Suatu ketika, kampungku tiba-tiba digegerkan oleh desas-desus munculnya hantu Mbah Darmo. Pada malam-malam tertentu yang gelap dan samar, banyak warga mengaku menyaksikan kakek buyutnya Parjo duduk berjegang[1] di atas lincak[2] teras rumahnya sembari merokok seperti kebiasannya ketika masih hidup. Anak gadis Kuncoro yang berusia 14 tahun, bahkan mengaku melihat Mbah Darmo berjalan di antara pohon jati dan jambu kluthuk [3] di kebun belakang rumahnya. Kabar itu membuat penduduk semakin ketakutan. Setiap malam menjadi waktu yang mencekam. Bukan karena gelap, tapi aroma rokok klembak menyan [4] dan bayangan Mbah Darmo terus berada dalam setiap kepala penduduk desa. Genap seminggu diteror oleh rasa takut, Pak Kadus memutuskan mengundang seorang dukun untuk mengusir hantu Mbah Darmo.
Setelah berbicara dengan Pak Kadus, Parjo dan warga lain yang hadir, dukun itu kemudian memberikan syarat untuk mengusir hantu Mbah Darmo. Katanya, selama tujuh hari, Parjo harus menyelenggarakan selamatan dengan menggelar bancakan atau kenduri yang terdiri dari nasi dengan lauk pauknya berupa ingkung, ikan asin serta jenang merah putih. Setiap malam ia juga harus menyediakan kopi pahit ditambah rokok klembak menyan –untuk diletakkan di lincak tempat biasa Mbah Darmo duduk bersantai.
“Cucunya harus melakunnya,” kata dukun itu.
Parjo hanya terdiam mendengar syarat yang tiba-tiba menjadi beban pribadinya itu. Matanya menerawang hampa ke arah luar pintu depan. Sementara Parjo termangu, dukun itu duduk merokok di depannya sembari menatap Parjo bersama warga yang hadir. Dalam beberapa saat semua orang menunggu jawaban Parjo yang tak kunjung terdengar. Tak sabar menunggu, Pak Kadus dan warga yang hadir mencoba mendesaknya. Akhirnya, dengan suara yang ragu, Parjo terpaksa menyatakan kesanggupannya. Mendengar itu, semua warga merasa lega, dan memujinya sebagai orang yang memiliki tanggung jawab sosial. Saat itu aku sebenarnya tak tega melihat wajah Parjo yang bersinar redup seperti sentir kehabisan minyak.
Sebenarnyaa, syarat itu dibuat oleh dukun itu dengan mempertimbangkan riwayat meninggalnya Mbah Darmo. Menurutnya, semua ini ada kaitannya dengan Parjo sebagai cucu. Mbah Darmo yang meninggal dengan susah payah di usia 112 tahun, seperti kata dukun itu, tidak rela mati karena dia masih ingin hidup. Meskipun menurutku orang tak bisa menyalahkan Parjo atas kematiannya. Semua orang di desaku sebenarnya juga tahu, bahwa Mbah Darmo, semasa hidupnya punya temperamen yang kasar, dan banyak keinginan seperti anak muda pada dunia, akibatnya, karakternya itu menyulitkan Parjo, satu-satunya cucu yang hidupnya memang sudah susah.
Mbah Darmo gemar sekali nonton wayang kulit, kethoprak atau apa saja yang ramai. Telinganya setajam telinga gajah, dan itu membuatnya selalu tahu kabar di mana ada acara pertujukkan di desa-desa lain. Masalahnya, setiap kali ingin melihat pertunjukan itu, ia selalu minta uang untuk berjudi. Jika Parjo menolak, ia marah seperti anak kecil. Sambil menggerung, ia merusak rumah, mengumpat dan mengusir istri Parjo. Ketika usianya semakin tua, tingkah Mbah Darmo semakin menyulitkan. Hingga akhirnya, Parjo mendapatkan saran dari seorang kenalannya agar membuang seluruh jimat Mbah Darmo.
“Dengan membuang jimatnya akan memudahkan kakekmu itu pergi.”
Begitulah, kematian Mbah Darmo pada akhirnya terjadi, entah karena memang sudah waktunya, atau karena jimatnya dihilangkan, tetap saja orang-orang menganggap bahwa semua itu karena peran Parjo yang membuang banyak jimat yang dimiliki kakeknya itu. Itulah mengapa ia harus menerima tanggung jawab dari keadaan yang tengah terjadi.
Sehari setelah pertemuan yang menggelisahkan Parjo itu, ia datang menemuiku di rumah menjelang ba’da maghrib dengan diiringi suara krik-krik jangkrik. Parjo duduk di hadapanku dengan posisi tubuh kikuk dengan kopiahnya yang miring. Ia bercerita tentang semua kesulitan hidupnya, yang sebenarnya sudah kupahami. Suaranya terdengar ragu, seperti takut akan sesuatu ketika sampai pada inti keperluannya, yaitu meminjam uang. Matanya redup dan mukanya menunduk gelisah. Kulihat jari-jari tanganya yang hitam dan tebal gemetar.
Setelah mendengarkan keperluannya itu, aku menghela nafas. Aku menegakkan punggung, mengusap hidungku, dan kemudian mencoba mencari cara untuk menolaknya. Tapi ketika melihat wajah susahnya yang kelam diam terpekur, hati nuraniku tiba-tiba tunduk oleh rasa belas kasihan yang menyerang, akhirnya kuputuskan saja untuk menolongnya. Namun, karena pinjaman yang dimintanya cukup besar, aku hanya memberinya pinjaman yang hanya cukup untuk kebutuhan beberapa hari saja. Meskipun begitu, ia tampak lega. Matanya bersinar terang. Kemudian, bersamaan dengan gerak tubuhnya yang mulai tampak lebih santai, ia mengatakan tidak apa-apa.
“Nanti kekurangannya bisa aku cari lagi.” ujarnya sambil tersenyum. Mendengar itu, aku mengangguk lega dan tersenyum tulus.
“Maturnuwun, Man,” lanjutnya,” semoga rezekimu semakin lancar.”
Doa Parjo itu membuatku senang hingga membuat mulutku mengembang. Aku merasa lega bisa membantunya. Meskipun aku tak begitu yakin ia bisa mengembalikan pinjaman itu dengan cepat, mengingat ia tak punya penghasilan yang tetap. Tapi, aku tak peduli. Saat itu, aku merasa sudah melakukan hal yang benar dan tepat, seperti dirinya yang sudah bersedia untuk melenyapkan rasa takut warga desa.
**
Tapi ketika, menjelang hari ke empat dari acara kendurinya, Parjo kembali menemuiku untuk meminjam uang lagi. Kedatangannya kali sedikit membuatku tidak suka. Aku merasa ia sudah agak berlebihan karena seharusnya ia tahu aku tak bisa membantu sepenuhnya. Seharusnya ia datang pada orang lain. Dengan suara yang sedikit terdengar ketus, aku katakan bahwa aku sudah tak memiliki uang untuk dipinjamkan. Wajahnya tiba-tiba tampak murung. Lama sekali ia duduk tanpa bicara. Tubuhnya yang liat dan hitam seperti bayang-bayang patung dengan peci yang miring. Karena tak juga beranjak, akhirnya kusarankan Parjo datang pada Pak Kadus.
“Coba pinjam Pak Kadus saja, Lik, ” ujarku. Ia hanya diam, seolah tak mendengar apa yang aku katakan. Matanya terbuka kaku, dan mukanya membeku.
“Pak Kadus, orang susah juga,” akhirya mulutnya bicara pendek. Ia melihatku sepintas sembari menghela nafas dalam. Aku pun hanya diam menunggu reaksi selanjutnya. Setelah menghabiskan rokok kreteknya, Parjo kemudian mengatakan pamit dengan suara rendah yang nyaris tak terdengar. Wajahnya murung dan gelap, seperti malam yang mendung.
Menjelamg dini hari, warga yang sebenarnya sudah mulai kehilangan rasa takutnya pada hantu Mbah Darmo tiba-tiba dikejutkan oleh teiakan anak gadis Kuncoro. Orang-orang yang mendengar bergegas ke rumah Kuncoro untuk mencari tahu apa yang terjadi. Di dalam rumah, orang-orang menemukan anak Kuncoro itu sudah terbaring pingsan. Sementara Kuncoro sendiri, duduk tak berdaya di depan tubuh anaknya. Ketika sadar, anak Kuncoro mengatakan bahwa dirinya memergoki Parjo mencuri kotak perhiasan di kamar. Kabar itu membuat warga marah. Mereka geram atas kelakuan Parjo yang dianggap tak punya moral dengan mencuri harta tetangga sendiri. Malam itu juga, Pak Kadus dan beberapa warga memutuskan mendatangi rumah Parjo dengan niat mengadili.
Ketika mendengar berita itu, segera saja aku menyusul. Tapi, di sana aku hanya melihat Pak Kadus tengah duduk diam termangu di lincak. Di depannya, istri Parjo tengah menangis sesenggukan dengan posisi tubuh tertelungkup di teras rumah. Sementara beberapa orang kulihat tengah berusaha menurunkan tubuh Parjo yang menggantung kaku di atas pohon jambu monyet. Keadaan itu membuatku kaget dan sadar apa yang tengah terjadi. Seluruh otakku tiba-tiba menjadi beku. Aku berdiri termangu memandang jasadnya yang diangkat dengan perasaan berkabut. Seluruh otak dan jiwaku tiba-tiba dipenuhi Parjo yang duduk melas dan muram di ruang tamuku dengan kopiah miringnya. Saat itu aku sadar telah melakukan kesalahan.[]
Catatan arti:
[1] Duduk jegang artinya duduk santai dengan posisi tegak dan satu kaki di atas paha.
[2] Lincak: semacam sofa dari bambu.
[3] Jambu kluthuk adalah buah jambu biji
[4] Klembak menyan adalah rokok kretek dengan daun tembakau sebagai pembungkus dan bersaus menyan.
-Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris dan naskahnya berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern dan Pascamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya” menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud.
I Made Ruta lahir di Gianyar, 07 Juli 1962, dosen ISI Denpasar. Lulkusan S1 Seni Rupa ISI Yogyakarta dan S2 Kajian Budaya Universitas Udayana. Setidaknya enam kali pameran sejak tahun 19982. Terakhir pada 2021 pameran Prasikala di Taman Budaya Denpasar Bali