Memasuki usia 76 tahun, tantangan BIN semakin kompleks. Globalisasi dan transformasi geopolitik abad ke-21 termasuk kecanggihan teknologi informasi plus gerakan separatisme dan radikalisme masih terus ada.
Oleh
ILHAM PRASETYA GULTOM
·4 menit baca
Entah apa yang ada dalam benak Zulkifli Lubis saat dia diajak temannya untuk ikut serta latihan tentara yang diselenggarakan oleh Jepang untuk pemuda saat itu. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal adalah agar Zulkifli mempunyai pekerjaan dan bukan lagi seorang pengangguran.
Siapa sangka pilihan itulah yang kelak akan mengantarkannya menjadi Bapak Intelijen Indonesia, tentara dengan pangkat kolonel, sekaligus peletak dasar-dasar spionase Indonesia setelah merdeka. Kolonel Zulkifli Lubis menjadi Komandan Intelijen pertama yang memimpin Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani). Sejak Indonesia merdeka dari tahun 1945 hingga sekarang, organisasi intelijen negara telah berganti nama sebanyak enam kali, dimulai dari Brani, Badan Koordinasi Intelijen (BKI), Badan Pusat Intelijen (BPI), Komando Intelijen Negara (KIN), Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Intelijen negara merupakan lini pertama dalam sistem keamanan nasional yang mengemban peran dan fungsi pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional. Profesionalitas intelijen negara ditunjukkan dalam kesiapan dan kemampuan mengantisipasi berbagai ancaman, dan dengan cepat memberikan deteksi dini dan peringatan dini sebagai masukan bagi Presiden dalam merumuskan kebijakan keamanan nasional yang dibutuhkan.
Dalam sejarah organisasi intelijen di Indonesia, baru pada tahun 2011 wajah intelijen ”lebih terbuka” sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Sebagai lembaga negara non-kementerian, BIN berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Apalagi sejak Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No 73/2020 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), di mana Kemenko Polhukam tidak lagi mengoordinasikan BIN.
Memasuki usia 76 tahun, tantangan bagi BIN semakin kompleks. Globalisasi dan transformasi geopolitik abad ke-21 termasuk kecanggihan teknologi informasi plus gerakan separatisme dan radikalisme yang masih terus hadir di negeri ini. Usia boleh sepuh, tetapi BIN tetap dituntut energik untuk mampu menghadapi tantangan tersebut.
Rahasia dan tertutup
Intelijen bekerja dengan kerahasiaan dan ketertutupan. Secara strategis dan taktis mereka melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk mengamankan rakyat, bangsa, dan negara. Kerahasiaan informasi intelijen kerapkali menjadi persoalan dalam menilai keberhasilan kinerja intelijen dalam mengatasi ataupun mengungkap sebuah masalah di suatu negara.
Masyarakat umumnya menganggap bahwa keberhasilan intelijen dalam mengungkap sebuah masalah bisa dilihat dari kemampuannya memberikan informasi awal sebagai peringatan dini agar tidak menimbulkan kerugian ataupun masalah yang lebih besar. Namun, dalam pandangan sebagian masyarakat lainnya, kerahasiaan informasi intelijen haruslah memperhatikan asas transparansi dan akuntabilitas publik yang selaras dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang menjamin hak asasi dan transparansi publik.
Kerahasiaan informasi intelijen kerapkali menjadi persoalan dalam menilai keberhasilan kinerja intelijen.
Banyak pihak yang terkejut dan tidak menyangka saat Presiden Joko Widodo memerintahkan BIN untuk terlibat dalam membantu pengendalian penyebaran virus Covid-19 saat kasus pertama muncul di Indonesia pada Maret 2020. Merujuk kepada karakteristik penularan Covid-19 yang sangat mudah menyebar melalui kontak antarmanusia, upaya tracing dan surveillance menjadi salah satu tindakan efektif dalam menekan penyebaran virus tersebut di masyarakat. Pada kebutuhan tersebut, fungsi intelijen menjadi sangat vital karena mampu menelusuri dan mengidentifikasi kemungkinan sebaran dari setiap kluster baru.
Presiden berharap intelijen dapat bekerja secara silent tanpa mengundang kepanikan masyarakat yang dapat menimbulkan dampak turunan lebih besar. Pada prosesnya, BIN terlibat aktif untuk melakukan berbagai kegiatan dalam meminimalkan penyebaran Covid-19, seperti layanan swab massal, penyemprotan disinfektan, serta penelitian obat dan vaksin. Tentu saja kegiatan intelijen tersebut oleh sejumlah pihak dianggap sebagai sebuah penyalahgunaan wewenang atau abuse of power. BIN seharusnya hanya berperan sebagai penyampai informasi berbasis deteksi dini dan cegah dini, bukan ikut serta menjadi pelaksana kebijakan.
Dengan dukungan anggaran APBN 2022 sebesar Rp 10,5 triliun, tidak salah apabila masyarakat berharap banyak akan peningkatan kinerja dan profesionalitas BIN. Apalagi dari triliunan rupiah dana tersebut ada ratusan milliar rupiah untuk penggunaan di bidang intelijen siber (cyber intelligent).
Kesiapan menyongsong era Society 5.0 sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masih segar dalam ingatan, di tahun 2021 sewaktu kelompok hacker dari China Mustang Panda membobol sistim internal BIN. Hal ini tentu menjadi pelajaran mahal dan tidak boleh terulang lagi. Lemahnya sistem pengadaan keamanan siber yang masih mengandalkan jasa swasta mengakibatkan kerawanan dalam hal perpindahan data.
Untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), kegiatan intelijen negara harus bisa memenuhi kaidah akuntabilitas publik. Masyarakat berhak memperoleh informasi publik mengenai aktivitas intelijen tidak saja karena alasan intelijen negara menggunakan anggaran negara yang cukup besar, tetapi lebih dari itu, tuntutan untuk meningkatkan legitimasi kelembagaan dan kinerjanya di masyarakat juga cukup penting.
Ilham Prasetya Gultom, Advokat; Pemerhati Pertahanan.