Buya Syafii mewariskan mentalitas keindonesiaan, suatu mentalitas yang inklusif, toleran, menghargai keragaman sebagai suatu hukum alam (”sunatullah”), dan satu sama lain saling bergotong royong membangun bangsa.
Oleh
M ALFAN ALFIAN
·4 menit baca
Pendekar dari Chicago itu wafat. Kenangan kebaikan terhadap sosok humanis moderat ini terus mengalir. Pendekar itu, Ahmad Syafii Maarif, menyusul pendekar Chicago yang sudah wafat sebelumnya, Nurcholish Madjid. Julukan pendekar dari Chicago diberikan oleh Abdurrahman Wahid dalam kolomnya pada 1985, ”Tiga Pendekar dari Chicago”. Pendekar satunya lagi dalam tulisan itu adalah M Amien Rais.
Almarhum Buya Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini adalah sosok yang sangat sederhana. Di kalangan Muhammadiyah, kesederhanaannya mengingatkan kepada Ketua Umum PP Muhammadiyah terdahulu yang tak kalah melegenda, AR Fachruddin atau Pak AR. Keduanya bukan sekadar miliki organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam arus utama (mainstream) di Indonesia. Mereka milik umat Islam dan bangsa Indonesia. Mereka para guru bangsa.
Buya Syafii menerjemahkan Islam berkemajuan sebagai Islam yang terbuka, toleran, menghargai kemajemukan, antikekerasan, humanis, dialogis, dan terbuka bagi kerja sama lintas agama. Islam bukan agama yang tertutup atau menutup diri dengan yang lain atau sebagai entitas eksklusif, melainkan agama yang inklusif. Komitmen dan konsistensinya ditunjukkan melalui Maarif Institute pascapensiun dari kepengurusan Muhammadiyah. Generasi muda banyak yang menimba ilmu dari wawasan dan keteladanannya sebagai guru bangsa.
Di bidang kebudayaan, Buya Syafii tak pernah henti mengampanyekan kemajemukan bangsa, menolak penajaman politisasi identitas. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia harus diterjemahkan sebagai benar-benar agama yang penuh rahmat (rahmatan lil alamin), agama yang menebarkan kebaikan dan kebersamaan. Buya Syafii dikenal konsisten dalam menolak berbagai wacana yang bermuara pada kesan bahwa Islam membenarkan kebencian terhadap kelompok lain. Buya Syafii mengkritik keras fenomena ”premanisme berjubah agama”.
Aksinya untuk memperlihatkan bahwa dia sosok Muslim moderat yang humanis ditunjukkan secara proaktif dalam berbagai interaksi dan kegiatan dengan berbagai tokoh lintas agama. Buya ingin agar hubungan antaragama di Indonesia berjalan baik, penuh kedamaian dan kesejukan. Tegur sapa, kebersamaan, dan keakraban di antara berbagai anak bangsa dengan latar belakang primordial masing-masing merupakan hal yang harus terus-menerus kita bumikan. Membumikan keislaman di alam keindonesiaan juga berarti membumikan rahmat dan kebersamaan dengan elemen-elemen bangsa lainnya.
Islam dan Pancasila
Ekspresi ketulusannya dalam menghormati kemajemukan bukan ekspresi yang pasif. Karena itu, sosok Buya Syafii, tak terelakkan, merupakan salah satu teladan utama dalam memperkokoh sikap keberagamaan yang moderat di Indonesia. Ini semua tidak dapat dilepaskan dari latar belakang dan pengalaman Buya Syafii sebagai seorang sejarawan. Disertasi yang ditulisnya ialah dinamika hubungan antara Islam dan Pancasila dalam kepolitikan Indonesia, khususnya pada periode pascakemerdekaan hingga era Demokrasi Terpimpin.
Buya Syafii mencatat kontribusi segenap pendiri bangsa, termasuk para tokoh Islam, dalam menghadirkan Pancasila sebagaimana yang kita kenal selama ini. Ditegaskan bahwa Pancasila adalah milik bersama dan umat Islam tidak boleh ragu-ragu dalam menerima Pancasila sebagai dasar negara serta prinsip-prinsip dasar pemersatu bangsa. Menentang Pancasila merupakan sikap ahistoris dan semua komponen bangsa harus belajar dan mampu mengambil hikmah dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang panjang.
Sosok Buya Syafii, tak terelakkan, merupakan salah satu teladan utama dalam memperkokoh sikap keberagamaan yang moderat di Indonesia.
Dalam dinamika kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara, sikap hidup yang Pancasilais harus dikedepankan. Tidak usahlah satu sama lain jorjoran gaya hidup mewah, mengumbar kekerasan, serta mempertajam perilaku yang merusak persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa yang religius dan beradab.
Bijak di abad digital
Buya Syafii termasuk sosok yang senantiasa mengingatkan agar kita bijak dalam pergaulan antarsesama elemen bangsa, menjaga kesantunan dan ketulusan, serta tidak saling menyakiti dalam berkomunikasi satu sama lain, termasuk terutama ketika berkomunikasi melalui media sosial. Buya sangat resah dengan fenomena hoaks, informasi menyesatkan, serta ujaran kebencian yang marak di media sosial.
Selain bertentangan dengan keadaban publik, perilaku demikian, merusak persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa. Kesantunan dalam bermedia sosial harus terus diupayakan sehingga lalu lintas komunikasi yang demikian semrawut dan kontraproduktif diakhiri dan dapat berubah menjadi lebih produktif.
Buya telah mewariskan mentalitas keindonesiaan, suatu mentalitas yang inklusif, toleran, menghargai keragaman sebagai suatu hukum alam (sunatullah), dan satu sama lain saling bergotong royong membangun bangsa. Sebagai Muslim yang taat, itulah ikhtiar Buya dalam menampilkan karakter Islam yang bermartabat di tengah pergaulan bangsa yang majemuk dan menolak mentalitas arogan dan mau menangnya sendiri. Selamat jalan Buya, keteladananmu sebagai guru bangsa akan terus kami kenang.
M Alfan Alfian, Anggota LHKP PP Muhammadiyah dan Dosen di Magister Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta