Motif iredentisme Rusia juga tampak pada invasi Georgia 2008 maupun invasi Ukraina 2014 dan 2022. Di Georgia, invasi dilakukan dengan dalih melindungi minoritas Rusia di Abkhazia dan Ossetia Selatan. Di Ukraina, untuk melindungi minoritas Rusia di Donbas dan Krimea. Demikian pula klaim historis Putin yang menyebut Ukraina dan Rusia adalah “rakyat yang satu”, merujuk ke era Kievan Rus di abad pertengahan, yang menjadi cikal-bakal kedua negara, serta era Ukraina berada di bawah Imperium Rusia.
Baca juga: Iredentisme di Ukraina
Namun, faktor masalah Rusia-Ukraina lainnya yang krusial adalah rivalitas antara Amerika Serikat dan Rusia. Kedua negara adalah kekuatan besar global yang memiliki nilai-nilai politik dan kepentingan geopolitik yang berbenturan di Eropa.
Invasi Rusia ke Ukraina sesungguhnya hanya bagian dari "big picture" kontestasi geopolitik antara AS plus sekutunya, melawan Rusia, di "halaman depan" Rusia. Rivalitas ini tercantum secara jelas di dokumen strategi keamanan nasional mereka masing-masing.
Dokumen Strategi Keamanan Nasional Rusia edisi terbaru (2021) dan edisi sebelumnya (2015) menyebutkan bahwa "pelaksanaan kebijakan Rusia mendapat tantangan dari Amerika Serikat dan sekutunya yang ingin mempertahankan dominasi mereka dalam politik internasional, dan menyudutkan Rusia di bidang politik, ekonomi, militer, dan informasi." Dokumen tersebut juga menyatakan bahwa ekspansi NATO, pembangunan kekuatan dan kegiatannya di dekat perbatasan Rusia, adalah ancaman bagi kepentingan nasional Rusia.
Ekspansi NATO, pembangunan kekuatan dan kegiatannya di dekat perbatasan Rusia, adalah ancaman bagi kepentingan nasional Rusia.
Di dalam dokumen edisi terbaru, dibahas pula aspek kultural keamanan nasional Rusia, bahwa kedaulatan budaya/nilai-nilai tradisional Rusia, sedang diancam Barat melalui Westernisasi dan upaya menyudutkan Rusia dengan penafsiran ulang terhadap sejarah.
Sebaliknya, di pihak AS, Dokumen Strategi Keamanan Nasional AS edisi terkini (2017) menyebutkan bahwa Rusia bertujuan melemahkan pengaruh AS di dunia, dan memisahkan AS dari para sekutu dan mitranya. Rusia menganggap NATO dan Uni Eropa sebagai ancaman. Di dalam dokumen tersebut, AS melihat Rusia dan China sebagai "kekuatan revisionis" terhadap tatanan internasional, yang ingin membentuk dunia yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingan AS.
Rusia verus tatanan dunia liberal
Ekspansi NATO ke Eropa Timur pasca-Perang Dingin berjalan seiring dengan ekspansi Uni Eropa. Keduanya adalah instrumen politik "tatanan dunia liberal" Barat yang dipimpin AS.
Dalam artikel Brookings Institute "Europe whole and free: why NATO's door must remain open" menyambut 70 tahun NATO, Molly Montgomery menyebut bahwa NATO menjadi aliansi militer tersukses dalam sejarah, karena tidak sekadar kekuatan militer, namun juga "melindungi kebebasan, warisan peradaban bersama negara-negara anggotanya, yang berasaskan demokrasi, kebebasan individu dan rule of law." Oleh karena itu perkara NATO tidak hanya soal militer dan geopolitik, namun juga nilai-nilai politik.
Sebaliknya, Rusia memperkenalkan istilah "demokrasi berdaulat" (suverennaya demokratiya) sebagai antitesis demokrasi liberal Barat. Istilah ini diperkenalkan pada tahun 2006 oleh politisi Partai Rusia Bersatu yang dekat dengan Putin dan pernah menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Rusia 2011-2013, Vladislav Surkov.
Rusia memperkenalkan istilah "demokrasi berdaulat" ( suverennaya demokratiya) sebagai antitesis demokrasi liberal Barat.
Putin sendiri menyatakan bahwa demokrasi harus disesuaikan dengan kebutuhan Rusia, dan Barat tidak perlu mengajari Rusia berdemokrasi. Ini menunjukkan bahwa Rusia di bawah Putin tidak hanya menentang ekspansi NATO, namun juga ekspansi tatanan dunia liberal Barat. Intinya, Putin menolak hegemoni AS pasca-Perang Dingin.
Atas dasar ini pula, Rusia mencurigai revolusi demokrasi yang didukung AS yang terjadi di Georgia dan Ukraina, sebagai langkah awal yang pada akhirnya bisa berefek domino terhadap Rusia. Apalagi saat kedua negara tersebut mendapat kelancaran proses aksesi NATO dengan menerima Membership Action Plan pada tahun 2008, suatu langkah yang saat itu langsung diprotes Putin, bahwa upaya NATO memasukkan Ukraina dan Georgia sudah “melampaui garis batas”.
Pernyataan Putin inilah yang kemudian dibahas oleh Prof John Mearsheimer, yang menyebut invasi Rusia atas Ukraina pada tahun 2014 sebagai "delusi liberal yang memprovokasi Putin". Oleh karena itu, ekspansi NATO sebagai ancaman bagi Rusia, sudah tegas tercantum di dokumen resmi Rusia serta ditegaskan oleh Putin sendiri.
Jelang invasi Rusia atas Ukraina 2022, Putin sekali lagi menyatakan bahwa AS ingin menangkal Rusia dengan menggunakan Ukraina, dan menegaskan bahwa keanggotaan Ukraina dalam NATO akan melemahkan keamanan Rusia.
Pada suatu demonstrasi Euromaidan di Kyiv pada akhir tahun 2013, Senator AS, John McCain, hadir mendukung demo tersebut, menyalami para demonstran Ukraina dan berkata,"We are here to support your just cause." ("Kami berada di sini untuk mendukung perjuangan mulia kalian.")
Seperti kita ketahui, demonstrasi tersebut menentang pembatalan proses aksesi Uni Eropa yang dilakukan oleh Presiden Ukraina saat itu yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Proses aksesi NATO Ukraina pun digantungnya. Ketika Yanukovych dilengserkan, Putin pun bereaksi dengan aneksasi Rusia terhadap Donbas dan Krimea.
Saat awal ekspansi NATO dilakukan pada dekade 1990-an, politik domestik dan ekonomi Rusia sedang krisis di bawah pemerintahan Boris Yeltsin yang dekat dengan Barat. Hubungan AS-Rusia mesra di era Yeltsin. Rusia pun menjadi anggota program NATO, Kemitraan untuk Perdamaian.
Naiknya Putin sebagai Presiden Rusia menggantikan Yeltsin, menandai era baru Rusia yang menguat, menjadi kritis dan asertif terhadap AS sebagai adidaya tunggal, dan mengubah hubungan kedua negara dari kolaborasi menjadi kompetisi.
Baca juga: Prahara di Ukraina, Laba di Amerika
Visi Putin adalah pemulihan politik, ekonomi, dan geostrategi Rusia dari keruntuhan Uni Soviet. Putin ingin mempertahankan status Rusia sebagai kekuatan regional, global, dan kekuatan nuklir. Bagi Rusia, Ukraina juga memiliki nilai strategis tersendiri, sebab lokasinya yang menguasai sebagian besar wilayah tepi Laut Hitam.
Politik luar negeri Rusia berdasarkan persepsi bahwa Rusia menghadapi ancaman AS dan sekutu Baratnya, adalah salah satu sumber utama legitimasi kekuasaan Putin. Baginya, ini adalah isu regime survival.
Faktor iredentisme, rivalitas dengan AS, serta nilai strategis Ukraina, adalah satu kesatuan tak terpisahkan yang menjadi perspektif Rusia dalam memandang Ukraina.
Andre Avizena Sigit, Alumnus Strategic Studies, University of Aberdeen, Inggris, dengan Fokus Penelitian Kebijakan Strategis Rusia