Penegakan hukum tanpa tebang pilih untuk setiap kasus menjadi satu-satunya cara untuk menciptakan ketertiban hakiki. Aksi main hakim sendiri pun dapat dihindari jika publik yakin hukum ditegakkan dengan adil.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Di usia senjanya, Wiyanto Halim harus kehilangan nyawa di tangan sekelompok massa yang membabi buta menyergapnya. Tubuh renta tidak membuat massa yang masih berusia muda bersimpati setelah mengejarnya di jalan pada Minggu (23/1/2022) dini hari.
Entah apa yang merasuki lima pelaku yang kini ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, Selasa (25/1/2022). Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengatakan, mereka terbukti terlibat pengeroyokan di Jalan Pulo Kambing, Kawasan Industri Pulogadung, Cakung, Jakarta Timur, itu.
Tersangka pertama, TJ (21), menendang mobil Toyota Rush hitam milik Wiyanto. Ia juga menendang pinggang kakek berusia 89 tahun itu. Kedua, tersangka JI (23) menendang bagian atas tubuh korban. Ketiga, RYN menendangi mobil hingga rusak dan menarik paksa korban keluar. Keempat, MA (18) menginjak-injak kaca depan mobil hingga pecah. Kelima, MJ (18) menendangi mobil korban.
Mereka diketahui mengeroyok Wiyanto dengan benda tumpul, seperti batu, kayu, dan helm. Akibatnya, kepala Wiyanto terluka parah dan meninggal di tempat kejadian perkara (TKP). Keterangan sementara yang didapatkan polisi, mereka menyerang karena tersulut emosi.
Emosi itu terdengar dari teriakan kemarahan yang diujarkan provokator yang mengejar korban dari atas motor. Dalam video warga yang beredar, sebelum pengeroyokan terjadi, sejumlah motor mengejar mobil yang dikendarai korban. Suara teriakan ”maling” dan ancaman untuk membekuk korban bergaung dalam pengejaran itu.
Zulpan menjelaskan, pengejaran ini bermula dari penyerempetan kendaraan korban dengan pengendara motor di daerah Cipinang Muara, Pulogadung. Warga yang melihat mobil korban tidak berhenti tergerak ikut mengejarnya.
”Karena itu, diartikan mobil tersebut mobil curian. Ini yang mengakibatkan banyak pemotor lain simpati, beramai-ramai mengejar mobil korban sampai TKP di Jalan Pulo Kambing dan dikeroyok,” katanya saat rilis kasus di Polres Metro Jakarta Timur.
Saat pengejaran terjadi, sebuah mobil patroli polisi sempat mengekor. Menurut Zulpan, polisi membuntuti mobil korban untuk ikut menghentikan mobil yang dikendarai. Upaya yang sudah sesuai prosedur ini salah satunya dengan imbauan melalui pengeras suara.
Kepolisian umumnya tidak mau bentrok dengan perilaku kolektif. Apalagi kalau kalah jumlah. Polisi lebih memitigasi saja.
Di TKP, mobil korban berhenti dan massa yang berjumlah banyak segera menyerang mobil dan korban. Polisi pun ikut memberikan peringatan kepada massa untuk bubar. Namun, karena kalah jumlah, imbauan polisi tidak diindahkan massa sehingga pengeroyokan tetap terjadi.
”Secara psikologis, kalau massa sudah berkumpul, apalagi ada provokasi, bisa sangat berbahaya. Oleh sebab itu, pelajaran penting yang bisa kita petik adalah bahayanya provokasi dan main hakim sendiri,” ujar Zulpan.
Bahaya perilaku kolektif
Adrianus Meliala, kriminolog Universitas Indonesia (UI), melihat, di satu sisi, kasus ini menunjukkan kelemahan kepolisian. Menurut dia, polisi tidak berkemampuan untuk menghalau massa yang muncul secara spontan.
”Kepolisian umumnya tidak mau bentrok dengan perilaku kolektif. Apalagi kalau kalah jumlah. Polisi lebih memitigasi saja,” ujarnya melalui pesan singkat.
Posisi polisi dalam situasi tersebut pun dinilai mendukung perilaku kolektif atau ”mob”, baik yang dibentuk terencana maupun tak terencana.
Dari sisi massa, pakar kriminologi UI lainnya, Muhammad Mustofa, melihat bahwa kekerasan kolektif berupa pengeroyokan yang terjadi bisa saja bersifat situasional, terlebih karena adanya provokasi. Massa atau orang yang berada di sekitar saat mendengar teriakan bereaksi mengejar mobil yang dikira melarikan diri.
Dalam kekerasan kolektif, peserta kekerasan melakukan tindakan tanpa tujuan rasional dan kehilangan ciri pribadi, lalu melebur menjadi ciri kolektifa. Dalam kekerasan kolektif, pelaku bertindak tanpa tujuan rasional dan kehilangan ciri pribadi. Ciri pribadi yang didukung pemahaman moral dan intelektual bisa melebur menjadi ciri kolektifa yang bisa destruktif, seperti dalam kasus pengeroyokan Wiyanto.
Di luar kekerasan kolektif, Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia kini juga dihebohkan dengan tindakan sekelompok orang yang mengganggu kepentingan orang lain.
Contoh terdekat adalah konvoi sekitar 30 mobil pribadi mewah seperti BMW dan Porsche di Jalan Tol Antasari-Depok alias Andara, Minggu (23/1/2022) sekitar pukul 10.00. Para pengendara dari sekitar Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Mereka melaju pelan di ruas tol. Semua itu agar bisa berswafoto. Selain mengeluarkan tongkat swafoto, ada pengemudi yang mengeluarkan sebagian badannya demi mendapatkan pose terbaik. Kegiatan ini mengganggu pengguna tol lain dan polisi pun menangani kasus ini.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, menjelaskan, kebiasaan membuat dan mengunggah aktivitas di media sosial untuk menunjukkan eksistensi lumrah seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Kemajuan teknologi dipakai sebagian orang untuk mereproduksi identitas diri sebagai cara memamerkan status.
”Fenomena itu pada akhirnya harus diimbangi sikap kritis publik agar tidak terjadi kesenjangan dalam penegakan hukum atau ekonomi sosial. Masyarakat yang pamer kalau enggak dikritisi akan menciptakan kecemburuan sosial,” ujarnya.
Penegakan hukum tanpa tebang pilih untuk setiap kasus, terutama yang membahayakan masyarakat banyak, memang satu-satunya cara untuk menciptakan ketertiban hakiki. Aksi main hakim sendiri pun dapat dihindari jika publik yakin hukum ditegakkan dengan adil.