Mesin perang, baik senjata maupun manusia di balik senjata, tak kenal belas kasihan. Semua pihak dengan cara masing-masing harus berusaha agar perang ini berhenti secepatnya. Cara termurah tentu melalui jalan diplomasi.
Oleh
YONKY KARMAN
·4 menit baca
Francis Fukuyama, ilmuwan politik Amerika, memandang perang Rusia- Ukraina sebagai titik balik penting dalam sejarah dunia. ”A critical turning point in world history… definitively marks the end of the post-cold war era, a rollback of the ’Europe whole and free’ that we thought emerged after 1991, or indeed, the end of The End of History” (Financial Times, 4/3/2022).
Perang itu secara definitif menandai berakhirnya era pasca-Perang Dingin, membuyarkan mimpi Eropa yang satu, bebas, dan berbasis demokrasi liberal, kembalinya geopolitik era Perang Dingin, akhir dari Akhir Sejarah.
Gagasan ”Europe whole and free” pertama kali dicetuskan Presiden AS George HW Bush, 31 Mei 1989, dalam pidatonya di depan rakyat dan pemimpin Jerman (termasuk Kanselir Helmut Kohl). Seperti nubuat yang terpenuhi, era Perang Dingin (1947-1991) berakhir dengan runtuhnya Tembok Berlin (9 November 1989) dan bubarnya Uni Soviet, republik terluas di dunia kala itu (31 Desember 1991).
Ada optimisme dunia pasca-Perang Dingin akan damai dan bebas. Fukuyama merayakan optimisme itu sebagai kemenangan bentuk pemerintahan demokrasi liberal dan sistem kapitalisme pasar bebas (The End of History and the Last Man, 1992), ”The end of history would mean the end of wars” (hlm 311).
Tesis Fukuyama, merujuk filsafat sejarah dari Hegel, penggerak utama sejarah adalah tuntutan universal individu agar martabatnya diakui, bukan sains modern atau dorongan ekonomi. Tesis itu nyaris tak terbantahkan dengan sempat maraknya gerakan demokrasi sebagai fenomena global, AS jadi polisi dunia, Rusia bukan lagi musuh Barat. Namun, tesis itu terbantahkan hari-hari ini.
Tesis itu sendiri menuai polemik intelektual. Samuel Huntington, ilmuwan politik AS, mantan dosen Fukuyama, memandang paradigma biner Barat-Timur terlalu sederhana dan tak mampu menjelaskan sebagian besar realitas politik global pasca-Perang Dingin.
Alih-alih konflik ideologis, konflik besar masih akan berlangsung dalam bentuk benturan antarperadaban (Financial Times, 1993).
Di antara ketujuh peradaban tersebut, Islam dan Konfusianisme berpotensi sebagai penantang dominasi Barat pasca-Perang Dingin.
Ada gerakan kuat untuk kembali ke akar budaya dalam peradaban-peradaban non-Barat tanpa berusaha jadi Barat (bukan imperialisme peradaban). Tujuh (mungkin delapan) peradaban dominan dunia pun dipetakan: Barat, Konfusianisme, Jepang, Islam, Hindu, Slavika Ortodoks (Rusia), Amerika Latin, dan mungkin juga Afrika (The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, 1996).
Di antara ketujuh peradaban tersebut, Islam dan Konfusianisme berpotensi sebagai penantang dominasi Barat pasca-Perang Dingin. Tragedi 9/11 (2001) dan kebangkitan China sebagai penantang hegemoni AS meneguhkan tesis Huntington, tetap sulit menjelaskan perang sekarang sebagai benturan antarperadaban.
Jacques Derrida (1993), filsuf Perancis, mengkritik optimisme Barat pasca-Perang Dingin sebagai terburu-buru, ”euforia demokrasi liberal dan ekonomi pasar” (Specters of Marx, 1994:69), bahkan ”mania” (h 64, 85, 87, 97). Pudarnya komunisme hanya sebuah narasi dari banyak versi komunisme.
Keliru menganggap komunisme telah berakhir. Hantu-hantu Marx masih gentayangan apakah dalam bentuk dominasi partai komunis (China) atau kepemimpinan autokrat (Rusia), dengan merengkuh kapitalisme, tetapi tak menjadikan demokrasi liberal sebagai urat nadi politik. Pengakuan atas martabat individu masih jauh dari kenyataan. Penampakan hantu itu membangunkan Barat dari ilusi Perang Dingin sudah berakhir.
Politik martabat
Demokrasi dan kapitalisme memang bukan pasangan sehidup semati. Pasar bebas di dalam negeri bisa dijinakkan oleh kapitalisme negara di China. Singapura menjadikan kapitalisme Barat sebagai kiblat ekonomi tanpa mengadopsi demokrasi liberal.
Bahkan, tanpa pijakan karakter dan budaya bangsa, demokrasi bisa menjadi eksperimen gagal dan menghasilkan autokrat atau diktator militer.
Beberapa pemimpin dunia yang terpilih secara demokratis justru mengusung nasionalisme populis dan politik identitas, menyebabkan demokrasi mati (Levitsky dan Ziblatt, How Democracies Die, 2018). Terkejut dengan tampilnya Trump sebagai presiden di negara kampiun demokrasi, Fukuyama mempersempit tesisnya dengan tetap meyakini demokrasi adalah solusi terbaik bagi hasrat primordial individu agar martabatnya diakui (Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, 2018).
Demokrasi dan kapitalisme memang bukan pasangan sehidup semati.
Perang Rusia-Ukraina tak bisa dilepaskan dari nasionalisme Rusia dengan tiga komponennya: ortodoksi (Gereja Ortodoks Rusia), otokrasi, dan nasionalisme (narodnost). Bermula dari integrasi Crimea (bagian dari Ukraina, tetapi lebih separuh penduduknya etnis Rusia) ke wilayah Rusia, perang di semenanjung itu berlangsung sebulan (Februari-Maret 2014), sukses tanpa dampak global meski aneksasi itu tak diakui PBB.
Genap delapan tahun kemudian, 24 Februari 2022, mesin perang Rusia kembali melakukan operasi militer, tetapi kini di luar kalkulasi semua pihak. Perang kali ini benar-benar brutal, dengan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang tak dapat ditoleransi nalar Barat dan sekutunya.
Jutaan gelombang pengungsi (sebagian besar perempuan dan anak-anak) menjadi beban negara-negara lain. Infrastruktur peradaban manusia dan puluhan situs budaya yang sudah berabad-abad hancur dalam sekejap. Belum selesai dengan dampak ekonomi pandemi, kini dampak perang. Harga pangan dan energi melambung.
Negara-negara miskin terutama paling menderita. Kelaparan hingga instabilitas negara di depan mata.
Lepas dari pro-kontra keberpihakan, jelas dalam perang ini ada pihak yang terpaksa membela diri (just war) dan pihak yang membenarkan diri (justified war). Mesin perang, baik senjata maupun manusia di balik senjata, tak kenal belas kasihan. Perang memang bukan politik martabat. Naluri politik bangsa beradab tak bisa netral berhadapan dengan kekejian perang. Semua pihak dengan cara masing-masing harus berusaha agar perang ini berhenti secepatnya. Cara termurah tentu jalan diplomasi.
Yonky Karman Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta