Presiden Joko Widodo optimisme tahun 2022 menjadi tahun kebangkitan dan pemulihan ekonomi pascapandemi. Ini didasarkan atas berbagai indikator ekonomi yang positif.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan semua pemangku kepentingan dunia ekonomi perlu mewaspadai potensi lonjakan inflasi di dalam negeri akibat kenaikan harga barang-barang impor atau imported inflation. Diperlukan kebijakan moneter yang adaptif, tetapi tetap bisa mendukung pemulihan ekonomi domestik.
”Semua negara termasuk Indonesia harus mewaspadai rembetan inflasi dari negara-negara lain. Inflasi domestik bisa terpicu naik akibat inflasi impor,” ujar Distinguished Professor of Finance University of Chicago Raghuram Rajan pada salah satu sesi diskusi dalam rangkaian acara ”Mandiri Investment Forum 2022: Recapturing the Growth Momentum”, di Jakarta, Rabu (9/2/2022).
Dalam kesempatan itu, hadir secara virtual sekitar 20.000 peserta seminar yang sebagian besar merupakan investor domestik dan investor asing dari 48 negara.
Raghuram menjelaskan, lonjakan inflasi di berbagai belahan dunia saat ini terjadi karena kenaikan permintaan tidak mampu diimbangi oleh jumlah pasokan. Pandemi Covid-19 selama dua tahun ini telah mendisrupsi rantai pasok global.
Pemulihan sektor riil atau dunia usaha yang memproduksi barang dan jasa (penawaran) tidak secepat pemulihan konsumsi rumah tangga (permintaan). Saat itulah hukum ekonomi berjalan sehingga harga-harga pun naik dan terjadi lonjakan inflasi.
Kondisi ini tentu akan berimbas pada perekonomian Indonesia, yakni melalui importasi barang. Harga barang impor yang melonjak akan memicu pula lonjakan inflasi di dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahun 2021 sebesar 1,87 persen. Adapun inflasi bulan Januari 2022 sebesar 0,56 persen. Tahun 2022, pemerintah dan Bank Indonesia menargetkan inflasi sebesar 3 persen plus minus 1 persen.
Raghuram mengapresiasi Indonesia yang masih mampu mengendalikan inflasi. Namun, ia mengatakan, pemerintah Indonesia pun perlu hati-hati dengan rembetan inflasi impor ini.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Dengan adanya kenaikan inflasi, bank sentral di seluruh dunia akan mengerem laju ekonomi dan mengendalikan inflasi dengan menaikkan tingkat suku bunga. Padahal, dunia usaha juga tengah memerlukan rangsangan bunga rendah untuk kembali berekspansi dan memulihkan perekonomian.
Kebijakan normalisasi moneter di sejumlah negara dunia dengan menaikkan suku bunga bisa menyebabkan arus keluar modal (capital outflow) di negara berkembang ke negara maju. Ini pun harus diantisipasi karena bisa menimbulkan gejolak nilai tukar mata uang serta sistem keuangan.
”Disinilah perlunya kebijakan moneter yang adaptif dan lincah merespons keadaan. Namun, tetap diperlukan kehati-hatian,” ujar Raghuram.
Kerja sama global
Profesor Ekonomi dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Danny Quah, mengatakan, selama kebijakan geopolitik tiap-tiap negara masih berintensi saling mengalahkan satu dengan yang lain, maka pasokan barang dan jasa akan tetap tidak seimbang dengan permintaan. Saat ini, lanjut Danny, yang perlu dilakukan ialah melakukan kerja sama global untuk saling membantu dan mengisi kebutuhan satu sama lain.
”Kebijakan geopolitik zero sum game inilah yang turut memicu disrupsi rantai pasok global. Negara-negara terpisah kubu-kubu dan kepentingannya. Dunia saat ini lebih membutuhkan kerja sama ketimbang kompetisi,” ujar Danny.
Peraih Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, mengatakan, pandemi telah membuka dan mengungkapkan betapa rentannya kerja sama negara-negara dunia. Alih-alih bersatu bersama mengalahkan pandemi global, ada saja negara-negara yang ingin bangkit sendiri dan enggan membantu negara lain. Padahal, kelak ketika pandemi usai, kerja sama antarnegara bisa memberikan dampak ekonomi yang saling menguntungkan.
Namun, lanjut Stiglitz, pandemi juga merekatkan hubungan antarnegara terutama di bidang kesehatan. Salah satunya soal kerja sama pasokan vaksin dari beberapa negara ke negara lainnya.
”Kita semua seharusnya fokus bagaimana menciptakan kerja sama global untuk mengatasi persoalan bersama ini,” ujar Stiglitz.
Pemulihan ekonomi
Meski dibalut berbagai tantangan, Presiden Joko Widodo kembali menegaskan optimismenya bahwa tahun 2022 merupakan tahun kebangkitan dan pemulihan ekonomi pascapandemi. Ini didasarkan atas berbagai indikator ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan keempat 2021 yang mencapai 5,02 persen secara tahunan.
”Tahun 2022 menjadi momentum pemulihan ekonomi. Tahun ini menyajikan peluang transformasi dan pemulihan ekonomi lebih baik dengan dorongan ekonomi hijau dan transformasi informasi teknologi,” ujar Presiden.
Presiden pun sadar pemulihan ekonomi dalam negeri akan dihadapkan tantangan eksternal dari gangguan rantai pasok global yang bisa memicu inflasi. Namun, pihaknya tetap optimistis melihat berbagai indikator ekonomi dalam negeri dalam kondisi positif.
Ia menambahkan, kunci pemulihan ekonomi adalah pengendalian jumlah kasus Covid-19 yang dibarengi dengan terus-menerus memperluasi vaksinasi massal. Selain itu pihaknya juga akan terus melakukan reformasi struktural untuk memberikan nilai tambah serta mempercepat pemulihan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kebijakan fiskal Indonesia akan fokus pada sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan fiskal akan terus beradaptasi dengan kebutuhan.
Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan, pihaknya juga berperan mendorong pemulihan ekonomi melalui penyaluran kredit yang menggairahkan kembali dunia usaha.