logo Kompas.id
Bebas AksesSejumput Makanan dan...
Iklan

Sejumput Makanan dan Ketenangan Hidup Orang Osing

Orang Kemiren itu harus menanam. Sayuran banyak dan tidak usah membeli. Hidup pun menjadi lebih tenang.

Oleh
DAHLIA IRAWATI, BUDI SUWARNA
· 6 menit baca
Mbah Ning (78) membawa sembilan rupa tanaman yang digunakan untuk ritual saat memasak tumpeng serakat di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023). Bagi mayoritas warga Desa Kemiren, makanan merupakan bagian dari ritual untuk menghormati para leluhur mereka.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Mbah Ning (78) membawa sembilan rupa tanaman yang digunakan untuk ritual saat memasak tumpeng serakat di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023). Bagi mayoritas warga Desa Kemiren, makanan merupakan bagian dari ritual untuk menghormati para leluhur mereka.

Mau menanam berarti bisa makan. Tidak perlu khawatir kelaparan. Begitulah kunci ketenangan hidup orang Osing di Desa Kemiren di ujung Jawa Timur. Sebuah laku sederhana, tetapi dalam.

Memasuki Desa Kemiren di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, seperti memasuki ”lorong” yang tenang. Senyum mengembang di mana-mana seolah semua warganya bebas dari rasa khawatir soal hidup, yang bagi sebagian orang serba tak pasti.

Bagaimana tidak, alam telah menyediakan hampir semua kebutuhan makan-minum orang Kemiren. Harga cabai yang melonjak tidak karuan belakangan ini sama sekali bukan isu penting bagi mereka karena cabai tumbuh subur hampir di semua pekarangan rumah atau di pinggir sawah.

Kami bertemu Mbah Ning (78), Jumat (17/11/2023), ketika ia berjalan di bentur atau pekarangan rumah yang seolah supermarket alam baginya. Ia cabut beberapa batang ilalang dan beberapa jenis dedaunan. Setelah itu, ia kembali ke dapur rumahnya.

Sore itu, ia memasak tumpeng serakat untuk keperluan selamatan nanti malam. Selama memasak, Mbah Ning sama sekali tak mengeluarkan kata-kata. Diam. Dan, tak ada satu orang pun yang ada di dapur buka suara. Usai masakan matang dan semua prosesi selamatan kelar, barulah ia bercerita.

Ia bercerita mulai dari laku hidup orang Kemiren. ”Orang Kemiren itu harus menanam. Karena itu, sayuran ada banyak dan tidak bakal kelaparan. Tidak usah membeli. Makanya jadi tenang, pikiran akhirnya tidak mikir banyak,” kata Mbah Ning yang sore itu mengenakan pakaian adat orang Osing Kemiren, yakni kebaya hitam dipadu kain batik. Rambutnya ia gelung menjadi cepol sanggul nan rapi.

Mbah Ning ingat nasihat orangtuanya dahulu. ”Mulane nandur-nanduro. Supoyo putune mangan. Lek songkan nandur putune gak mangan,” kata Mbah Ning. Artinya, menanamlah supaya anak cucu menikmati. Kalau enggan menanam, cucu tidak akan bisa makan.

Mbah Ning (78) membakar ayam untuk masakan pecel <i>pithik </i>di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, untuk acara selamatan pada Sabtu (18/11/2023). Pecel <i>pithik</i> merupakan menu ritual yang harus dimasak oleh perempuan yang telah menopause.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Mbah Ning (78) membakar ayam untuk masakan pecel pithik di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, untuk acara selamatan pada Sabtu (18/11/2023). Pecel pithik merupakan menu ritual yang harus dimasak oleh perempuan yang telah menopause.

Dua perempuan menyiapkan tumpeng serakat untuk disajikan pada acara selamatan di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023). Tumpeng serakat adalah menu ritual yang menyimbolkan pengharapan agar warga selamat dan dihindari dari segala halangan serta marabahaya dalam mengarungi hidup.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Dua perempuan menyiapkan tumpeng serakat untuk disajikan pada acara selamatan di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023). Tumpeng serakat adalah menu ritual yang menyimbolkan pengharapan agar warga selamat dan dihindari dari segala halangan serta marabahaya dalam mengarungi hidup.

Ia melanjutkan ceritanya terkait tumpeng serakat yang semua bahannya diambil dari pekarangan rumah atau sawah di Kemiren. Tumpeng serakat hanya disajikan untuk selamatan. Tumpeng itu bermakna pengharapan agar pembuatnya terhindar dari halangan atau bisa melewati rintangan dengan baik. Saat tumpeng disajikan, di bawah daun pisang, alas nasi tumpeng, diletakkan seikat serakat.

”Serakat itu halangan, rintangan yang disimbolkan dengan daun-daun, yang ditaruh di bawah tumpeng. Ini hanya untuk diletakkan, bukan untuk dimakan,” kata Mbah Ning.

Ada sembilan jenis daun yang dipetik Mbah Ning sebagai serakat tadi sore di pekarangan rumahnya, yakni daun lang-lang (alang-alang), oppok-oppok, awar-awar, emer, klampes, kemuning, lemetok, londok, dan sriwangkat. Nama-nama lokal khas Osing.

Baca juga: Sekolah Adat Osing Pesinauan, Upaya Mewariskan Nilai dan Tradisi

Tumpeng serakat itu terdiri dari nasi tumpeng disertai sambal dan aneka lalapan sayuran rebus seperti mentimun, daun katu, kacang panjang, manisa, terung, dan sebagainya. Orang Kemiren menyebut lalapan itu sebagai lung-lungan yang bermakna tolong-menolong. Begitu banyak simbol dalam senampan tumpeng serakat.

Hari itu, Mbah Ning juga memasak pecel pithik. Lagi-lagi, selama masak, Mbah Ning tidak bicara. Masakan juga tidak boleh dicicipi. Takaran bumbu hanya dikira-kira dan langsung cemplung ke dalam adonan.

”Masak pecel pithik tidak bisa sembarangan. Harus orang yang sudah bersih, suci, tidak kotor (sudah menopause),” kata Mbah Ning mengingatkan. Bagi Mbah Ning, itu akan menjamin bahwa masakan yang disajikan untuk ritual adat itu benar-benar suci dan bersih.

Seorang perempuan menata pecel<i> pithik</i> untuk didoakan sebelum disantap dalam acara selamatan di  Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023). Bagi mayoritas warga Desa Kemiren, makanan merupakan bagian dari ritual untuk menghormati para leluhur mereka.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Seorang perempuan menata pecel pithik untuk didoakan sebelum disantap dalam acara selamatan di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023). Bagi mayoritas warga Desa Kemiren, makanan merupakan bagian dari ritual untuk menghormati para leluhur mereka.

Ketua Lembaga Adat Kemiren Suhaimi (64) memimpin acara selamatan  di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023).
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Ketua Lembaga Adat Kemiren Suhaimi (64) memimpin acara selamatan di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023).

Ketua Lembaga Adat Kemiren Suhaimi memimpin doa dalam acara selamatan di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, untuk makan bersama pada Jumat (17/11/2023). Setelah didoakan, makanan yang disajikan baru boleh dimakan.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Ketua Lembaga Adat Kemiren Suhaimi memimpin doa dalam acara selamatan di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, untuk makan bersama pada Jumat (17/11/2023). Setelah didoakan, makanan yang disajikan baru boleh dimakan.

Ayam untuk pecel pithik harus utuh sejak awal hingga nanti disajikan. Ayam baru boleh dipotong setelah didoakan dan hendak dimakan. Filosofinya adalah ayam yang dipotong setelah didoakan dan dibagikan sudah mendapat doa keberkahan.

Ketika petang membayang, semua masakan yang dimasak Mbah Ning dibawa ke halaman rumah yang sudah dialasi tikar untuk ditata. Para tamu duduk bersila berkelompok di depan setiap tumpeng. Ketua Lembaga Adat Osing Desa Kemiren Suhaimi (64) pun mulai memimpin doa. Setelah itu, tentu saja makan bersama.

Selamatan terkait pelaksanaan Festival Kemiren ”Raksa Rumyat Bentur” yang berlangsung pada 17-19 November 2023 di Desa Kemiren telah terlaksana. Panitia yang kebanyakan anak muda desa dan warga Kemiren bahagia.

Iklan

Sebagaimana prosesi memasaknya, makan dalam tradisi Osing Kemiren juga bagian dari laku ritual. Karena itu, makan sarat akan filosofi hidup, tuntutan, dan adab. Tetamu, misalnya, tidak akan berani menyentuh makanan yang disajikan sebelum selesai didoakan. Mereka juga hanya akan mengambil makanan yang ada di hadapannya. Batasnya adalah kedua dengkul peserta saat bersila. Lewat dari kedua dengkul, berarti makanan itu jatah orang lain.

Dalam acara makan seperti inilah tradisi Osing Kemiren dikukuhkan dan diturunkan dari generasi ke generasi sampai sekarang.

Peran perempuan sepuh

Perempuan—terutama ibu yang sudah sepuh—memegang peran sentral dalam menjalankan dan mempertahankan tradisi pangan Osing Kemiren. Betapa tidak, hampir semua pengetahuan soal tradisi pangan dipegang oleh perempuan sepuh.

Adapun laki-laki menjadi penjaga tradisi budaya. Mereka duduk di kursi lembaga adat dan memutuskan jalan keluar ketika tradisi mesti berdamai dengan kemajuan zaman. Ini bisa dilihat dari pecel pithik yang kini diperbolehkan dijual atau disajikan untuk umum dengan cara pembuatan dan penyajian yang berbeda.

”Jika untuk ritual, pecel pithik harus menggunakan ingkung ayam utuh tanpa dipotong terlebih dahulu. Namun, untuk kepentingan komersial, pecel pithik boleh dijual di resto, tetapi dengan daging ayam dipotong-potong terlebih dahulu dan nasinya tidak berbentuk tumpeng,” kata Suhaimi.

Tiga perempuan lanjut usia duduk di depan salah satu rumah di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023). Perempuan sepuh memiliki peran penting sebagai penjaga pengetahuan tentang makanan dan ritual di Desa Kemiren.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Tiga perempuan lanjut usia duduk di depan salah satu rumah di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023). Perempuan sepuh memiliki peran penting sebagai penjaga pengetahuan tentang makanan dan ritual di Desa Kemiren.

Dua perempuan lanjut usia duduk di depan salah satu rumah di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023).
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Dua perempuan lanjut usia duduk di depan salah satu rumah di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023).

Dua perempuan membakar ayam kampung utuh untuk pecel <i>pithik</i>, makanan ritual yang penting dalam tradisi Osing Kemiren di  Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pengetahuan tentang bahan makanan, cara mengolah, dan menyajikan makanan untuk ritual diturunkan langsung di dapur oleh perempuan sepuh kepada perempuan yang lebih muda.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Dua perempuan membakar ayam kampung utuh untuk pecel pithik, makanan ritual yang penting dalam tradisi Osing Kemiren di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pengetahuan tentang bahan makanan, cara mengolah, dan menyajikan makanan untuk ritual diturunkan langsung di dapur oleh perempuan sepuh kepada perempuan yang lebih muda.

Menurut Suhaimi, setiap menu masakan Osing memiliki makna dan filosofi tersendiri, sesuai kebutuhan. ”Masyarakat Osing, jika punya keinginan, selalu diawali dengan selamatan. Kami percaya bahwa dengan berdoa, dengan selamatan, akan terwujud apa yang diharapkan. Ini bagian dari berbagi dengan sesama, seperti sedekah,” katanya.

Tradisi pangan Osing Kemiren lekat dengan filosofi tumpeng, yang bentuknya kerucut atau segitiga. Menyimbolkan hubungan baik antara Tuhan, manusia, dan alam. Karena itu, menjaga tanaman di halaman ala warga Osing tak lain karena kebutuhan menjaga hubungan baik dengan alam.

Semua disediakan oleh alam, ada di halaman rumah, sehingga warga Osing tidak takut kelaparan.

”Semua disediakan oleh alam, ada di halaman rumah, sehingga warga Osing tidak takut kelaparan. Selama ada tanaman di sekitarnya, semua bisa dijadikan bahan makanan,” kata Suhaimi.

Hubungan dekat warga Osing dengan alam sekitar diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak muda Osing pun sangat paham dengan tradisi itu. ”Orang-orang tua mengajarkan untuk terus menanam di halaman. Banyak masakan Osing berbahan dasar tanaman-tanaman lokal. Sudah jadi budaya. Kami generasi penerus punya kewajiban untuk menjaga dan melestarikannya,” kata Kezia Fitriani (28), salah satu pemudi Osing Kemiren.

Tradisi pangan lokal Osing, menurut Kezia, diwariskan dari orangtua ke anaknya dalam hidup keseharian. Kezia, misalnya, diberi tanggung jawab memasak untuk keluarganya sejak SMP.

Menghormati lingkungan

Kuatnya tradisi pangan lokal masyarakat Osing, secara ilmiah, dilihat Wiwin Indiarti, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas PGRI Banyuwangi, sebagai bagian dari budaya agraris yang akan selalu menghormati lingkungan.

Baca juga:Pangan Lokal, Masa Depan Kita

”Manusia menganggap tanah dan lingkungan sebagai sesama makhluk. Penghormatan itu membuat manusia Osing tidak akan merusak alam. Tidak mengeksploitasi alam,” katanya.

Sebagai salah satu penulis buku Olah Rasa Ujung Timur Jawa, Makanan Ritual dalam Kebudayaan Osing (ditulis oleh Wiwin dan Nunuk Nurchayati), Wiwin melihat bahwa makanan bagi warga Osing telah menjadi simbol penjagaan atas empat nilai, yaitu menjaga hubungan baik dengan sang pencipta, leluhur, sesama, dan alam sekitar.

Memasak bagi orang Osing adalah praktik ritual karena bernilai ibadah. Sebab, sambil memasak, mereka membaca doa.

”Memasak bagi orang Osing adalah praktik ritual karena bernilai ibadah. Sebab, sambil memasak, mereka membaca doa. Dan terpenting, memasak ala warga Osing Kemiren inilah yang disebut konsep slow food,” kata Wiwin.

Konsep slow food dikenal di Italia akhir tahun 1980-an oleh Carlo Petrini. Intinya, mengarah pada prinsip makanan yang baik, bersih, dan sehat. Penikmat makanan prinsipnya harus tahu makanan itu diolah seperti apa, oleh siapa, dan dari mana bahan-bahannya. Warga Osing Kemiren sudah memiliki konsep slow food ini jauh sebelum bangsa Eropa mengampanyekannya.

Dari Osing Kemiren, kita banyak belajar tentang rasa syukur yang hadir dalam sepiring makanan.

Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000