Menyudahi Trikotomi Pancasila
Tidak ada ”trikotomi” Pancasila yang membelah Pancasila menjadi ”Pancasila 1 Juni” , ”Pancasila 22 Juni” , dan ”Pancasila 18 Agustus”. Ketiga rumusan Pancasila tersebut bukan tiga hal atau tiga ideologi yang berbeda.
Kita bertemu kembali dengan 1 Juni. Sesuai Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Pada 1 Juni 1945, untuk pertama kali, ide Pancasila digagas oleh Ir Soekarno.
Peringatan Harlah Pancasila pada 1 Juni tidak khas pasca-Reformasi. Keputusan Presiden (Keppres) No 24 Tahun 2016 sebenarnya menghidupkan kembali instruksi serupa oleh Keputusan Menteri Agama melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan, atas persetujuan Presiden Soekarno, untuk menetapkan 1 Juni sebagai Harlah Pancasila dan hari libur nasional.
Keputusan itu ditetapkan pada 1 Juni 1964, dan melandasi peringatan tersebut secara kenegaraan. Hingga dua tahun awal pemerintahan Orde Baru, yakni 1967-1968, Harlah Pancasila diperingati oleh negara dan bangsa. Sejak 1969, peringatan itu ditiadakan, diganti dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.
Tentu kita tidak berdebat lagi mengapa terdapat peringatan Harlah Pancasila setiap 1 Juni.
Terdapat dua landasan untuk itu. Pertama, akademik, berdasarkan penerbitan buku Lahirnja Pantjasila pada 1947 yang merupakan penerbitan pidato 1 Juni Bung Karno. Buku tersebut dipengantari oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dr Radjiman Wediodiningrat yang memberikan kesaksian tentang signifikansi pidato 1 Juni Soekarno.
Berdasarkan buku itulah, pidato 1 Juni Soekarno dikenal sebagai pidato kelahiran Pancasila, dan 1 Juni ditetapkan sebagai Harlah Pancasila.
Yamin, yang didaulat Orde Baru sebagai pengusul Pancasila selain Soekarno, ternyata pada masa hidupnya menjadi penegas kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945.
Hal itu disepakati oleh para perumus Pancasila dan anggota BPUPKI, termasuk Mr Muhammad Yamin, yang menegaskan Pancasila lahir melalui pidato 1 Juni Soekarno.
Yamin, yang didaulat Orde Baru sebagai pengusul Pancasila selain Soekarno, ternyata pada masa hidupnya menjadi penegas kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945. Penegasan itu disampaikan oleh Yamin, baik pada peringatan Harlah Pancasila (secara tidak resmi) pada 5 Juni 1958 di Istana Negara maupun dalam buku Naskah Persiapan UUD 1945 jilid kedua dan jilid ketiga (1959).
Menarik di sini bahwa Yamin pada jilid kedua dan ketiga buku tersebut berulang menegaskan kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945. Padahal, jilid pertama buku Naskah Persiapan UUD digunakan Orde Baru untuk menegaskan Yamin sebagai pengusul Pancasila pada 29 Mei 1945.
Artinya, Orde Baru memaksakan kesimpulan yang bertentangan dengan pandangan Yamin sendiri. Termasuk sejarawan almarhum Prof Nugroho Notosusanto dalam Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1981), yang ternyata hanya menggunakan buku Naskah Persiapan UUD jilid pertama, dan mengabaikan jilid kedua dan ketiga. Kenapa bisa demikian?
Kedua, yuridis, berdasarkan keputusan BPUPKI yang menetapkan pidato 1 Juni Soekarno sebagai bahan utama perumusan dasar negara.
Hal itu disampaikan Panitia Lima (Bung Hatta, Achmad Soebardjo, AA Maramis, AG Pringgodigdo, dan Sunario) yang menyatakan, setelah pidato 1 Juni Soekarno, BPUPKI membentuk Panitia Kecil dengan tugas merumuskan kembali Pancasila menjadi dasar negara berdasarkan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 (Panitia Lima, 1977: 25).
Panitia Kecil ini awalnya berjumlah delapan orang, lalu berubah menjadi sembilan, menjadi Panitia Sembilan yang rapat pada 22 Juni 1945 dan menghasilkan Piagam Jakarta.
Hasil rapat Panitia Sembilan ini lalu dilaporkan oleh ketuanya, Soekarno, pada sidang kedua BPUPKI, 10-17 Juli 1945. Pada 10 Juli, Soekarno menyatakan bahwa Piagam Jakarta merupakan kompromi terbaik antara kelompok Islam dan kelompok kebangsaan.
Ia lalu menegaskan bahwa nilai-nilai yang ia usulkan pada 1 Juni, yakni ketuhanan (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya), kemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial, telah masuk dalam piagam yang merupakan draf Pembukaan UUD tersebut (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1995: 95-96).
Pernyataan Soekarno ini membuktikan bahwa lima sila Pancasila yang diusulkan pada 1 Juni telah masuk dalam Piagam Jakarta, tentu dengan beberapa revisi.
Pernyataan Soekarno ini membuktikan bahwa lima sila Pancasila yang diusulkan pada 1 Juni telah masuk dalam Piagam Jakarta, tentu dengan beberapa revisi. Soekarno sendiri pada sidang kedua itu telah merapalkan Pancasila sesuai dengan sistematika Piagam Jakarta plus imbuhan ”tujuh kata” bersyariah Islam.
Di sini, pernyataan Soekarno pada sidang kedua BPUPKI tersebut menjadi bukti kesinambungan pidato 1 Juni dan rumusan 22 Juni 1945.
Kesatuan proses
Pertanyaan yang sering muncul ialah bukankah rumusan Pancasila 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus 1945 tersebut berbeda? Inilah pertanyaan awam yang perlu dijernihkan melalui literasi sejarah.
Faktanya, Panitia Sembilan tidak mengubah tema sila-sila Pancasila yang diusulkan Soekarno. Hal ini disampaikan Panitia Lima (tiga anggotanya mantan anggota Panitia Sembilan), juga oleh Ki Hadjar Dewantara.
Sebagai anggota BPUPKI- PPKI, Ki Hadjar menulis buku Pantjasila (1950) dan menyatakan bahwa lima sila Pancasila yang diusulkan Soekarno pada 1 Juni 1945 diterima semua oleh anggota BPUPKI, sebagai kenyataan yang diakui dengan ikhlas (Dewantara, 1950: 10). Artinya, ”isi” (tema sila-sila) Pancasila tidak diubah, hanya ”bentuk” (sistematika) dari Pancasila yang direvisi.
Baca juga Memaknai 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila
Revisi sistematika tersebut meliputi ketuhanan menjadi sila pertama, kemanusiaan tetap sila kedua, kebangsaan menjadi sila ketiga, kedaulatan rakyat menjadi sila keempat, dan keadilan sosial menjadi sila kelima. Satu-satunya perbedaan konseptual (bukan tematik) 1 Juni dan 22 Juni ialah imbuhan kewajiban bersyariah Islam dalam sila ketuhanan yang berbeda dengan usulan 1 Juni, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersifat pluralistik.
Revisi tersebut disetujui Soekarno, dan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, Soekarno membacakan sistematika Pancasila resmi sebagaimana ia membacakan sistematika Pancasila Piagam Jakarta pada sidang kedua BPUPKI (Risalah, 1995: 417).
Dengan demikian, peran Soekarno tidak hanya terjadi pada 1 Juni, tetapi juga 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Artinya, ia tidak hanya mengusulkan rumusan Pancasila 1 Juni, tetapi juga memimpin revisi pidatonya sendiri menjadi Piagam Jakarta, memperjuangkan Piagam Jakarta pada sidang kedua BPUPKI, dan mengesahkan rumusan final Pancasila.
Oleh karena itu, pihak yang membenturkan Pancasila 18 Agustus dengan Soekarno tentu bersifat ahistoris sebab Soekarno-lah yang mengesahkan rumusan Pancasila resmi.
Dalam kaitan ini, kita tidak bisa hanya membaca pidato 1 Juni untuk mengetahui pemikiran Pancasila Soekarno sebab ia telah melangkah lebih maju dari gagasan 1 Juni dengan menjelaskan Pancasila sesuai dengan rumusan resmi.
Penjelasan dan pemikiran ini ia sampaikan dalam kursus- kursus Pancasila sepanjang tahun 1958 hingga 1959. Penjelasan tersebut juga ia sampaikan dalam pidato pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1960 serta pidato peringatan Harlah Pancasila, 1 Juni 1964.
Bukan trikotomi
Persoalannya, apakah hanya Soekarno yang berjasa atas kelahiran, perumusan, dan finalisasi Pancasila? Tentu tidak. Terdapat Panitia Sembilan dengan kelompok Islam yang dominan dalam merevisi sistematika Pancasila dan membuat sila ketuhanan bernuansa syariah.
Persetujuan kelompok Islam, yakni KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Kahar Muzakkir, menjadi pertimbangan utama Soekarno dalam menyusun Piagam Jakarta. Dalam hal ini terdapat pula peran AA Maramis yang, meski tokoh Kristiani, berkenan menerima ”ketuhanan bersyariah” demi terbangunnya konsensus nasional.
Peran serupa, tetapi berbeda dijalankan Johannes Latuharhary, tokoh Kristiani yang pada sidang kedua BPUPKI mengkritik ”ketuhanan bersyariah” karena akan berbenturan dengan keberagaman hukum, terutama hukum adat, di masyarakat. Kritik Latuharhary inilah yang mendorong penolakan wilayah Indonesia timur atas Piagam Jakarta.
Peran Bung Hatta juga sentral, yakni dalam penggantian sila ”ketuhanan bersyariah” menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Peran Bung Hatta juga sentral, yakni dalam penggantian sila ”ketuhanan bersyariah” menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Peran ini ia lakukan pada 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI dengan melobi tokoh-tokoh Islam.
KH Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Mr Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hassan dari Aceh menyetujui permintaan Hatta untuk mengganti ”tujuh kata” Piagam Jakarta dengan Ketuhanan YME.
Sila Ketuhanan YME sendiri pertama kali diusulkan Soekarno pada 1 Juni 1945. Dengan demikian, rumusan Pancasila yang paling sesuai dengan 1 Juni ialah rumusan resmi 18 Agustus, sebab sila ketuhanan tidak lagi bersifat kompromistis (dengan kelompok Islam), tetapi ideal sesuai gagasan Soekarno.
Baca juga Pemerintah Harus Menegaskan Pancasila sebagai Dasar Negara, Bukan Pilar
Oleh karena itu, tidak ada ”trikotomi” Pancasila yang membelah Pancasila menjadi ”Pancasila 1 Juni” (kaum nasionalis), ”Pancasila 22 Juni” (kaum Islamis), dan ”Pancasila 18 Agustus” (kaum Orde Baru). Ketiga rumusan tersebut bukan tiga hal yang berbeda dan mewakili tiga ideologi berbeda.
Yang terjadi ialah ketiga rumusan tersebut merupakan kesatuan proses menjadi yang bersifat mengandaikan dan menyempurnakan. Doa tulus untuk para pendiri negara!
Syaiful Arif Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila