Perang Rusia-Ukraina di Jalan Buntu
Dunia kembali terancam masuk suasana Perang Dingin jika Rusia menjatuhkan bom nuklir ke Kiev. Rusia akan terisolasi. Untuk mencegah skenario buruk itu, pihak bersangkutan harus bicara. Sudah tepat Putin diundang ke G20.
Tiga bulan sesudah pasukan Rusia menyerbu wilayah Ukraina, ”aksi militer” Rusia pun jalan di tempat.
Serangan pertama, pada 24 Februari 2022, langsung diarahkan ke ibu kota Kiev dan diperkirakan akan selesai dalam waktu empat hari.
Ternyata, pasukan Rusia dipaksa mundur dengan kerugian material dan jumlah prajurit tewas yang tinggi. Tujuan Putin untuk menjatuhkan pemerintahan Volodymyr Zelenskyy (”denazifikasi”) dan menghancurkan militer Ukraina (”demiliterisasi”) gagal.
Rusia kemudian mengarahkan serangannya ke Donbas dengan tujuan mengepung dan menghancurkan pasukan Ukraina di situ. Rencana itu pun gagal. Beberapa hari lalu bahkan ada pasukan Ukraina yang mencapai perbatasan Rusia. Sekarang perang berada dalam tahap ketiga: Rusia mempertahankan bagian Donbas yang sudah direbut, mengamankan hubungan darat ke Semenanjung Crimea, sambil mendesak kembali pasukan Ukraina di sana-sini. ”Aksi militer” telah merosot menjadi perang tarik tambang.
Putin berhasil mencapai sesuatu yang selama 30 tahun tidak berhasil dicapai oleh Amerika Serikat: meyakinkan negara-negara anggota NATO di Eropa bahwa mereka harus siap berperang.
Mengherankan
Yang amat mengherankan: betapa keroposnya militer Rusia dari segala sudut. Panser-panser dan truk Rusia sebagian barang rongsokan. Penyediaan amunisi, bensin, dan makanan ke pasukan di garis depan dengan mudah dipotong tentara Ukraina. Kemampuan logistik dan digital Rusia memalukan. NATO baru tahu betapa brengsek angkatan perang Rusia. Sangat meragukan apakah Rusia masih akan mampu melakukan langkah ofensif lagi.
Putin dapat saja melakukan suatu mobilisasi umum. Akan tetapi, para ahli memperkirakan bahwa, justru karena kebobrokan internal militer Rusia, akan dibutuhkan beberapa bulan sampai tambahan pasukan bisa mulai dikerahkan.
Sementara ini, berkat bantuan militer canggih dari negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), angkatan bersenjata Ukraina akan semakin tidak terkalahkan. Dengan sanksi-sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Rusia, kekuatan Ukraina semakin menggigit.
Baca Juga:Membaca Perubahan Geostrategi Rusia dalam Konflik di Ukraina
Yang lebih mengherankan lagi: kok, Rusia, negara dengan angkatan bersenjata terkuat kedua di dunia, dipimpin oleh seorang otokrat yang tidak tahu tentang kesediaan berperang militernya? Masa pemimpin suatu negara besar memulai suatu aksi militer tanpa mengetahui kemampuan militernya? Di mana intelijennya?
Secara politis, Putin pun salah perhitungan total. Ia mau mencegah dikepung oleh NATO. Oke. Akan tetapi, sekarang semua negara Eropa bekas Pakta Warsawa dan bekas Uni Soviet merasa dibenarkan dalam kecurigaan mereka sejak semula terhadap Rusia.
Putin berhasil mencapai sesuatu yang selama 30 tahun tidak berhasil dicapai oleh Amerika Serikat: meyakinkan negara-negara anggota NATO di Eropa bahwa mereka harus siap berperang. Jerman, misalnya, sudah memutuskan untuk menggelontorkan 100 miliar euro (!) ke dalam persenjataannya.
Finlandia dan Swedia, yang selama 70 tahun memilih netral, sekarang memutuskan minta boleh masuk NATO, dengan akibat bahwa Laut Baltik akhirnya menjadi laut NATO.
Lalu, bagaimana mau berdamai?
Kiranya Rusia hanya akan bersedia mengakhiri perang melawan Ukraina apabila tiga tuntutan yang diajukannya terpenuhi. Pertama, Donbas dilepaskan dari Ukraina. Kedua, Ukraina mengakui secara resmi bahwa Crimea termasuk Rusia. Dan, ketiga, Ukraina berjanji—dengan dukungan NATO—bahwa tidak akan mau masuk NATO.
Apabila satu pun dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi, penghentian ”aksi militer” ke Ukraina akan merupakan pengakuan bahwa Rusia kalah dan Rusia tak akan mengaku kalah.
Namun, apakah Ukraina dapat menerima tiga syarat itu?
Sebetulnya tiga syarat itu masuk akal. Donbas, mirip dengan Abkhazia, Ossetia Selatan, dan Transnistria, adalah daerah yang, sesudah Uni Soviet bubar, mayoritas penduduknya yang etnik Rusia tidak menerima bahwa mereka tidak lagi termasuk Rusia. Adapun Crimea baru tahun 1954 dimasukkan ke Ukraina oleh Nikita Khrushchev. Khrushchev sendiri seorang etnik Ukraina.
Baca Juga:Memasuki Bulan Ketiga, Perang Rusia-Ukraina Cenderung Bereskalasi
Bahwa Rusia tidak ingin mempunyai negara tetangga besar sebagai anggota NATO, hal itu dapat dimengerti.
Di zaman raja-raja dulu, raja yang kalah perang menyerahkan suatu wilayah kepada raja yang menang, selesai masalahnya. Namun, di zaman nasionalisme dan demokrasi, rasionalitas seperti itu tak mungkin lagi. Setiap pemerintahan di Kiev yang akan menyetujui syarat pertama atau kedua sudah pasti akan langsung dijatuhkan.
Tambahan pula, Ukraina tentu akan menuntut ganti rugi lebih dari satu miliar dollar AS atas kerusakan bangunan, infrastruktur, dan lain-lain yang disebabkan oleh serangan Rusia. Seperti yang dicatat oleh Henry Kissinger: ”The test of a policy is how it ends, not how it begins”.
Jalan keluar?
Perang saling memperlemah yang sekarang berlangsung di Ukraina timur dan selatan tidak akan berjalan selamanya. Ukraina, dengan pasukan yang bersemangat dan persenjataan yang, berkat bantuan negara-negara NATO, semakin kuat, tidak akan menyerah.
Sebaliknya, semangat berperang Rusia akan lama-kelamaan merosot. Dan, yang lantas akan dipersalahkan juga di Rusia adalah Vladimir Putin.
Akan tetapi, Putin dapat mengubah itu semuanya. Dengan menjatuhkan satu bom atom di atas Kiev, misalnya. Bom atom itu akan meruntuhkan kemampuan juang orang-orang Ukraina. Bom atom juga akan menyelamatkan dan bahkan memperkuat kedudukan Putin. Amat, amat mengerikan!
Apabila Kiev dijatuhi nuklir, NATO tidak akan menuklir Rusia. NATO tidak akan menyulut Perang Dunia III. Kekalahan Ukraina akan dibiarkan. Namun, dunia akan lain. Suasana Perang Dingin akan kembali. Rusia akan terisolasi total. Hubungannya dengan China pun tidak akan banyak membantu.
Kiranya jelas, untuk mencegah skenario bom atom, semua pihak yang bersangkutan harus bicara, bicara, bicara. Putin diundang ke G20 sudah tepat.
Indonesia tidak dalam posisi untuk berperan banyak. Dengan mengambil sikap menomorsatukan kepentingan Indonesia sendiri, Indonesia kiranya dapat memberikan sumbangan berarti pada perwujudan masyarakat dunia yang tetap berkomunikasi dengan tidak terpecah total ke dalam blok-blok yang berlawanan.
Franz Magnis-SusenoGuru Besar Purnawaktu Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara