Konsep ”Work Life Balance” bagi ASN
Keseimbangan kerja dan keluarga/kehidupan akan memperbaiki kualitas hidup. Jika diterapkan di birokrasi pemerintahan, pola kerja ini juga membuka peluang birokrasi pemerintah untuk merekrut ASN berkualitas.

Ilustrasi
Opini Nyoman Patra Manguwijaya di Kompas.id(30/5/2022) yang berjudul ”Masa Depan Kerja Jarak Jauh bagi ASN” menarik untuk diulas lebih lanjut. Apalagi saat ini pemerintah melalui Badan Kepegawaian Negara sedang merumuskan mekanisme dan aturan kerja jarak jauh bagi ASN (Kompas.com, 12/5/2022).
Pemerintah menamainya work from anywhere (WFA). Dalam penerapannya mempertimbangkan flexi place, yakni keleluasaan untuk bekerja dari luar kantor dan juga flexi time karena ASN memiliki jumlah waktu kerja minimal yang harus terpenuhi.
Di luar birokrasi pemerintahan, model kerja jarak jauh sudah mulai berjalan, seperti di perusahaan raksasa internet, Google, sejak pertengahan Juni 2021. Google menjalankannya dengan konsep hybrid working, kesepakatan terbaik antara karyawan dan perusahaan dalam hal fleksibilitas waktu kerja. Sebuah konsep kerja hibrida kerja dari rumah (work from home) dan kerja dari kantor (work from office) selama masa pandemi Covid-19 yang terus menjadi pilihan hingga kini.
Baca juga: Masa Depan Kerja Jarak Jauh bagi ASN
Dengan skema tersebut, Google memberi keleluasaan untuk karyawannya hanya bekerja di kantor sekitar tiga hari dalam seminggu. Selebihnya para karyawan bisa memilih untuk bekerja dari salah satu kantor Google lainnya atau bekerja jarak jauh sepenuhnya.
Skema kerja ini juga memungkinkan para karyawan bekerja secara jarak jauh selama empat minggu dalam setahun atas persetujuan manajer. Selain itu, Google juga memberikan manfaat lainnya, seperti reset day atau semacam cuti bagi ASN di Indonesia. Google percaya, para karyawan yang bisa bersenang-senang dengan pekerjaannya akan membawa energi positif ke lingkungan sosial dan tempatnya bekerja.
Dalam WFA versi BKN, hari wajib hadir ke kantor disebut core hours atau waktu inti di mana semua ASN harus datang ke kantor. Core hours menjadi antitesis dari studi sebelumnya tentang sisi negatif kerja jarak jauh. Dalam opini Nyoman Patra Mangunwijaya, berdasarkan studi Tavares (2017) dan Golden dkk (2008), kerja jarak jauh berefek negatif pada kesempatan untuk bersosialisasi dengan rekan kerja.

"Flexible working arrangement"
Dalam studi kepegawaian negara, WFA dengan flexi place, flexi time, dan core hours adalah bentuk-bentuk dari flexible working arrangement (FWA). Tujuan utama FWA ini adalah work life balance, yaitu adanya keseimbangan hidup antara pekerjaan dan keluarga. Work life balance menjadi tantangan tersendiri untuk ASN yang bekerja di luar kota dan ASN di kota-kota besar di Indonesia. Mereka adalah kelompok pekerja yang menghabiskan lebih dari separuh kehidupannya di tempat kerja dan di jalan.
Adanya work life balance akan mengurangi tingkat stres, memperbaiki kualitas moral dan kehidupan, serta perilaku kerja. Hal ini juga menjadi jawaban kehilangan ASN berkualitas terlalu dini di suatu daerah karena banyaknya permintaan pindah atas permintaan sendiri ke daerah kelahiran.
Adanya work life balance akan mengurangi tingkat stres, memperbaiki kualitas moral dan kehidupan, serta perilaku kerja.
Apabila benar-benar ingin mendapatkan hasil optimal dari skema kerja anywhere, tidak salah jika pemerintah juga mengkaji pola kolaborasi antarinstitusi dan kelembagaan pemerintah daerah.
Pola kolaborasi ini dapat berjalan, misalnya, seorang ASN asal daerah kelahiran A bekerja di pemda B. Di daerah asalnya, ASN ini masih memiliki orangtua atau keluarga lainnya yang bertempat tinggal di sana.
Pemda B dapat berkolaborasi dengan pemda A agar si ASN ini dapat bekerja menyelesaikan pekerjaan pemda B di pemda A. Contoh lainnya adalah ASN Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri bisa diberi kesempatan bekerja dari dinas dukcapil provinsi di daerah kelahirannya untuk waktu tertentu. Ibarat karyawan Google yang bisa bekerja dari kantor Google lainnya.
Baca juga: Empat Hari Kerja
Hal tersebut tentu bisa memberikan pengalaman kerja baru dan moral positif bagi kedua institusi. Lebih dari sekadar pola studi banding yang selama ini berjalan dan menghabiskan banyak anggaran negara. Pola kolaborasi seperti ini juga bisa menjawab persoalan keterbatasan infrastruktur kerja dan jaringan internet saat ASN bekerja jarak jauh.
Pada akhirnya pemerintah bisa menerima manfaat dari meningkatkan loyalitas, efektivitas, koordinasi antar lembaga, dan produktivitas kinerja ASN dan bahkan hubungan yang lebih kuat antara atasan dan bawahan.
Meski demikian, FWA tidak akan berjalan efektif tanpa adanya standardisasi peralatan (tools) teknologi yang memungkinkan pengawasan tetap berjalan. Contoh dari metode ini adalah penggunaan Google Spreadsheet dan teleconference dengan berbagai aplikasi yang saat ini populer. Atau bisa juga mengembangkan tools teknologi baru.

Seorang pegawai BNI bekerja di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (17/3/2020). Sejumlah kantor dan perusahaan menerapkan sistem bekerja dari rumah untuk meminimalisasi penularan Covid-19.
Persoalan lainnya adalah rendahnya kapabilitas individu ASN yang bisa memanfaatkan skema program ini, perilaku negatif, dan perlawanan dari beberapa kelas jabatan setara manajer juga akan terjadi karena merasa kehilangan sebagian dari wewenangnya.
Pada dasarnya, FWA akan membuka peluang birokrasi pemerintahan untuk dapat merekrut ASN berkualitas karena ketertarikan pelamar kepada institusi yang menerapkan sistem kerja fleksibel. Beberapa studi menunjukkan, milenial potensial mulai kurang tertarik pada institusi yang masih menerapkan pola kerja ”9 to 5”, masuk pukul 09.00, pulang pukul 17.00.
Meski demikian, FWA juga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar, misalnya, ASN kelas jabatan mana saja yang bisa masuk dalam program ini. Dalam struktur birokrasi Indonesia, FWA tidak akan cocok untuk pemangku kelas jabatan administrator (eselon III), jabatan tinggi (JPT) pratama (eselon II), dan JPT madya (eselon I).
Milenial potensial mulai kurang tertarik pada institusi yang masih menerapkan pola kerja ’9 to 5’.
Kelas jabatan tersebut lebih sering mendapatkan kesempatan perjalanan dinas luar kota dan bertindak sebagai supervisi maupun pembina dalam struktur kepegawaian di Indonesia. Dalam studi FWA, kesulitan supervisi merupakan tantangan tersendiri sebagai dampak waktu kerja yang berbeda.
Peluang dari FWA sebenarnya telah ada saat pemerintah mulai merasionalisasi kelas jabatan eselon IV dan mengangkat mereka dalam jabatan fungsional tertentu (JFT). Namun, persoalan muncul karena beberapa rasionalisasi jabatan eselon IV ke JFT tidak mempertimbangkan kompetensi dan keahlian ASN.
Namun, terlepas dari hal itu, JFT dan pelaksana adalah dua kelas jabatan yang potensial untuk menerapkan FWA. Namun, untuk menghindari multitafsir, pemerintah juga perlu mengatur secara spesifik JFT dan pelaksana yang bisa memanfaatkan program ini. Misalnya, apakah JFT penyuluh pertanian dan pelaksana yang langsung berhubungan dengan pelayanan publik bisa memanfaatkan FWA. Belum termasuk tenaga medis dan pendidik yang tentu tidak mungkin masuk dalam program ini.
Baca juga: ”Normal Baru” Birokrasi
Regulasi
Pemerintah hendaknya perlu mengkaji secara lebih hati-hati skema kerja anywhere (flexi place, flexi time, dan core hours) tanpa harus terburu-buru oleh waktu. Apabila merujuk kepada regulasi yang ada, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, skema kerja anywhere juga akan mengalami kendala karena adanya kewajiban jam kerja minimal bagi setiap individu PNS.
Dalam PP itu, PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai ketentuan jam kerja. Apabila dikonversi secara kumulatif, waktu kerja PNS mencapai tujuh setengah jam per hari atau 37 jam 30 menit per minggu (Pasal 3 angka 11).
Tanpa ada revisi regulasi terkait jam kerja kerja ini, skema kerja anywhere yang sedang digagas BKN hanya akan lebih mirip dengan flexible hours yang sebenarnya sudah berjalan. Flexible hours memberi dispensasi keterlambatan satu hingga satu setengah jam kepada ASN dan menggantinya di sore hari.
Namun, penerapan FWA sejatinya terbuka lebar dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang memungkinkan adanya revisi kebijakan jam kerja ASN.
Mardani Malemi, Tenaga Pengajar Administrasi Kepegawaian Negara di UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Mardani Malemi