Saat ini banyak negara di dunia yang sudah mulai keluar dari tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sayangnya, dampak konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina merembet pada kenaikan harga komoditas global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi global yang dipicu oleh konflik geopolitik akan menjadi isu sentral dalam pembahasan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G20. Pasalnya, gejolak harga komoditas pangan dan energi bisa menjadi sumber masalah yang menghambat laju pemulihan ekonomi negara-negara di dunia dari dampak pandemi Covid-19.
Jalan keluar dari persoalan tersebut akan dicari dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Central (Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG) negara anggota G20 di Washington DC, Amerika Serikat (AS), yang berlangsung Rabu (20/4/2022) waktu setempat atau Kamis (21/4) dini hari waktu Jakarta.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, saat ini banyak sekali negara-negara di dunia yang sudah mulai keluar dari tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sayangnya, dampak konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina merembet pada kenaikan harga komoditas global yang mengganggu proses pemulihan ekonomi dunia.
Kondisi keuangan di banyak negara banyak yang mengalami tekanan. Sekarang begitu ada peluang untuk pulih, tren inflasi global membuat banyak negara-negara kecil ini kemudian malah membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi.
”Kondisi keuangan di banyak negara banyak yang mengalami tekanan. Sekarang begitu ada peluang untuk pulih, tren inflasi global membuat banyak negara-negara kecil ini kemudian malah membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi,” ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (20/4/2022).
Febrio menambahkan, negara anggota G20 yang pada dasarnya merupakan 20 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia punya perhatian terhadap kondisi negara lain. Stabilitas perekonomian dunia harus menjadi prioritas karena stabilitas satu negara dengan lainnya saling terkoneksi.
”Kalau terjadi pertumbuhan ekonomi yang baik di negara-negara kecil, itu akan berdampak baik juga bagi perekonomian negara-negara G20 secara umum dan Indonesia secara khusus,” kata Febrio.
Hingga berita ini ditulis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah dua hari berada di Washington. Selain menghadiri agenda pertemuan FMCBG G20 ke-2, Sri Mulyani telah melakukan pertemuan bilateral dengan mayoritas menteri keuangan negara anggota G20, salah satunya membahas dampak dari gejolak harga komoditas global.
Selain itu, Sri Mulyani juga menjadi panelis pada acara Tackling Food Insecurity: The Challenge and Call to Action, bersama dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen, Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalian Georgieva, Presiden Bank Dunia David Malpass, dan Presiden Dana Internasional Untuk Pengembangan Agrikultur (IFAD) Gilbert F Houngbo.
Dalam acara tersebut, Sri Mulyani menyerukan perlunya tindakan untuk mengatasi potensi terjadinya krisis ketahanan pangan sebagai dampak dari invasi militer Rusia di wilayah Ukraina.
Perang dan dampak ketegangan geopolitik telah memicu kenaikan harga komoditas energi dan pangan. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi secara dini, akan menimbulkan krisis pangan di negara-negara miskin dan rentan yang memiliki kapasitas fiskal yang terbatas.
Febrio menyampaikan, terdapat empat sesi utama dalam pertemuan FMCBG G20 ke-2. Sesi pertama adalah soal risiko ekonomi global, terutama dampak dari perang Ukraina-Rusia, khususnya soal dampak ekonominya terhadap banyak negara yang menjadi lebih berat.
Kondisi perekonomian Indonesia, lanjut Febrio, jauh lebih aman dibandingkan banyak negara lainnya. Inflasi di Indonesia masih bisa ditahan dan Pemerintah Indonesia memastikan pertumbuhan ekonomi bisa berjalan baik.
”Beberapa dampak dari gejolak harga komoditas dunia masih bisa kita serap sehingga tidak terlalu berdampak pada kelompok masyarakat miskin dan rentan. Jadi, walaupun ada kenaikan harga, kami pastikan kenaikan harga akan terbatas dan kita harapkan tetap dalam konteks kita bisa melindungi masyarakat miskin dan rentan,” tutur Febrio.
Sesi kedua adalah soal arsitektur kesehatan global. Negara-negara G20 berupaya menggalang kesepakatan bersama untuk menyiapkan persiapan global guna menghadapi pandemi di masa mendatang. Dengan begitu diharapkan dunia akan menjadi lebih siap jika nanti akan kembali terjadi kondisi pandemi seperti yang saat ini terjadi.
”Dalam konteks ini, negara-negara besar seperti anggota G20 mesti lebih siap secara strategis. Dengan demikian, kita membutuhkan kerja sama di sektor kesehatan yang lebih strategis dan menyiapkan arsitektur kesehatan global yang lebih siap ke depannya. Saat ini kita sudah mendapatkan dukungan dari hampir seluruh negara anggota G20,” ujar Febrio.
Sementara pada sesi ketiga akan dibahas juga terkait kondisi keuangan dari banyak negara, khususnya bagaimana negara-negara anggota G20 memberikan dukungan kepada negara-negara miskin. Hal ini terkait dengan restrukturisasi utang, khususnya untuk negara-negara dengan beban utang yang berat.
Adapun sesi keempat adalah agenda pembiayaan berkelanjutan. ”Di sini agenda besar Indonesia adalah mendorong bagaimana pembiayaan dari transisi energi. Ini kemudian yang kita dorong secara global dan juga nanti secara domestik bagaimana dunia bisa saling mendukung untuk melakukan transisi secara adil dan terjangkau,” kata Febrio.
Semua negara fokus pada inflasi yang tinggi. Ini akan menjadi isu diskusi yang sangat penting untuk disampaikan di dalam pertemuan.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo optimistis pemulihan ekonomi akan tetap berjalan meski dunia dihadapkan pada ancaman lonjakan inflasi. Sejalan dengan itu, tidak tertutup kemungkinan semua negara di dalam pertemuan FMCBG G20 tersebut akan lebih fokus membahas isu mengenai inflasi dan rembetan dinamika lainnya.
”Semua negara fokus pada inflasi yang tinggi. Ini akan menjadi isu diskusi yang sangat penting untuk disampaikan di dalam pertemuan,” kata Dody, akhir pekan lalu.
Ia menambahkan, pemerintah dan otoritas moneter Indonesia juga berkomitmen melakukan berbagai upaya dalam rangka mengendalikan inflasi sehingga tidak kehilangan momentum pemulihan ekonomi.