Pura-pura Terserempet, Modus Lama Pemerasan di Jalan Raya
Video viral kembali menunjukkan upaya pembentukan "mob" atau kekerasan kolektif di jalan raya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Seorang pria menumpang sepeda motor mengejar mobil yang tengah melaju di Jalan TB Simatupang, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (26/1/2022), menjelang tengah hari. Pria itu mengacungkan jari telunjuk kirinya ke arah mobil yang dikejarnya.
Saat mengejar, pria itu juga mencoba menarik perhatian pengguna jalan lainnya dengan berulang kali meneriakkan, ’Ini, lho!’ Dari dalam mobil, seorang penumpang yang cerdas langsung memvideokan tingkah pria tak dikenal itu.
Begitu sepeda motor sejajar dengan mobil, pria turun dan berlari kencang ke arah depan, lalu tiba-tiba menghadang mobil. Sambil memegang kaki kiri dan bertingkah seolah sakit, setelah berlari kencang tadi, pria tersebut menunjuk-nunjuk ke arah mobil yang dihadang sambil menoleh ke kanan dan kiri, seperti meminta pertolongan warga di sekitarnya.
’Tadi lari, sekarang begitu,’ ujar salah satu penumpang, yang disusul komentar penumpang lainnya. ’Tuh, pada bilang ’bohong, bohong’.’ Tidak lama kemudian, beberapa penumpang mobil serempak pun meneriaki pria itu, ’Bohong!’
Video yang direkam penumpang mobil itu pun lantas viral di media sosial. Beberapa akun yang menyebarkan video itu menilai aksi pria yang berpura-pura menjadi korban tabrak lari itu adalah modus baru kejahatan jalanan.
Baca juga: Ironi Hilang Nyawa di Tangan Amuk MassaPolisi mencoba ikut melacak pria tersebut kendati warga di dalam mobil tidak melaporkan kejadian pada Rabu (26/1) itu ke mereka. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Timur Ajun Komisaris Besar Ahsanul Muqaffi saat dikonfirmasi, Sabtu (29/1/2022), mengatakan, pihaknya tengah melakukan penyelidikan.
’Kemarin sudah dicek anggota lagi. Saksi-saksi di lapangan masih kita tanyain,’ katanya.
Ahsanul mengatakan, aksi seperti itu biasanya adalah modus pemerasan. Modus ini sudah lama ada, setidaknya lima tahun terakhir. Namun, modus kejahatan jalanan seperti ini seolah baru muncul karena baru viral di media sosial.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengingatkan kepada masyarakat agar tidak mudah terpancing emosi, bahkan sampai main hakim sendiri atas dugaan kesalahan yang belum tentu benar adanya.
”Jangan mudah terprovokasi dengan ajakan yang belum diyakini kebenarannya. Jangan main hakim sendiri,” kata Zulpan. Ia juga mengingatkan masyarakat agar memercayai polisi untuk menindak terduga pelanggaran hukum.
Kasus pengeroyokan
Kesadaran warga agar tidak mudah emosi sangat penting untuk mengantisipasi kegagalan seperti yang menimpa Wiyanto Halim (89) di Jalan Pulo Kambing, Kawasan Industri Pulo Gadung, Cakung, Jakarta Timur, Minggu (23/1) dini hari.
Wiyanto yang tengah mengemudikan mobil sendirian meninggal setelah dikeroyok segerombolan pemuda yang mengejarnya dengan sepeda motor. Gerombolan itu mengejar mobil Wiyanto karena insiden penyerempetan dan provokasi maling yang dilontarkan seorang provokator.
Hari ini polisi kembali menetapkan satu tersangka dalam kasus tersebut. Dengan demikian, total ada enam tersangka yang terlibat dalam perusakan mobil dan pengeroyokan hingga meninggal terhadap warga Tebet, Jakarta Selatan, itu.
”Satu tersangka baru dalam kasus lansia yang tewas dikeroyok di Jakarta Timur, berinisial F. Perannya melakukan perusakan mobil korban,” kata Zulpan.
Baca juga: Kejahatan Jalanan oleh Remaja yang Meresahkan WargaPolisi menemukan, para pelaku mengeroyok Wiyanto dengan benda tumpul, seperti batu, kayu, dan helm. Akibatnya, kepala Wiyanto pecah dan meninggal dunia di tempat kejadian perkara (TKP). Menurut keterangan, para pelaku menghabisi Wiyanto bersama-sama karena tersulut emosi.
Berisiko pidana
Muhammad Mustofa, kriminolog Universitas Indonesia, mencatat, aksi tersebut sebagai kekerasan akibat perilaku kolektif atau ”mob”. Kekerasan kolektif berupa pengeroyokan yang terjadi bisa bersifat situasional jika disulut provokasi.
”Dalam kekerasan kolektif, pelaku kekerasan melakukan tindakan tanpa tujuan rasional dan kehilangan ciri pribadi. Ciri pribadi bisa melebur menjadi ciri kolektiva, yang bisa destruktif, seperti kasus pengeroyokan Kakek Wiyanto,” ujarnya.
Oleh karena itu, warga yang tengah diprovokasi perlu kembali mengolah kebenaran kejadian yang sebenarnya agar tidak keliru mengambil keputusan. Hal ini tentunya agar warga tidak terpengaruh emosi oleh ajakan orang lain, bahkan sampai melakukan tindakan fatal karena main hakim sendiri yang berisiko pidana.