Pembelajaran dari kajian intelijen ini, pertama, penggunaan intelijen untuk melestarikan rezim tak selalu mendatangkan hasil positif. Kedua, ambisi pelanggengan rezim melemahkan kemampuan intelijen atas ancaman keamanan.
Oleh
ASVI WARMAN ADAM
·4 menit baca
Buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto ( Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2022) merupakan bagian dari rangkaian kajian panjang yang telah dilakukan sejak tahun 2015 oleh Tim Kajian Keamanan Nasional, Pusat Riset Politik-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Buku ini membahas relasi kerja intelijen dengan pasang surut kekuasaan Soeharto, masa awal, masa konsolidasi dan masa akhir Orde Baru. Bagaimana perkembangan karakter intelijen ketika Soeharto menapaki kekuasaan, saat kekuasaan sudah stabil sampai ketika dilanda tantangan demokratisasi dan krisis ekonomi. Dengan demikian, akan didapat gambaran yang komprehensif tentang dinamika intelijen dengan kekuasan di era Orde Baru.
Terdapat empat lembaga yang menjadi komunitas intelijen era Orde Baru, yang berhubungan dengan pengendalian keamanan dan ketertiban (Kopkamtib yang berubah menjadi Bakorstranas tahun 1988), intelijen militer strategis, intelijen sipil, koordinasi dan operasi (KIN yang berubah menjadi BAKIN) dan intelijen nonformal seperti Opsus, Denpintel POM, Satsus Intel, dan lain-lain.
Buku ini juga membahas perkembangan komunitas intelijen tersebut dan kaitannya dengan end user Presiden Soeharto. Soeharto tidak hanya pengguna akhir informasi intelijen, tetapi juga pelaksana utamanya pada periode genting. Ia menjadi Pangkopkamtib tahun 1965-1969 dan kembali mengambil alih jabatan tersebut tahun 1974-1978 setelah terjadi peristiwa Malari 1974.
Pada periode awal Orde Baru 1965-1971, yang dilakukan Soeharto adalah melakukan desoekarnoisasi, penggalangan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan Soekarno melalui Tritura (Bubarkan PKI, Bersihkan Kabinet Dwikora, Turunkan Harga). Kegiatan mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dilakukan secara diam-diam oleh tim Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Murtopo. Setelah memperoleh Supersemar, Soeharto membubarkan PKI, menangkap 15 menteri yang loyal kepada Soekarno, membubarkan pasukan pengawal Presiden Tjakrabirawa, dan mengontrol pers.
Ketika kriminalitas meningkat, maka diatasi dengan melakukan petrus (penembakan misterius) tahun 1982-1985.
Yang tidak banyak diketahui adalah peran penting intelijen Indonesia dalam Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat tahun 1969. Untuk mengamankan Pemilu 1971, sebanyak 11.000 tapol golongan B dibuang ke Pulau Buru (1969-1979).
Pada periode kedua (1971-1988), keamanan sudah terkendali. Untuk menyetop berita yang tidak disukai, penguasa cukup dengan menelpon pemimpin redaksi koran. Yang diintensifkan adalah mesin pemenangan pemilu yang dilakukan secara berkala dan intervensi terhadap partai politik.
Ketika kriminalitas meningkat, maka diatasi dengan melakukan petrus (penembakan misterius) tahun 1982-1985. Muncul kembali pergolakan di Aceh dan Irian Jaya. Namun, kekerasan yang terjadi di kedua daerah ini tidak bisa disamakan dengan Timor Timur. Karena pada dua daerah tersebut adalah untuk mempertahankan wilayah NKRI, sedangkan di Timor Timur yang terjadi adalah perluasan wilayah NKRI (walau akhirnya lepas lagi tahun 1999).
Terkait dampak penggabungan Timor Timur ada kegiatan intelijen yang tidak dimasukkan dalam buku ini. Kritik Kongres Amerika Serikat sangat tajam terhadap kasus Timor Timur. Bagaimana cara meredamnya? Ketika itu ribuan manusia perahu dari Vietnam mulai membanjiri Kepulauan Riau. Soeharto memberi perintah langsung kepada Benny Murdani di lapangan golf Rawamangun untuk mengatasi hal ini. Eksodus besar-besaran itu terjadi karena AS meninggalkan Vietnam tahun 1975.
Indonesia menyediakan Pulau Galang untuk menampung dan memproses para pengungsi itu sebelum diberangkatkan menuju negara penerima (1979-1996). Pembiayaan dari lembaga internasional UNHCR. Para anggota Kongres yang mengkritik Indonesia soal Timor Timur dibawa ke Pulau Galang dan menyaksikan sendiri proses yang dilakukan Indonesia secara manusiawi.
Periode terakhir 1988-1998 masih terjadi kasus yang menyangkut kelompok Islam garis keras yang ditumpas di Talangsari, Lampung. Namun, pada periode mulai terjadi ”pecah kongsi” intelijen. Yoga Sugama menyarankan Soeharto tidak melanjutkan kekuasaan, cukup sampai situ saja. Sementara itu, Benny Murdani menyampaikan kritik masyarakat terhadap bisnis putra-putri Presiden. Keduanya dipinggirkan Soeharto. Para penggantinya masih terus berupaya mempertahankan rezim pemerintahan. Krisis moneter yang terjadi tahun 1997 berubah menjadi krisis multidimensi. Pada titik inilah akhirnya Soeharto berhenti sebagai Presiden Indonesia.
Pembelajaran dari kajian ini: pertama, penggunaan intelijen untuk melestarikan rezim tidak selamanya mendatangkan hasil positif bagi kekuasaan itu sendiri. Kedua, ambisi pelanggengan rezim itu sendiri pada gilirannya akan melemahkan kemampuan intelijen dalam mengerjakan tugas utama, yaitu melakukan deteksi dini terhadap ancaman keamanan nasional.
Terdapat beberapa fakta yang keliru dalam buku ini. Misalnya disebutkan M Panggabean sebagai salah seorang jenderal yang datang ke Bogor untuk menerima Supersemar (hlm 36), Sekjen Komite Aksi Pengganyangan Gestapu dikatakan dari Muhammadiyah (hlm 70) yang benar adalah Harry Tjan Silalahi (Katolik).
Terlepas dari kekeliruan kecil tersebut, buku sudah menggambarkan dengan baik perkembangan intelijen era Orde Baru.
Terlepas dari kekeliruan kecil tersebut, buku sudah menggambarkan dengan baik perkembangan intelijen era Orde Baru. Tentu saja aktor utama terpusat pada Jenderal Soeharto. Seperti analisis Soebandrio, berasal dari Kodam Diponegoro terdapat dua trio yang berbeda. Pertama, trio yang digagalkan (Soeharto, Untung, dan Latief) dan trio yang dipakai seterusnya (Soeharto, Yoga Sugama, dan Ali Murtopo). Naiknya Soeharto adalah karena keberhasilan menghancurkan G30S yang dipimpin Untung dan Latief. Yoga dan Ali berjasa membantu Soeharto menata dan menggerakkan komunitas intelijen pada awal Orde Baru. Ketika Soeharto berhenti tahun 1998, keduanya (ditambah Benny Murdani) tidak bersama lagi.
Asvi Warman Adam,Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik BRIN
Judul Buku : Intelijen dan Kekuasaan Soeharto
Penulis: Tim Kajian Keamanan Nasional, Pusat Politik-BRIN
Editor : Diandra Megaputri Mengko
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta