Pengembangan transportasi publik rendah emisi dinilai semakin mendesak di tengah sederet tantangan yang ada. Bus listrik bisa menjadi pilihan untuk menekan emisi sekaligus kemacetan di perkotaan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Bus listrik Transjakarta melintas di samping barikade di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (3/10/2022). PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) menargetkan semua bus yang dioperasikan pada tahun 2030 adalah bus listrik.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendorong masyarakat beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik dinilai positif untuk menekan emisi gas rumah kaca. Namun, pengembangan transportasi publik berbasis listrik dianggap lebih urgen untuk menekan emisi sekaligus mengatasi problem kemacetan.
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Novia Xu saat dihubungi, Minggu (16/10/2022), berpendapat, penambahan kendaraan listrik positif guna menekan emisi dari sektor transportasi. Namun, pengembangannya perlu didorong untuk transportasi publik.
”Misalnya mengganti bus kota dengan EV (kendaraan listrik), selain memastikan fasilitas pejalan kaki lebih utuh, tak hanya di daerah perkotaan. Sebab, the best energy (energi terbaik) adalah zero energy (nol energi). Peningkatan pemanfaatan transportasi publik lebih baik dalam mendukung transisi energi,” ujar Novia yang juga peneliti pada Climate Policy Unit CSIS.
Pengembangan transportasi publik rendah emisi semakin mendesak di tengah gejolak harga bahan bakar minyak (BBM). Hal itu terkait gejolak harga minyak mentah dunia serta beban subsidi mengingat Indonesia merupakan negara pengimpor bersih (nett importer) minyak mentah. Apalagi kenaikan harga BBM berdampak pada inflasi.
Transportasi publik yang kuat, kata Novia, bisa menjadi cara pemerintah menjaga daya tahan ekonomi masyarakat ketika resesi. ”Ambil contoh di negara maju, seperti Selandia Baru, pemerintah memberikan bantuan berupa transportasi publik gratis ketika harga BBM naik,” katanya.
Novia menambahkan, sejumlah upaya dapat didorong untuk meningkatkan gairah masyarakat memanfaatkan transportasi massal publik. Misalnya, retrofit atau pembaruan perkotaan yang lebih ramah lingkungan, lalu meningkatkan pelibatan swasta untuk insentif pendanaan. Kerja sama luar negeri juga dapat membantu pengadaan atau produksi bus listrik.
Menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, pengembangan transportasi publik berbasis kendaraan listrik perlu terus dipacu. ”Jika pemerintah tidak ada dana, bisa dengan CSR-CSR (tanggung jawab sosial perusahaan), baik BUMN maupun swasta,” ujarnya.
Upaya seperti itu, kata Djoko, bisa melihat pada Balai Ekonomi Desa (Balkondes) di Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang semuanya dibangun oleh BUMN-BUMN di Indonesia.
Bus listrik
Kepala Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pitra Setiawan dalam wawancara tertulis dengan Kompas menuturkan, sejauh ini ada 30 unit bus listrik Transjakarta yang telah beroperasi. Sementara penggunaan bus listrik dengan skema pembelian layanan (buy the service) akan diawali di Surabaya dan Bandung tahun 2023.
Selain lebih rendah emisi, ada sejumlah keuntungan bus listrik ketimbang bus BBM. ”Penggunaan bus listrik akan mengurangi biaya perawatan berkala kendaraan, seperti filter udara dan penggantian oli. Biaya operasional untuk pengisian ulang listrik yang dikeluarkan akan lebih hemat dibandingkan biaya operasional untuk BBM,” kata Pitra.
Sementara soal dampak pada penurunan tarif per kilometer (km) pada pemanfaatan bus-bus listrik, kata Pitra, Kementerian Perhubungan sedang melakukan kajian.
Dalam webinar ”Upaya Percepatan Penerapan Kebijakan Kendaraan Listrik”, Kamis (6/10/2022), dosen Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), M Nur Yuniarto, menuturkan, per 29 Juli 2022, jumlah mobil listrik tercatat 2.660 unit, bus listrik 43 unit, dan sepeda motor listrik 19.698 unit. Padahal, pada 2025, targetnya 40.000 unit mobil listrik, 41.000 unit bus listrik, dan 2 juta unit sepeda motor listrik.
Oleh karena itu, kata Nur, butuh lompatan besar untuk mencapai target. Ia mendorong sejumlah hal untuk mengakselerasi pengembangan kendaraan listrik, di antaranya agar kebijakan teknis fokus pada spesifikasi teknis dan keamanan. Kebijakan pun sebaiknya fokus pada transportasi publik berbasis kendaraan listrik.
Direktur Utama PT Transjakarta M Yana Aditya mengatakan, menurut rencana, ada 100 unit bus listrik yang beroperasi tahun ini. Dari jumlah itu, 30 unit telah dioperasikan dan sisanya ditargetkan beroperasi sebelum berganti tahun. Pada 2025 sebanyak 50 persen armada Transjakarta ditargetkan merupakan bus listrik. Adapun pada tahun 2030 ditargetkan 100 persen atau 10.047 unit bus listrik.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Stasiun pengisian kendaraan listrik untuk umum (SPKLU) yang menjadi fasilitas di pusat perbelanjaan Dyandra, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (9/9/2022). SPKLU pun sudah selayaknya tersedia di area parkir pusat perbelanjaan sebagai fasilitas menunjang era perubahan kendaraan konvensional ke kendaraan listrik.
Tingkat kepercayaan
Saat ini, sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah dalam mempercepat peralihan dari kendaraan BBM menjadi kendaraan listrik, baik mobil, sepeda motor, maupun bus. Upaya itu ditempuh melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan. Regulasi itu di antaranya mengatur penggunaan tingkat komponen dalam negeri.
Regulasi itu juga mengatur insentif fiskal dan nonfiskal yang diberikan ke perusahaan/industri, perguruan tinggi, dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan dalam mendukung BEV. Baterai jadi salah satu komponen terpenting kendaraan listrik sehingga diharapkan bisa diproduksi di dalam negeri. Salah satunya dengan hilirisasi nikel.
Novia Xu menambahkan, hal yang membuat peralihan ke kendaraan listrik belum sesuai harapan adalah karena teknologi yang masih relatif mahal. Tantangan itu tak bisa ditanggung sendiri oleh pemerintah. Pelaku swasta perlu terlibat. Namun, minat pelaku usaha relatif belum banyak karena pasar belum terbangun. (DIT/GER/WER/MEL)