Tsunami Inflasi Mulai Mengancam
Inflasi menjadi momok yang menakutkan dan terjadi bukan hanya di negara-negara maju saja, melainkan juga di negara-negara berkembang. Laju inflasi yang cepat terjadi hampir serentak menciptakan ”pandemi inflasi” global.
Resesi ekonomi global yang muncul sebagai akibat pandemi Covid-19 sudah berakhir sejak akhir 2021.
Keberhasilan dan kekompakan semua negara dalam memberlakukan kebijakan bauran ekonomi makro memberikan hasil nyata yang patut diberikan apresiasi. Membaiknya ekonomi global terlihat dari berbagai indikator, seperti pertumbuhan ekonomi yang positif, meningkatnya permintaan barang dan jasa, mulai berkurangnya angka pengangguran, dan meningkatnya investasi.
Ramalan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia mengenai pertumbuhan ekonomi global pada 2021 yang positif terbukti benar, yaitu di angka 5,5 persen, setelah kontraksi 4,9 persen tahun 2020. Melesatnya pertumbuhan ekonomi global itu didorong oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang lebih cepat dari perkiraan semula.
Negara-negara yang tergabung dalam klub elite G20 secara umum mengalami pertumbuhan positif walau masih menyisakan banyak persoalan ekonomi domestik masing-masing. Demikian halnya emerging economies juga tumbuh positif sehingga ikut memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi dunia.
Pertumbuhan ekonomi yang positif dan ekspansif itu ternyata juga membuka potensi ancaman baru dalam bentuk semakin tingginya angka inflasi.
Baca Juga: Inflasi Global Jadi Isu Prioritas
Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral sudah menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai ancaman inflasi yang sudah terlihat di mana-mana. Inflasi di Amerika Serikat (AS) pada Maret 2022 telah menyentuh 8,3 persen (yoy), angka tertinggi sejak Januari 1982. Inflasi di negara-negara Uni Eropa (UE) juga telah menyentuh angka 7,8 persen pada Maret 2022, sebuah peningkatan yang luar biasa.
Di Australia, inflasi mencapai 5,1 persen dan di Korea Selatan 4,1 persen. Inflasi di beberapa emerging economies pada Maret 2022 juga melesat. Di India 6,95 persen, Brasil 10,98 persen, Afrika Selatan 5,9 persen, dan bahkan di Turki menyentuh angka 61,14 persen.
Di beberapa negara ASEAN, inflasi juga meningkat walaupun tak sebesar negara-negara maju. Singapura 4,1 persen, Malaysia 2,2 persen, Thailand 5,73 persen, Vietnam 2,41 persen, dan Indonesia 2,64 persen.
Negara-negara di Afrika juga mengalami gelombang inflasi yang cukup tinggi, antara lain di Kenya 5,56 persen, Nigeria 15,9 persen, dan Mesir 12,1 persen. Di Amerika Latin, inflasi juga relatif tinggi, seperti di Argentina 51,3 persen, Kolombia 8,01 persen, dan Chile 7,40 persen.
Faktor pemicu
Saat ini inflasi telah menjadi momok yang menakutkan dan terjadi bukan hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara berkembang. Laju inflasi yang sangat cepat terjadi hampir serentak di semua negara sehingga menciptakan semacam ”pandemi inflasi” di mana-mana.
Kenaikan inflasi yang terjadi di hampir semua negara itu di satu sisi merupakan salah satu indikator bahwa perekonomian dunia sudah berjalan kembali setelah tertidur hampir satu setengah tahun akibat pandemi Covid-19. Namun, di sisi lain, inflasi yang datang begitu cepat dan serentak itu mendorong berbagai masalah baru. Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong terjadinya gelombang inflasi di hampir semua negara di dunia.
Pertama, pada saat penyebaran virus Covid-19 menghantui dunia, masyarakat terpaksa harus banyak berdiam di rumah, mengurangi aktivitas, dan tentu saja mengurangi konsumsi barang dan jasa yang biasa mereka lakukan. Kondisi ini menyebabkan melemahnya konsumsi masyarakat yang pada akhirnya mengurangi produksi dan juga investasi.
Laju inflasi yang sangat cepat terjadi hampir serentak di semua negara sehingga menciptakan semacam ”pandemi inflasi” di mana-mana.
Melemahnya konsumsi juga diikuti dengan rendahnya angka inflasi, bahkan ada yang mencapai angka minus. Pada saat penularan Covid-19 mulai memperlihatkan tanda-tanda perlambatan dan semakin melemah, konsumsi masyarakat meningkat sangat drastis, bahkan di luar dugaan para pakar. Sementara ketersediaan barang dan jasa yang ada tidak lagi mampu mengimbangi permintaan karena mesin-mesin produksi memang tak siap menyikapi peningkatan konsumsi yang datang begitu cepat.
Kondisi ini memicu naiknya harga-harga barang dan jasa sehingga mendorong laju inflasi ke level yang lebih tinggi.
Contohnya, permintaan terhadap properti, baik untuk beli maupun sewa di Australia, melonjak sangat tinggi seiring membaiknya kembali perekonomian Australia dan dibukanya kembali pintu gerbang negara itu untuk orang asing.
Akibatnya, pasokan properti tak mampu mengimbangi dan diperlukan waktu 2-3 tahun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi housing crunch serupa juga terjadi di Inggris. Permintaan yang tinggi di sektor properti itu secara langsung akan mendorong kenaikan harga jual ataupun sewa, yang pada akhirnya akan mendongkrak inflasi.
Kedua, faktor kelangkaan energi yang terjadi akibat Perang Rusia-Ukraina menjadi pemicu naiknya harga-harga komoditas energi. Rusia dan Ukraina adalah pemasok utama energi dan pangan dunia. Embargo minyak dan gas Rusia yang diterapkan UE akibat invasi Rusia ke Ukraina justru memukul negara-negara UE yang selama ini sangat tergantung pasokan dari Rusia. Harga minyak mentah telah meroket hingga menyentuh angka sekitar 110 dollar AS per barel, seperti level tahun 2011-2012 pada saat ekonomi global mengalami booming setelah mengalami krisis di 2010.
Baca juga: Waspadai Rembetan Inflasi Global ke Indonesia
Kelangkaan sumber energi itu bahkan sudah terjadi pada semester II-2021, atau sebelum Perang Rusia-Ukraina pecah. Sumber energi baru dan terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan di negara-negara maju belum siap menggantikan energi berbasis fosil.
Ketiga, rantai pasok global untuk mendukung proses produksi barang belum sepenuhnya kembali normal akibat pandemi yang berkepanjangan. Terganggunya rantai pasok global untuk memasok bahan baku produksi antarnegara menyebabkan proses produksi barang-barang juga tersendat.
Dampak tsunami inflasi
Masyarakat akan dirugikan oleh kenaikan laju inflasi yang sangat tinggi mengingat merekalah yang akan merasakan dampaknya secara langsung.
Pertama, pada 2022 ini konsumen harus membayar harga listrik dan bahan bakar lebih mahal dari sebelumnya karena perusahaan penyedia energi membebankan kenaikan harga-harga sumber energi langsung ke konsumen. Kedua, kenaikan harga listrik dan bahan bakar memicu meningkatnya biaya produksi karena listrik dan bahan bakar merupakan salah satu komponen penting dari proses produksi barang ataupun jasa.
Ketiga, kenaikan harga barang dan jasa menyebabkan biaya hidup menjadi meningkat tanpa bisa dihindari lagi. Inflasi yang tinggi akan membuat masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah semakin tertekan sehingga akan memberatkan mereka. Pemerintah ataupun pengusaha harus menyisihkan anggaran yang lebih besar untuk membiayai pegawai mereka ataupun memperbanyak bantuan tunai bagi masyarakat miskin, dengan tujuan untuk memperkuat daya beli.
Heryunanto
Strategi mitigasi
Melihat dahsyatnya dampak laju inflasi yang melesat itu, sudah saatnya dilakukan mitigasi secepat mungkin agar akibat yang ditimbulkan tidak semakin parah. Kegagalan menekan laju inflasi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Karena itu, perlu langkah mitigasi melalui berbagai bauran kebijakan.
Pertama, perlu mengurangi pasokan uang yang beredar di masyarakat melalui kebijakan moneter yang lebih ketat dengan meningkatkan suku bunga acuan. Dengan menaikkan suku bunga acuan, pasokan likuiditas di pasar menjadi berkurang sehingga mengurangi konsumsi masyarakat dan sekaligus meredam permintaan kredit untuk sementara waktu.
Kedua, mengurangi ataupun menghentikan quantitative easing, yaitu pembelian surat berharga pemerintah oleh bank sentral di pasar perdana. Pada awal pandemi Covid-19, hampir semua bank sentral di dunia memberlakukan kebijakan tersebut guna melonggarkan kebutuhan likuiditas pemerintah untuk membiayai krisis kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Kegagalan menekan laju inflasi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Ketiga, meningkatkan tarif pajak untuk barang atau jasa tertentu guna menahan permintaan yang berlebihan. Kebijakan kenaikan pajak ini hanya bisa dilakukan untuk sementara waktu dan bersifat situasional, agar tidak memiliki dampak yang berkepanjangan.
Bank sentral di sejumlah negara telah melakukan mitigasi dengan menaikkan suku bunga acuan untuk merespons kenaikan angka inflasi yang mengancam ekonomi mereka. Beberapa hari lalu, bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,50 persen sehingga suku bunga acuan mereka sekarang berkisar 0,75-1,00 persen.
Bank sentral Inggris, Bank of England, juga telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 1 persen. Reserve Bank of Australia juga mengerek suku bunga acuan 0,25 persen, dari 0,10 persen menjadi 0,35 persen.
Di kalangan emerging economies, India melalui Bank of India juga telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,40 persen menjadi 4,40 persen. Di Brasil, Banco Central do Brazil, juga telah menaikkan suku bunga acuan mereka sebesar 1 persen ke level 11,75 persen.
Kita tunggu bagaimana Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia akan menyikapi perubahan suku bunga acuan yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia tersebut.
Agus Sugiarto Kepala OJK Institute