Ancaman kota/kabupaten pesisir akan tenggelam adalah risiko bencana alam yang bisa diprediksi, diantisipasi, dan diatasi.
Oleh
NIRWONO JOGA
·4 menit baca
Pasca-Litbang Kompas memublikasikan hasil penelitian yang mengidentifikasi ada 199 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia, termasuk 21 ibu kota provinsi, akan ada di bawah permukaan laut alias tenggelam (20/8/2021), tidak tampak perubahan yang berarti di kota/kabupaten yang terancam tenggelam tersebut. Padahal, secara keseluruhan, dari 21 kota itu ada sekitar 118.000 hektar wilayah yang tergenang dan 8,6 juta warga yang akan terdampak. Total kerugian ekonomi diperkirakan Rp 1.576 triliun.
Semua tampak berjalan seperti biasa-biasa saja. Hari-hari ini pun, meski kota/kabupaten itu tengah dilanda banjir rob rutin, seperti kawasan pesisir Kota Semarang, Kabupaten Brebes, Kabupaten Rembang, Kota/Kabupaten Tegal, Kota/Kabupaten Pekalongan, bahkan Kota Jakarta sekalipun, juga tidak akan banyak berpengaruh untuk mampu mengubah kebijakan pembangunan kota/kabupaten itu.
Bencana banjir rob tahunan yang semakin meluas di kawasan pesisir pantai utara Jawa seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, hingga pemerintah kota/kabupaten pesisir. Kepekaan pemerintah sangat dibutuhkan terhadap keberlanjutan permukiman nelayan dan warga yang terancam tenggelam permanen dalam waktu yang tidak terlalu lama. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, ancaman kota/kabupaten pesisir akan tenggelam adalah risiko bencana alam yang bisa diprediksi, diantisipasi, dan diatasi. Kota-kota pesisir Indonesia termasuk berada di garis depan krisis iklim dengan risiko tertinggi. Selain kenaikan muka air laut dan bencana yang makin ekstrem, pemanasan global ini juga mengancam perekonomian karena menurunnya sumber daya laut dan pesisir.
Perubahan iklim telah menyebabkan kerusakan substansial dan kerugian yang semakin tidak dapat diubah di ekosistem darat, air tawar, pesisir, dan laut terbuka. Selain kenaikan muka air laut, dampak permanen dari perubahan iklim ialah sebagian spesies tidak bisa bertahan, termasuk di antaranya terumbu karang di perairan tropis.
Kedua, kota menghadapi tantangan percepatan konversi tata guna lahan dan konservasi air tanah, erosi, sedimentasi, sistem saluran air yang buruk. Selain itu, tingkat pencemaran dan penyusutan badan air, seperti sungai, situ-danau-embung-waduk (SDEW) dari hulu (pegunungan) hingga hilir (laut). Pemerintah kota/kabupaten pesisir harus segera mengaudit dan merevisi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) masing-masing diselaraskan dengan RTRW kota/kabupaten tetangga dan sekitar karena pengelolaan air tidak mengenal batas wilayah administrasi.
Penetapan kawasan resapan air di pegunungan (sumber mata air, hulu sungai) dikonservasi menjadi hutan lindung bebas bangunan dan permukiman. Pemulihan menyeluruh badan sungai/kali, revitalisasi SDEW (optimalisasi daerah penampung air), rehabilitasi saluran air berkapasitas sesuai peningkatan intensitas dan curah hujan akibat perubahan iklim, pembangunan hutan kota dan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai daerah resapan air.
Pemerintah kota/kabupaten pesisir harus segera mengaudit dan merevisi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) masing-masing diselaraskan dengan RTRW kota/kabupaten tetangga dan sekitar.
Ketiga, pemerintah harus membangun kota berketahanan air, mampu mandiri menyediakan kebutuhan air bersih, mengurangi/membatasi ketat pengambilan air tanah (zona larangan air tanah), serta melestarikan sumber pasokan air baku. Pemerintah dapat mengoptimalkan sumber pasokan air berupa air permukaan statis (SDEW), air permukaan dinamis (sungai, kanal), air hujan andalan, air tanah dangkal dan dalam, air laut (proses desalinasi), serta air olahan instalasi pengolahan air limbah berteknologi tepat guna.
Ketersediaan air minum aman, sanitasi higienis, dan kebersihan lingkungan yang memadai merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi pemerintah kota. Pemerintah harus menjamin kualitas, kuantitas, dan kontinuitas ketersediaan air baku.
Sekitar 69 persen akses air minum masyarakat saat ini bukan dari perpipaan dan 20 persen berasal dari jaringan perpipaan (Kementerian PUPR, 2021). Perluasan akses sumber air minum dari perpipaan ini perlu ditingkatkan. Ketika kebutuhan air bersih dapat dipenuhi 100 persen, maka zona larangan pengambilan air tanah dapat diterapkan sebagai upaya pelambatan penurunan muka tanah dan meredam ancaman tenggelam.
Keempat, pemerintah kota/kabupaten pesisir menyiapkan rencana induk restorasi kawasan pesisir. Kawasan pantai selebar minimal 500 meter ke arah daratan harus bebas bangunan dan permukiman sekaligus membebaskan warga dari ancaman banjir rob.
Kawasan direforestasi hutan bakau/mangrove masuk ke pusat kota melalui muara sungai dan bantaran sungai. Benteng alami ini akan menahan abrasi pantai, mencegah intrusi air laut, meredam limpasan air laut (banjir rob), serta mengurangi terjangan tsunami.
Hutan mangrove berguna untuk memperlambat aliran air sehingga terjadi pengendapan untuk meningkatkan kadar unsur hara, serta menyerap karbon, termasuk logam berat timah dan merkuri. Selain itu, mencegah perembesan air laut ke daratan (menjaga kualitas air baku) serta menjadi habitat satwa liar yang kaya keanekaragaman hayati ekosistem peralihan daratan dan lautan.