Penjual Kematian
Lagi-lagi Redo hanya bisa merasakan bahwa telapak tangan dan rahangnya mengeras. Ia berderak. Menahan kata-kata yang hendak muntah berserak.
”Nenek Imah tidak mati, Bu!”
”Apa tidurmu nyenyak semalam?”
”Tentu. Aku meminum obat rutin seperti biasa. Juga obat tidur itu—yang tak kusuka. Aku tidak lupa!”
”Kalau begitu, Ibu akan minta pengasuh untuk menurunkan dosisnya.”
Wanita itu meninggalkan anak lelakinya di sana. Ia keluar dari ruangan dengan sebuah tas dan berkas pada masing-masing tangan. Anak lelaki itu bersungut. Ia mengejar, namun tak bermaksud untuk ikut. Ia hanya perlu ibunya percaya. Dan tidak berpikir bahwa ia berhalusinasi saja.
”Bu!” panggilnya sekali lagi dari lantai dua.
Yang dipanggil sudah di ambang pintu. ”Ibu ada rapat. Jangan makan terlambat dan jangan lupa minum obat,” balasnya. ”Turunkan dosis obat tidurnya, Endah,” katanya pada pengasuh anaknya.
Endah menutup pintu dan melihat anak laki-laki tadi dengan wajah kesalnya di atas sana.
”Mbak Endah, Redo bisa minum sendiri obatnya. Redo tahu dosisnya, Redo sudah besar,” kata anak laki-laki tiga belas tahun itu.
Bukan kali pertama Redo mengatakannya. Endah hanya tidak pernah mengadukan pada majikannya bahwa Redo minum obat di luar pengawasannya.
”Aku tak akan bilang pada Ibu. Tak akan,” ujar Redo mencoba menenangkan.
Setelah menyimpan obat di tempatnya, Redo pergi ke halaman belakang rumah yang tanpa teras. Pekarangan itu tidak begitu luas, namun bisa dijadikan tempat berlarian dengan bebas. Tidak ada pagar di sana. Hanya ada tumbuhan perdu yang tumbuh rendah di situ.
Di halaman belakang, ayahnya dulu membuatkan ayunan untuk dua orang. Ayah bilang, untuk Redo dan adiknya yang sampai hari ini tak juga kunjung datang. Sampai Ayah pergi, status anak masih milik Redo sendiri.
Redo senang duduk di sana. Melihat apa saja yang ada di belakang rumahnya. Termasuk rumah seorang tua bernama Nenek Imah. Ia punya banyak kucing yang setiap hari jumlahnya kian bertambah. Setahu Redo, Nenek Imah tidak pernah ke mana-mana. Kucing-kucing itu yang datang dengan sendirinya. Jika seseorang masuk ke rumah kecil milik Nenek Imah, akan ada seribu atau sejuta suara meong dari balik pintu, dari kolong meja, di atas sofa, dari dalam kamar, bahkan bersahut-sahutan di lantai marmer.
Nenek Imah tidak pernah lelah dengan mereka. Seperti yang Redo lihat pagi ini dari ayunannya.
”Dik Redo, ini masih pagi. Di sana sedang apa?”
”Melihat Nenek Imah,” jawabnya.
”Ingin kubawakan camilan?” tawar Endah.
”Untuk nanti sore saja, seperti kemarin. Jangan ganggu, ya, Mbak Endah.”
Endah menurut—ia pergi. Meninggalkan Redo sendiri.
Redo tak menyukai Endah—sedikit. Sebab Endah, mengatakan suatu kebohongan yang membuat Ibu semakin meyakini bahwa anaknya bertambah sakit.
”Nenek Imah sudah mati. Ia tidak menjaga kucing-kucing lagi. Sekarang kucing-kucing itu yang menjaga Nenek Imah di dalam rumah.” Begitu kata Endah pada majikannya, Nyonya Tanti. Anak laki-laki itu ingat sekali.
Hingga setiap hari Redo dan ibunya selalu berdebat. Redo tak bermaksud untuk terlihat hebat. Redo hanya ingin ibunya percaya pada apa yang ia lihat.
”Nenek Imah hanya menjual kematiannya.”
”Akhirnya kau sepakat bahwa Nenek Imah benar sudah mati.”
”Aku tidak mengatakan demikian, Bu.”
Nyonya Tanti melihat anaknya dengan mata sedih dan menyesal. Nyonya Tanti pikir, jika dulu Redo tak melihatnya menuang racun ke kopi Tuan Zahrir, mungkin Redo tak terkena gangguan mental. Wanita itu tak perlu memberinya obat agar di pengadilan ia tak bersaksi. Di benaknya kini, anaknya adalah manusia kecil penuh halusinasi.
”Bukankah masuk akal jika Nenek Imah butuh uang untuk makan kucing-kucingnya? Maka, ia dengan sengaja duduk di beranda. Membiarkan orang-orang lewat dan mengira ia sudah tak bernyawa. Musim virus sekarang ini, tak ada yang mau mengurusi mayat orang tua yang mati tegang di atas kursi. Mereka hanya akan ambil gambar dan bikin viral di media sosial. Pencinta kucing adalah target utama,” terangnya.
”Buku dongeng apa yang kau baca?” Nyonya Tanti mengelus rambut Redo yang lurus.
”Aku membaca semua buku di rak kepunyaan Ayah. Tidak satu pun buku dongeng di sana.”
Sang ibu mengecup kening anaknya. ”Ibu masih ada rapat. Setelah makan malam, Ibu akan ke kamarmu, memastikan bahwa kau meminum obatmu, dan kita akan lanjutkan pembicaraan itu.”
Bukankah masuk akal jika Nenek Imah butuh uang untuk makan kucing-kucingnya? Maka, ia dengan sengaja duduk di beranda. Membiarkan orang-orang lewat dan mengira ia sudah tak bernyawa.
Lagi-lagi Redo hanya bisa merasakan bahwa telapak tangan dan rahangnya mengeras. Ia berderak. Menahan kata-kata yang hendak muntah berserak.
Seperti kemarin, setelah obrolan singkat yang selalu digantung Ibu, Redo akan ke halaman belakang menghabiskan harinya. Ketika itu ia tahu, Endah di belakangnya. Wanita muda itu akan selalu ada di sana sesaat setelah Redo duduk di ayunan, sambil memegang nampan berisi minuman atau makanan ringan untuk camilan.
”Mbak Endah, kali ini duduklah di ayunan bersamaku,” pintanya.
Endah tak banyak bicara, ia hanya menuruti kemauan sang majikan muda.
”Apa kau benar-benar tak percaya bahwa Nenek Imah masih ada? Apa kau juga tak percaya bahwa Nenek Imah hanya menjual kematiannya? Seperti Ibu menjual kematian Ayah dengan berpura-pura sedih di depan media—demi simpati dan belasungkawa? Demi rasa iba dan rasa percaya bahwa ia tidak mungkin tega membunuh suaminya.”
Endah pucat wajahnya. Selama ia bekerja di sana, baru kali ini rasanya ia mendengar Redo bicara soal kematian ayahnya.
”Bagiku, Nenek Imah jauh lebih mulia. Ia menjual kematiannya sebab sadar tak lagi punya apa-apa untuk diberikan pada kucing-kucingnya. Ia berharap kematiannya dibayar dengan rasa iba dan orang-orang akan memberi makan kucing-kucingnya.”
Endah terus mendengarkan tanpa membalas. Ia baru tahu, anak laki-laki yang usianya baru tiga belas ini sangatlah cerdas. Padahal, ia sudah bekerja di sana hampir delapan tahun lamanya.
”Ibu hanya ingin seorang anak laki-laki sebagai penerima warisan perusahaan. Ibu tak ingin membaginya dengan adikku—tidak dengan mertuanya bahkan. Menurut perhitungan ibuku, membaginya berdua denganku itu sudah pas-pasan.” Redo lalu tersenyum kecewa dan pedih sekali. ”Ibuku benar-benar menjual kematian Ayah demi dirinya sendiri. Kematian Ayah dibayar sendiri oleh Ayah dengan kertas warisan yang sudah ia bubuhi tanda tangan,” tutupnya.
Tengkuk Endah bergidik ngeri. Ia tak tahu selama ini monster wanita seperti apa yang ia layani. Ia juga tiba-tiba merasa ada Tuan Zahrir di sekitar—entah samping kanan atau kiri. Ia pamit masuk ke rumah untuk menyapu dan membenahi ruang tamu.
”Mbak Endah, tak perlu takut begitu. Obat-obat pelupa itu selalu kucampurkan ke dalam air minum yang setiap malam kau taruh di samping tempat tidurmu.”
Wanita itu terdiam di tempatnya.
Redo pergi ke rumah kecil di mana Nenek Imah berada.
Ketika sampai di beranda, ia melihat pintu terbuka dan sesuatu tampak jelas di kedua matanya. Nenek Imah sedang memeluk foto anaknya. Tertulis nama Zahrir Fatwa di sana.
Kucing-kucing mengitari kursi, mengitari kaki si anak lelaki.
”Nenek, apa kau masih menjual kematian? Tapi aku lupa membawa ponsel. Juga camilan untuk kucing-kucing kesayangan.”
Bingkai foto itu masih digenggam erat—oleh tangan yang dingin dan berhias akar-akar urat.*
Batam, 20 Juli 2020
Maya Sandita, sutradara, aktor, dan penulis. Alumnus Program Studi Seni Teater ISI Padang Panjang (2019). Berdomisili di Batam. Tergabung dalam FPL, Kopi Tanda, PCRBM, Bagindo Rajo, dan Teater Ode Batam. Beberapa cerpennya pernah diterbitkan dalam antologi, juga di media cetak lokal dan nasional. Cerpen terbarunya ”Penabur Bunga” (Republika, 2019), ”Lelaki di Bawah Lampu Jalan” (Kompas, 2020), dan ”Cokelat Pasir Pantai Bibir Ibu” (Media Indonesia, 2020). Peraih gelar juara dalam Lomba Menulis Cerita Rakyat Berbahasa Minangkabau tingkat provinsi yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Sumatera Barat dengan judul cerita ”Batu Godang Putaran Toluak”. Maya bisa dihubungi via Instagram @sanditaisme , Facebook Maya Sandita, surel sanditacorp@gmail.com, dan ponsel/WA 0812-6861-9199.