Pahit Manis Kehidupan Pekerja Migran di Hong Kong
Iming-iming menjadi pekerja migran masih laris di pelosok-pelosok negeri. Hong Kong masih menjadi destinasi favorit bagi para ”pahlawan devisa” ini. Namun, di balik itu semua ada lika-liku menantang menyertainya.

Halaman muka buku berjudul Kisah Pekerja Migran Indonesia Menjejak di Tanah Harapan: Hongkong
Judul: Kisah Pekerja Migran Indonesia Menjejak di Tanah Harapan: Hongkong
Penulis: Fransiska Sari
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman:xix+192 halaman
ISBN: 978-623-346-372-0
Pekerja migran seolah tak dapat lepas dari label negatif pekerjaannya. Mulai dari dianggap penuh kesengsaraan, keselamatan tak terjamin, dan lainnya. Persepsi tersebut, karena itu, disembunyikan oleh pat”bergerilya” menjaring calon-calon pekerja migran.
Sponsor adalah sebutan bagi orang-orang yang bertugas mencari calon pekerja migran hingga ke pelosok-pelosok desa. Selanjutnya, sponsor akan diantarkan ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Alih-alih menceritakan secara terang akan realitas menjadi pekerja migran, para sponsor justru menebar iming-iming selangit seperti gaji tinggi, bisa melihat belahan dunia lain, dan masih banyak lainnya. Hal-hal itu menjadi senjata pamungkas para sponsor dalam menaklukkan hati calon pekerja.
Banyak yang tergoda oleh iming-iming tersebut, namun banyak pula yang memang menginginkan pekerjaan di luar negeri dengan alasan sendiri. Alasan terbanyak adalah alasan finansial. Selain itu, alasan dililit banyak utang, suami tidak bekerja, terpuruk dalam kemiskinan merupakan alasan-alasan terbanyak para pekerja migran mengambil segala resiko yang ada untuk bekerja di luar negeri.
Fransiska Sari memulai kisahnya menjadi pekerja migran pada tahun 2008 di Singapura. Berselang satu tahun, ia kembali bekerja di luar negeri, namun pindah ke Hong Kong. Setelah delapan setengah tahun menjadi pekerja migran di Hong Kong, ia menyelesaikan kontraknya.
Pengalaman menjadi pekerja migran selama lebih dari 12 tahun mendorong Fransiska menuangkan pengalamannya dalam buku berjudul Kisah Pekerja Migran Indonesia Menjejak di Tanah Harapan: Hongkong (Penerbit Buku Kompas, 2022).
Buku setebal 192 halaman ini tak melulu tentang kisah pilu menjadi pekerja migran, seperti cerita-cerita yang laris di pasaran, namun lebih luas lagi, Fransiska menuturkan bagaimana perjalanan utuh seorang pekerja migran. Perjalanan tersebut, antara lain, awal mula ditawari pekerjaan oleh sponsor, hingga mampu mendapatkan pekerjaan di negara yang dituju, khususnya Hong Kong.
Pada tahun 1970-an di Hong Kong, pekerja migran laki-laki masih didatangkan untuk bekerja di pabrik-pabrik dan rumah makan. Namun, setelah sektor tersebut dipindahkan ke Tiongkok, tidak ada lagi tenaga kerja laki-laki yang didatangkan ke Hong Kong, kecuali untuk konstruksi pembangunan gedung-gedung. Saat itu pekerja banyak didatangkan dari Bangladesh, India, dan Nepal.
Belakangan, tenaga kerja yang didatangkan ke Hong Kong adalah tenaga kerja perempuan yang ditempatkan di sektor rumah tangga. Kebanyakan dari para pekerja ini berasal dari Indonesia dan Filipina.
Secara kronologis, Fransiska Sari memaparkan perjalanan pekerja migran Indonesia. Pekerja migran dengan segala macam motivasinya sampai di PJTKI atau yang biasa disebut dengan penampungan, untuk selanjutnya mendapatkan perbekalan ilmu selama kurang lebih tiga bulan. Dalam kurun waktu ini, mereka digembleng, dengan kelas-kelas belajar bahasa, kelas-kelas kemampuan domestik rumah tangga, bahkan kelas-kelas belajar alat-alat elektronik yang biasa dipakai di negara tujuan, serta yang tak kalah penting, kelas-kelas belajar budaya negara tujuan.
Setelah cukup bekal, urusan administratif seperti pembuatan paspor, cek kesehatan, serta mengirim lamaran ke agensi-agensi di luar negeri dilakukan. Setelah melakukan wawancara secara virtual, visa diurus, dan barulah mereka berangkat ke negara tujuan.
Pada setiap bahasan, Fransiska menyelipkan kisi-kisi penting menjadi pekerja migran di Hong Kong. Salah satunya adalah preferensi bahasa yang diinginkan majikan. Jika jenis pekerjaan rumah tangganya adalah mengurus anak, pekerja migran dengan penguasaan bahasa Inggris lebih dicari ketimbang pekerja migran yang menguasai bahasa Kantonis.
Pekerja migran yang lebih mahir bahasa Kantonis biasanya lebih diminati untuk pekerjaan mengurus orang tua karena para orang tua atau lansia di Hong Kong kebanyakan menggunakan bahasa Kantonis dalam kesehariannya.
Hal sebaliknya terjadi pada pekerja migran yang berasal dari Filipina. Mereka kebanyakan adalah eks-Singapura (pernah bekerja menjadi pekerja migran di Singapura) sehingga mereka lebih fasih berbahasa Inggris dibanding Kantonis. Jasa mengurus orang tua di Hong Kong mayoritas yang direkrut adalah pekerja dari Indonesia karena lebih mahir bahasa Kantonis.
Masih banyak lagi insight yang secara jelas dituangkan Fransiska di dalam bukunya ini. Termasuk mengenai hubungan pekerja dengan majikan, aturan-aturan ketenagakerjaan, hubungan sesama pekerja migran, juga mengenai hal-hal diluar itu seperti penipuan investasi yang dialami pekerja migran, serta pinjaman-pinjaman illegal yang diajukan pekerja migran.
Serba serbi serta langkah dan kiat-kiat khusus bagi pekerja migran atau siapa pun yang hendak bertolak ke Hong Kong telah mendelegasikan pekerjan. Fransiska Sari dalam bahasa yang sangat mudah dipahami. Buku ini menginspirasi siapa saja dengan latar belakang apapun bisa menulis, bahkan membuatnya menjadi sebuah buku. (KIK/Litbang Kompas)