Teror terhadap pengemudi kendaraan di jalan kian marak. Pelaku cerdik memanfaatkan situasi dengan memprovokasi massa.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Modus kejahatan jalanan dengan pura-pura tertabrak kendaraan bermotor lalu meneriaki pengemudinya dengan sebutan ”maling” patut diwaspadai. Pelaku kejahatan kian cerdik membaca psikologis masyarakat yang cenderung mudah terprovokasi untuk menegakkan hukum dengan caranya sendiri.
Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur menangkap pelaku berinisial AF, yang berpura-pura terserempet mobil di wilayah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pelaku kemudian meneriaki korbannya dengan sebutan maling untuk tujuan pemerasan. ”Yang bersangkutan memang sengaja untuk melakukan pemerasan atau pura-pura terinjak (kendaraan) karena butuh uang untuk beli obat-obatan. Dia pernah jadi pengguna aktif heroin,” kata Kepala Polres Metro Jakarta Timur Komisaris Besar Budi Sartono, Minggu (30/1/2022), di Jakarta.
Budi mengatakan, aksi AF yang berpura-pura tertabrak kendaraan itu terjadi pada 26 Januari 2022 di wilayah Pasar Rebo. Video yang merekam tindakan pelaku kemudian viral di media sosial pada 28 Januari 2022.
Setelah kasus tersebut viral, polisi memulai penyelidikan. ”Dari penelusuran diketahui bahwa tersangka sempat pergi ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur. Dari situ kami mencari informasi siapa yang bersangkutan itu. Akhirnya diketahui namanya AF. Anggota lalu mengejar dan menangkap tersangka di Depok,” ujar Budi.
Setelah pelaku ditangkap dan digelandang ke Polres Metro Jakarta Timur, pada Minggu dini hari, polisi memulai interogasi. Pelaku pun mengaku pernah jadi pengguna aktif heroin.
Saat ini, AF sedang menjalani terapi metadon. AF menjadikan modus pura-pura tertabrak dengan tujuan memeras untuk mendapatkan uang demi keperluan membeli obat-obatan dan biaya terapi. ”Itu alasannya, tetapi tidak dapat dibenarkan,” ujar Budi.
Akibat perbuatannya, AF dijerat polisi dengan Pasal 368 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 318 KUHP. Pelaku terancam pidana penjara paling lama 9 tahun.
Diduga berulang
Budi menambahkan, dari pengakuan tersangka, modus itu baru pertama kali dilakukan. Namun, polisi tidak percaya begitu saja dan masih akan terus mengembangkan penyelidikan. Ini karena pelaku yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir di wilayah Depok tersebut memiliki bekas luka di kaki. Bekas luka itu merupakan insiden lama saat tersangka tertabrak truk pada 2012. Pelaku pun sampai hari ini saat berjalan masih pincang.
”Itu yang dijadikan oleh tersangka. Jika bertemu calon korban, dia akan menunjukkan bekas luka tersebut. Jadi, kami masih mendalami apakah yang bersangkutan masih melakukan atau pernah melakukan di tempat lain,” ucap Budi.
Modus tertabrak kendaraan lalu meneriaki korban dengan sebutan maling patut diwaspadai. Kasus serupa sebelumnya juga terjadi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 27 Januari 2022. Pengemudi mobil yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut adalah seorang laki-laki berinisial MGW (40). Adapun mobil yang dirusak adalah Mercedes-Benz.
Kepala Kepolisian Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Ihsan, Sabtu (29/1/2022), menjelaskan, kasus itu berawal saat pengemudi mobil sedan Mercedes-Benz berhenti mendadak di depan sebuah rumah makan di Bantul. Setelah itu, pengemudi mobil terlibat cekcok dengan tukang parkir di rumah makan tersebut.
”Pengemudi mobil mengerem mendadak sehingga tukang parkir di situ merasa terganggu. Lalu terjadi cekcok dan sempat adu mulut dengan pengemudi mobil. Pada saat cekcok, datang teman-teman tukang parkir sehingga pengemudi panik dan langsung melajukan kendaraannya,” kata Ihsan dalam konferensi pers di Markas Polres Bantul (Kompas.id, 29/1/2022).
Ihsan menuturkan, setelah pengemudi mobil menjalankan kendaraannya, sejumlah orang kemudian mengejar. Sesudah itu, pengemudi mobil berinisial MGW tersebut sempat menyerempet beberapa sepeda motor di jalan. ”Pada saat pengejaran, terjadi tabrak lari. Kalau tidak salah, ada tiga sepeda motor yang terserempet, tetapi tidak ada korban luka, hanya kendaraan tergores,” ujarnya.
Setelah menyerempet beberapa sepeda motor itu, MGW terus menjalankan mobilnya. Namun, beberapa orang yang terserempet mobil MGW berusaha mengejar. Ihsan menyebutkan, saat itu juga ada orang yang berteriak maling sehingga beberapa warga yang ada di sana ikut mengejar. ”Beberapa warga ikut terprovokasi karena ada yang meneriaki ’maling-maling’,” ujarnya.
Namun, di perempatan Tamantirto, Kecamatan Kasihan, mobil yang dikemudikan MGW berhasil dihentikan oleh sejumlah orang. Di lokasi inilah kemudian terjadi tindakan pengeroyokan terhadap MGW dan perusakan terhadap mobilnya.
Akibat pengeroyokan itu, MGW mengalami luka memar di kepala dan bahu bagian belakang sebelah kiri serta bengkak di ibu jari tangan kiri. Sementara itu, mobil yang dikemudikan MGW mengalami kerusakan di berbagai bagian. Kaca depan dan belakang mobil tersebut pecah, ban depan sebelah kiri disobek, atap penyok, dan spion kiri pecah. ”Kurang lebih kerugiannya sekitar Rp 50 juta,” kata Ihsan.
Membaca kecenderungan masyarakat
Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, maraknya kasus pura-pura tertabrak dan kemudian meneriaki korban dengan maling terjadi karena pelaku membaca dua hal. Pertama, ada kecenderungan masyarakat melakukan vigilantisme, termasuk aksi main hakim sendiri. Kedua, adanya ketakutan pengemudi akan hukuman sosial atau pengeroyokan yang sangat tinggi.
”Cara mengatasinya? Gampang diucapkan, berat direalisasikan, terutama karena ada faktor massa itu tadi. Anggaplah, korban berhasil memenangkan perang urat saraf melawan pelaku. Tetapi, siapa bisa jamin bahwa massa di sekitar lokasi juga bisa dikendalikan psikologisnya,” tutur Reza.
Menurut Reza, jika seseorang berada dalam posisi dikejar massa, ia berupaya semaksimal mungkin bertahan di dalam mobil sambil merekam dan menghubungi nomor telepon darurat. Harapannya, polisi bisa lekas tiba. Pengemudi juga perlu menyediakan kamera di dalam kendaraan dan memiliki asuransi untuk mengurangi beban kerugian.
Solusi lain yang bisa dilakukan, kata Reza, membuka wacana kepemilikan senjata pribadi untuk pengamanan diri. Situasi ini juga jadi alasan sebagian masyarakat mendorong kepemilikan senjata api pribadi sebagai kompensasi untuk mengatasi lambannya bala bantuan serta tidak mencukupinya teknologi keamanan dan ketertiban di lingkungan.
”Namun, saya terus terang anti kepemilikan senjata api pribadi. Jadi, alih-alih mendorong masyarakat untuk punya senjata api, lebih baik mendorong polisi hadir lebih dalam, lebih cepat, dan lebih merata lagi di tengah masyarakat,” kata Reza.