilah salah satu ciri khas orang Pandalungan, bisa dipercaya dan setia.
Kalau tahu keluarga dokter Munandar akan datang, Bik Rimang biasa menyiapkan makanan khas Pandalungan, misalnya pecel Jember, lontong petis Lumajang, dan nasi sodu Situbondo.
Wiwin sadar dia tidak sehat: jantungnya sering berdegup kencang, tapi kadang-kadang untuk beberapa detik berhenti berdegup, keringat dingin sering membasahi tubuhnya mulai dari kepala sampai ujung kakinya, dan dia juga sering sadar sedang bermimpi pada saat tidak tidur.
Mula-mula Wiwin datang sebagai pasien biasa, mendaftarkan diri untuk konsultasi, tapi, begitu melihat Wiwin, dokter Munandar langsung jatuh hati. Inilah Wiwin, pelukis terkenal itu. Dan begitu melihat Wiwin, dokter Meti juga langsung jatuh hati: ada rahasia dalam diri Wiwin. Dokter Meti tahu, Wiwin adalah teka-teki silang, dan kotak-kotaknya harus diisi dengan angka, simbol, tanda baca, dan kata. Siapa yang harus mengisi? Wiwin sendiri. Setiap kali Wiwin akan mengisi, gejolak jiwa Wiwin menyabot tangannya untuk menulis.
Sebagaimana ayah dan ibu mereka, dua anak dokter Munandar dan dokter Meti juga jatuh hati kepada Wiwin. Demikianlah, Wiwin sering diundang makan, diajak mengobrol, melihat koleksi lukisan, dan main piano. Bahkan, kadang-kadang Wiwin mereka ajak menginap di Tretes, Batu, dan Songgoriti. Kalau Wiwin tidak mau, dengan berbagai cara mereka memaksa.
Dokter Munandar berkesimpulan, sudah lama Wiwin menderita penyakit jantung, meskipun masih bisa dikontrol. Tapi, tidak ada jaminan bahwa pada suatu saat nanti penyakit ini tidak akan melonjak dengan cepat, tanpa diduga. Lalu, apa kesimpulan Dokter Meti, setelah berkali-kali mengobrol? Wiwin bukan hanya menderita gejala depresi, tapi juga, tanpa disadari, death wish, yaitu keinginan untuk mati. Penderita keinginan untuk mati biasanya bersikap agresif terhadap dirinya sendiri, melukai dirinya sendiri, tapi untung, Wiwin tidak sampai menyilet kakinya, membentur-benturkan kepalanya ke dinding, atau menyiram dirinya sendiri dengan air mendidih.
Keinginan untuk mati juga bisa dipicu oleh kebencian kepada orang lain, dan memang, Wiwin sangat membenci Wirareja dan istrinya. Siapa mereka? Setiap kali ditanya dokter Meti, Wiwin bungkam, dan matanya membasah.
Setiap kali ada lomba lukis nasional, sejak kecil pasti Wiwin dan Sawitri terpilih untuk diundang ke Jakarta. Wiwin tinggal di Bandung, dan Sawitri tinggal di Jember. Setelah lulus SMA Wiwin pindah ke Jakarta, kuliah di Jurusan Sastra Inggris UI, kampus Rawamangun, Jakarta. Sawitri kemudian pindah ke Yogya, mengikuti orangtuanya bersama pembantu setianya, Bik Rimang, orang Pandalungan tulen. Sama dengan Wiwin, Sawitri juga kuliah Sastra Inggris UGM, kampus Wijilan. Setelah ayah dan ibu Sawitri meninggal, tinggallah Sawitri dan Bik Rimang sendirian. Dan setelah Sawitri meninggal dilumat-lumat oleh kanker, Bik Rimang ikut Wiwin.
Dari sekian banyak pertemuan di Jakarta sebagai pemenang lomba lukis nasional, mereka menjadi sahabat karib, sering saling berkirim surat, dan sering pula saling mengunjungi. Wiwin mengunjungi Sawitri di Yogya, dan Sawitri mengunjungi Wiwin di Surabaya.
Mengapa Wiwin dari Jakarta kemudian pindah ke Surabaya? Karena dia ingin menghapus semua kenangan tentang Bandung. Dan mengapa bukan ke Yogya? Sawitri adalah sahabat karib, kalau terlalu sering berjumpa, justru bisa menciptakan bencana.
Sekali tempo mengunjungi pameran bersama pelukis-pelukis besar di kota-kota lain, bolehlah, asal tidak terlalu sering. Lalu, pameran bersama sekali tempo bolehlah, seperti yang sudah dikerjakan di beberapa kota Indonesia, Bangkok, dan Sydney. Sekali lagi, asal jangan terlalu sering.
Terakhir, pameran bersama di Singapura, tiga tahun sebelum Sawitri meninggal. Pameran satu minggu, mereka datang tiga hari sebelum pameran dibuka, dan pulang tiga hari setelah pameran ditutup.
Sawitri tahu, Wiwin selalu gelisah, sukar tidur, dan kalau tidur beberapa kali berteriak-teriak. Dan dalam keadaan tidak tidur pun kadang-kadang dia bermimpi, diakhiri dengan kata-kata ”sayang dia bukan anak kandung kita”.
Pada suatu malam, Sawitri memberanikan diri, berkata: ”Wiwin, saya tahu kamu bukan Wiwin yang sebenarnya. Wirareja memang punya anak, namanya Wiwin. Meninggal umur satu tahun. Lalu Wirareja datang ke Panti Asuhan Kadarsih di Sasak Gantung, Bandung. Kebetulan dia bertemu Suster Sitti Saropah, suster yang merawat seorang bayi bernama Wiwin. Setelah melalui beberapa proses, Wirareja mengambil Wiwin sebagai anaknya. Dan Wiwin ini tidak lain adalah kamu. Saya tahu kamu selalu gelisah. Saya berusaha menelusuri hal ihwal kamu. Suster Sitti Saropah sudah tua dan sakit-sakitan. Dan saya ingat betul, ketika kamu menjadi juara pertama di masa lalu, seorang laki-laki yang kemudian saya ketahui bernama Wirareja berbisik kepada istrinya, ’sayang dia bukan anak kandung kita’. Saya sempat juga menemui Madam Djoa Kok Kay, guru piano kamu ketika kamu masih kecil. Madam Djoa memuji-muji kamu sebagai pemain piano yang cakap dan berjiwa seni, lalu Wirareja dan istrinya membisikkan kata-kata ’sayang dia bukan anak kandung kita’. Madam Djoa sudah tua, tapi karena kamu pelukis terkenal, dan sejak remaja lukisan-lukisan kamu sudah diburu kolektor-kolektor terkenal, ingatan Madam Djoa terhadap kamu masih benar-benar segar. Madam Djoa juga bercerita, setiap kali kamu minggat, pasti Wirareja dan istrinya melapor ke polisi, dan minta supaya kamu disiksa.”
Demikianlah cerita Sawitri kepada Wiwin, tetapi Sawitri tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa ibu kandung Wiwin adalah pengemis, atau mungkin pelacur jalanan, meninggal setelah melahirkan Wiwin di bawah pohon mahoni di Jl Balong Gede, tidak jauh dari Sasak Gantung.
Malam berikutnya Sawitri tertidur, sementara Wiwin gelisah. Sejak kecil, sekali lagi, Wiwin sudah tahu tabiat orang mati ketika masih hidup melalui wajah mereka di obituari. Kebetulan, pagi sebelum menuju ke tempat pameran, dia singgah di Toko Buku Borders dan membeli buku kumpulan pengakuan beberapa pemenang Nobel Sastra mengenai suka duka mereka.
Salah satu pengakuan ditulis oleh Singer, pemenang Nobel Sastra tahun 1978. Ketika dia masih kecil, ayahnya mengutip kalimat dari sebuah buku, ’wajah manusia berbeda-beda, dan demikian pulalah pikiran dan pendapat mereka’. Lalu Singer kecil berpikir ’hidung, kuping, bibir, bagi saya, menyimpan rahasia’.
Wiwin mendekati Sawitri, tepat pada saat Sawitri bermimpi mengenai Raja Namrud ketika melemparkan Nabi Ibrahim ke tengah hutan, lalu membakar hutan itu. Api berkobar-kobar, bergerak ke sana kemari, lalu melompat-lompat ke pohon-pohon lain. Wiwin menyimak hidung, kuping, dan mulut Sawitri.
Jreng! Wiwin menindih tubuh Sawitri, dan Sawitri terbangun, lalu dengan kecepatan kilat melemparkan Wiwin ke lantai.
Sawitri sudah meninggal, pasti dengan menyimpan dendam atas kebiadaban Wiwin. Sahabat adalah sahabat. Kalau dengan beringas berusaha meniduri sahabat, sama-sama perempuan, bukan hanya Sawitri yang tidak mau mengampuni, tapi Tuhan juga menolak memberi ampunan. Bukan hanya itu. Wiwin sudah menggarap sekian banyak wajah orang meninggal, dan pada suatu saat mereka pasti menuntut balas.
Sebetulnya Wiwin sama sekali tidak mempunyai maksud kotor, dia hanya menindihi Sawitri karena kekagumannya terhadap Sawitri. Tanpa Sawitri, tidak mungkin dia melukis benda mati, selain wajah, menjadi obyek hidup yang sanggup bergerak.
”Kalau kamu ingin lukisan kamu penuh dengan gerak,” kata Sawitri pada suatu hari, ”bayangkanlah kisah Nabi Shaleh ketika beliau disiksa oleh Raja Tsamud. Ada unta terjepit batu, lalu unta melompat, ditangkap dan disembelih, lalu semua orang yang memakan dagingnya berguling-guling sekarat. Itu semua penuh gerak. Bukan hanya itu. Warna wajah mereka juga berubah-ubah. Bayangkan pula ketika Nabi Daud dihantam panah, ditusuk-tusuk dengan tombak, lalu dibacok berkali-kali dengan parang. Banyak gerak. Juga bunyi gemerincing senjata-senjata tajam.”
Mengapa akhirnya orang-orang tahu hubungan cinta kasih antara Wiwin dan keluarga dokter Munandar? Karena Wiwin pergi ke Jakarta, pameran tunggal atas permintaan DKJ. Dalam perjalanan pulang ke Surabaya, dia meninggal di pesawat.
Budi Darma, sekarang berusia 84 tahun, termasuk penulis paling senior di Indonesia yang masih terus melahirkan karya. Budi Darma bahkan masih memberikan bimbingan S-3 kepada para mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Nama Budi Darma mencuat setelah menerbitkan kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington (1981) dan novel Olenka (1983).
I Made Somadita, lahir di Tabanan, Bali, pada 1982. Lulusan ISI Denpasar ini sekarang tinggal dan bekerja di Denpasar, Bali. Sejak 2002 setidaknya sudah lima kali pameran tunggal. Pernah mengikuti program residensi seni dalam kurun waktu tahun 2011-2015 di Thailand, Perancis, India, Indonesia, dan Belanda.