Kendaraan listrik memiliki citra positif bagi sebagian besar responden di sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Hanya saja, kendaraan listrik belum menjadi prioritas untuk segera dimiliki saat ini.
Oleh
Budiawan Sidik A
·4 menit baca
Pemerintah terus berupaya mendorong ekosistem kendaraan bermotor listrik di Indonesia dengan mengakselerasi sejumlah regulasi. Selain untuk menyukseskan target Indonesia menuju karbon netral 2060, langkah ini juga bertujuan mengikis keraguan masyarakat pada kendaraan listrik.
Hingga saat ini, setidaknya sudah ada tiga regulasi yang diterbitkan pemerintah untuk mendorong perkembangan kendaraan listrik di Indonesia. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk Transportasi Jalan. Selanjutnya, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 15 Tahun 2022 tentang Konversi Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor dengan Penggerak Motor Bakar menjadi KBLBB. Ketiga, Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang KBLBB Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Intansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Ketiga regulasi itu secara umum mengurucut pada sejumlah hal. Di antaranya terkait industrialisasi KBLBB di dalam negeri, legalitas konversi mesin, hingga pemanfaatan kendaraan elektrik untuk kedinasan institusi pemerintah. Dengan berlakunya kebijakan pemerintah tersebut harapannya masyarakat kian mengenal kendaraan listrik dan mau beralih menggunakan kendaraan ramah lingkungan ini. Singkatnya, implementasi kebijakan itu untuk mereduksi keraguan masyarakat terhadap kendaraan listrik yang saat ini masih relatif tinggi.
Indikasi keraguan tersebut terlihat dari prioritas pilihan masyarakat dalam membeli atau memiliki kendaraan pribadi. Hingga kini, kendaraan listrik belum menjadi prioritas pilihan masyarakat. Kenyataan tersebut terungkap dari hasil survei tatap muka langsung yang dilakukan oleh Harian Kompas pada pertengahan September 2022 lalu. Survei yang dilaksanakan di sekitar wilayah kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar itu menunjukkan bahwa kendaraan ramah lingkungan belum menjadi prioritas pilihan saat ini.
Dugaan tersebut terlihat dari alasan sebagian besar responden dalam membeli kendaraan pribadi cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berlaku umum saat ini. Misalnya harga kendaraan yang kompetitif, merek, keandalan mesin, model, warna, keiritan bahan bakar, hingga harga jual kembali di pasar sekunder. Alasan-alasan ini identik dengan pertimbangan membeli kendaraan konvensional berbahan bakar minyak (BBM).
Namun, alasan yang sifatnya mempertimbangkan kelestarian lingkungan masih lebih banyak dikesampingkan. Responden yang mengaku mempertimbangkan membeli kendaraan dengan melibatkan faktor emisi karbon tak lebih dari satu persen. Hal ini mengindikasikan bahwa animo responden untuk memilih kendaraan yang “menjual” keramahan lingkungan dengan minim emisi karbon seperti yang ditawarkan kendaraan listrik tampaknya juga kecil. Artinya, kendaraan listrik baik itu jenis mobil ataupun sepeda motor belum menjadi prioritas pilihan untuk dimiliki saat ini.
Citra positif
Secara umum, pengetahuan tentang kendaraan listrik bagi sebagian besar responden tergolong cukup baik. Sebagian besar citra yang tertangkap oleh publik adalah informasi yang positif. Salah satunya tentang persepsi bahwa kendaraan listrik itu identik dengan bebas polusi sehingga ramah lingkungan. Sekitar 42 persen responden menyatakan demikian. Selain itu, ada pula sekitar 32 persen responden lainnya yang menyatakan jika kendaraan listrik itu irit biaya operasional dan juga murah ongkos perawatannya. Dari kedua penilaian ini menunjukkan mayoritas responden lebih dari 70 persen memberikan apresiasi positif terhadap kendaraan listrik.
Penilaian tersebut jauh mengalahkan citra negatif lain yang juga melekat pada kendaraan listrik. Di antaranya kurang praktis karena waktu mengisi daya listrik butuh waktu lama, stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) masih terbatas jumlahnya, komponen baterai berharga mahal, jarak tempuh terbatas, belum diyakini keandalannya, serta masih identik dengan orang kaya. Meskipun penilaian negatif ini jauh lebih kecil dari citra positifnya, hal ini memberi gambaran masih adanya keraguan publik untuk membeli dan menggunakan kendaraan listrik.
Keraguan tersebut sejatinya dapat dimaklumi. Mengingat hingga saat ini jumlah kendaraan listrik di Indonesia masih sangat terbatas. Menurut laporan Gaikindo hingga September 2022, jumlah mobil listrik baru sekitar 4.593 unit atau 0,03 persen dari jumlah mobil penumpang di Indonesia yang mencapai 15,8 juta unit. Untuk sepeda motor listrik jumlah lebih banyak lagi, yakni menurut catatan AISI hingga Juli 2022 mencapai 19.698 unit. Namun, bila dibandingkan jumlah sepeda motor secara keseluruhan yang sudah mencapai 115,2 juta unit, maka persentase sepeda motor listrik jauh sangat kecil, yakni hanya 0,01 persennya saja.
Minimnya populasi kendaraan listrik di Indonesia tersebut membuat pengetahuan masyarakat terhadap fisik kendaraan listrik menjadi sangat terbatas. Mayoritas responden hingga sekitar 75 persen mengaku tidak pernah melihat atau tidak mengetahui keberadaan atau kepemilikan kendaraan listrik di sekitar wilayah tempat tinggalnya. Hal ini mengindikasikan responden bersangkutan juga tidak pernah melihat fisik kendaraan listrik secara langsung. Dengan kata lain populasinya masih sangat terbatas, meski di kota-kota besar sekalipun.
Oleh sebab itu, dengan menerapkan implentasi sejumlah kebijakan terkait KBLBB harapannya masyarakat kian mengenal kendaraan ramah lingkungan itu. Dengan Permenhub Nomor PM 15 Tahun 2022 maka memungkinkan masyarakat untuk melakukan konversi mesin kendaraan konvensional menjadi mesin listrik dengan biaya lebih terjangkau. Selanjutnya, agar kian masif lagi penetrasi pengenalan kendaraan listrik di masyarakat pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 7 Tahun 2022 yang mendorong penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional atau kedinasan institusi pemerintah.
Regulasi tersebut kian melengkapi kebijakan pemerintah yang sudah diberlakukan sebelumnya melalui Perpres Nomor 55 Tahun 2019 mengenai percepatan ekosistem KBLBB di Indonesia. Dalam jangka menengah, Indonesia akan berusaha membangun industrialisasi terkait KBLBB di dalam negeri. Dalam jangka pendek, pemerintah berupaya mengakselerasi pengenalan kendaraan listrik secara masif di Indonesia.
Harapannya, ketika animo masyarakat sudah terbentuk di tahun-tahun mendatang, industri dalam negeri sudah siap untuk memenuhi permintaan dalam negeri itu. Selain mendorong kemajuan ekonomi nasional, masifnya penggunaan KBLBB akan berimbas positif bagi lingkungan dengan semakin minimnya reduksi emisi karbon dari sektor transportasi. (LITBANG KOMPAS)