Iredentisme di Ukraina
Faktor sejarah dan ideologi merupakan faktor utama dalam situasi Ukraina sekarang ini, bukan soal ekspansi NATO dan EU. Terlebih lagi adanya pandangan bahwa ini adalah upaya kalibrasi geopolitik dunia.

Pada 2014, Prof John Mearsheimer dari Universitas Chicago, pencetus teori offensive realism menyatakan bahwa sikap Rusia terhadap Ukraina adalah akibat ekspansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Uni Eropa (UE) ke Eropa Timur.
Teori ini dinilai terlalu sederhana dan bahkan banyak kesalahan fakta, terutama salah baca sejarah Eropa. Teori yang dibahas pakar dunia delapan tahun lalu itu kini baru berkembang di Indonesia. ”It is better late than never” (lebih baik terlambat daripada tidak pernah), tampaknya.
Di Eropa, benua yang selalu diwarnai dengan perang perebutan wilayah dan kekuasaan sejak sebelum Masehi hingga hari ini, pandangan dalam melihat situasi di Ukraina sangat berbeda dari teori Prof Mearsheimer. Bagi negara-negara Eropa, persoalannya bukan soal ekspansi NATO atau UE, melainkan apabila Ukraina jatuh, siapa yang selanjutnya akan menjadi sasaran serangan: negara-negara Baltik? Finlandia? Swedia? Polandia? Jerman? Georgia? Moldova?
Teori yang dibahas pakar dunia delapan tahun lalu itu kini baru berkembang di Indonesia.
Lima hal
Dari diskusi dengan berbagai ahli sejarah Eropa, terdapat lima hal yang melatarbelakangi serangan Rusia ke Ukraina.
Pertama, visi Presiden Putin tentang Rusia yang seharusnya, yaitu historic Russia, di mana Ukraina adalah wilayah administratif dari Rusia. Dalam artikel berjudul ”On the Historical Unity of Russians and Ukrainians”, Presiden Putin menyatakan bahwa ”Russians and Ukrainians were one people – a single whole” sehingga baginya Ukraina seharusnya menjadi bagian dari Rusia.
Pemikiran ini dipengaruhi oleh tiga tokoh pemikir Rusia: Vladislav Surkov, Ivan Ilyin, dan Alexandre Dugin. Surkov adalah tokoh yang membawa narasi ”There is no Ukraine”. Ilyin, tokoh antikomunis yang meninggal di Swiss tahun 1954, membawa narasi bahwa Rusia seharusnya menjadi ”Christian authoritarianism” yang mempertahankan traditional autocracy dengan wilayah historic Russia.
Baca juga : Bara di Ukraina
Dugin yang mengajukan pemikiran ”Fourth Political Theory”, penggabungan antara demokrasi, marxisme, dan fasisme, mengusulkan tiga strategi memerangi liberal postmodernity dan Atlanticsim, yaitu (1) destabilisasi proses politik internal AS; (2) mendorong Inggris keluar dari UE; dan (3) aneksasi Ukraina.
Kedua, sejarah Rusia mengajarkan kita adanya undersiege mentality, di mana sebagai negara dengan wilayah yang sangat luas, Rusia selalu diancam atau merasa diancam oleh kekuatan asing, misalnya oleh Mongolia (Batu Khan, cucu Genghis Khan), Lituania, Polandia, Swedia, Napoleon, Kekaisaran Ottoman, Persia, Austro-Hongaria, Nazi Jerman, dan kini Amerika Serikat (AS).
Ketiga, Rusia selalu dipimpin oleh strong ruler sejak zaman Tsar ”Ivan the Terrible”, kecuali pada masa Presiden Boris Yeltsin. Hal ini menimbulkan tantangan dalam diskursus publik tentang peran suatu negara pada tingkat nasional, regional, dan global. Terlebih lagi apabila terdapat pengekangan terhadap kemerdekaan berkumpul, berbicara, dan media.

Didie SW
Keempat, terdapat miskalkulasi terhadap kondisi AS dan UE serta faktor Turki. Pada saat Rusia melakukan invasi terhadap Georgia, 8 Agustus 2008 (peristiwa 080808), Barat hanya mengirimkan tim dari OSCE dan membekukan perang.
Dalam perang terhadap Chechen, Barat juga tidak bereaksi. Hal yang sama dengan aneksasi Crimea pada 2014, ketika AS dan Jerman bahkan melarang pemberian bantuan militer ke Ukraina. Dalam penembakan pesawat MH-17 di atas Donetsk oleh tentara Rusia yang menewaskan 283 orang, termasuk 12 warga negara Indonesia (WNI), juga tidak ada reaksi keras dari Barat. Pada saat kota Aleppo dibumihanguskan pun, reaksi Barat tidak terlalu jelas.
Sementara itu, AS mengalami perpecahan internal sejak Donald Trump masuk dunia politik. AS gagal di Afghanistan. UE tidak bersatu dengan AS, dan di dalam UE terdapat Jerman yang dinilai sangat dekat dengan Rusia. AUKUS (Australia, Inggris, dan AS) vs Perancis juga dinilai sebagai perpecahan Barat. NATO kehilangan peran dan dinyatakan brain dead oleh Presiden Macron. Secara menyeluruh UE dinilai naif, di mana UE menyerahkan keamanan Eropa kepada AS dan pasokan migas dari Rusia.
Turki memiliki kepentingan stabilitas kawasan Timur Tengah sehingga diperkirakan tidak akan bereaksi apabila dilakukan invasi ke Ukraina.
Di Indonesia, banyak yang lupa bahwa Turki, negara Muslim dan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), adalah anggota NATO. Turki memiliki kepentingan stabilitas kawasan Timur Tengah sehingga diperkirakan tidak akan bereaksi apabila dilakukan invasi ke Ukraina. Faktanya, senjata Turki berupa drone Bayraktar kini sangat populer di Ukraina dan bahkan dibuat lagu rakyat Ukraina ”Bayraktar” oleh musisi Taras Borovok.
Kondisi-kondisi inilah yang menimbulkan keyakinan bahwa serangan invasi terhadap Ukraina juga akan mendapatkan reaksi yang sama dengan peristiwa-peristiwa sejak 2008 (14 tahun lalu), jauh sebelum teori Prof Mearshemier, yang kini banyak dianut di Indonesia, dilontarkan.
Kelima, miskalkulasi terhadap Ukraina. Ukraina yang memiliki anggaran belanja militer 5,9 miliar dollar AS—sangat jauh dibandingkan dengan Rusia, yaitu 62 miliar dollar AS—serta diperkirakan tak akan mendapatkan bantuan asing dan akan dikuasai dalam waktu hari, bahkan dikatakan hanya tiga hari.
Baca juga : Ukraina Bersedia Jadi Negara Netral
Berhasilkah?
Dari tiga indikator hingga hari ini, tampaknya tujuan awal invasi Rusia tidak tercapai.
Pertama, Ukraina, yang luasnya empat kali Pulau Jawa, tidak jatuh dalam tiga hari. Resistansi rakyat Ukraina dinilai di luar perkiraan oleh Barat sekalipun. Tawaran AS kepada Presiden Zelenskyy untuk lari dari Ukraina dijawab dengan lugas ”I don’t need ride, I need ammunition.”
Kedua, upaya menunjukkan kekuatan militer kelas dunia tampaknya tidak berhasil. Bangkai ratusan tank T72 dan T80 dan ribuan kendaraan pengangkut personel Rusia menjadi saksi. Terlebih lagi dengan misteri tenggelamnya kapal perang Moskva di Laut Hitam. Deja vu Afghanistan.
Ketiga, rakyat Finlandia dan Swedia yang selama 70 tahun menolak menjadi anggota NATO kini berbalik mendesak pemerintahnya untuk segera menjadi anggota NATO dalam hitungan minggu. NATO yang brain dead kini justru mendapatkan semangat baru.

UE yang ragu terhadap keanggotaan Ukraina kini sangat terbuka untuk menerima Ukraina sebagai anggota baru. Kerja sama trans-Atlantik yang hancur semasa Trump kini semakin kuat. Jerman yang awalnya dinilai pro-Rusia kini memiliki kebijakan yang sangat berbeda. Bahkan kini anggaran militer Jerman menjadi ketiga terbesar di dunia, dari hanya 52 miliar dollar AS menjadi 115 miliar dollar AS.
Kalibrasi geopolitik dunia
Faktor sejarah dan ideologi merupakan faktor utama dalam situasi Ukraina sekarang ini, bukan soal ekspansi NATO dan UE. Terlebih lagi adanya pandangan bahwa ini adalah upaya kalibrasi geopolitik dunia.
Produk domestik bruto (PDB) AS, UE, Inggris, Jepang, Australia, dan Turki total adalah 47 triliun dollar AS, sedangkan PDB Rusia hanya 1,4 triliun dollar AS. Angka yang terlalu kecil untuk modal mengalibrasi geopolitik dunia yang sangat dipengaruhi geoekonomi. Bahkan PDB Rusia hanya separuh dari PDB ASEAN, yaitu 3 triliun dollar AS.
Kerja sama tanpa batas dengan China pun berpotensi bermasalah karena faktor PDB China 14 triliun dollar AS (sepuluh kali lipat PDB Rusia); perbandingan anggaran militer China sebesar 175 miliar dollar AS atau hampir tiga kali lipat anggaran militer Rusia dan kekuatan jumlah penduduk yang sangat jauh merupakan kemitraan yang tidak seimbang.
Apalagi masih terdapat pandangan bahwa Konvensi Beijing 1860 yang menyerahkan wilayah China di Siberia kepada Rusia dinilai tidak adil. Waktu itu China dalam posisi lemah dan Rusia sangat kuat. Kini China amat sangat kuat.
Faktor sejarah dan ideologi merupakan faktor utama dalam situasi Ukraina sekarang ini, bukan soal ekspansi NATO dan UE.
Penyikapan kita
Serangan Rusia terhadap Ukraina sejatinya adalah upaya penguasaan wilayah oleh satu negara berdaulat kepada negara berdaulat lain atas klaim sejarah atau legenda. Ini iredentisme, suatu budaya yang tumbuh dan berkembang di Eropa, yang sangat berbahaya apabila kembali digunakan di abad ke-21.
Bayangkan apabila Belanda, Portugis, atau Inggris tiba-tiba menyatakan akan kembali berkuasa ke Indonesia karena selama ratusan tahun Indonesia pernah dikuasai mereka. Atau Indonesia mengklaim semua wilayah Sriwijaya dan Majapahit di Asia Tenggara, atau sebaliknya, ada negara yang mengklaim seluruh isi Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Natuna dan Anambas, sebagai miliknya atas dasar sejarah.
Berdasarkan Alinea 1 dan 4 Mukadimah UUD 1945, Piagam PBB, dan hukum internasional yang berlaku, suatu serangan militer atau invasi negara berdaulat kepada negara berdaulat lain, apa pun alasannya, merupakan pelanggaran prinsip dasar politik luar negeri RI serta hukum internasional.
Kurang jelas apa lagi sikap konstitusi kita.
Kita perlu kembali ke prinsip dasar, back to basic, agar tidak mudah dikaburkan oleh kabut perang dan analisis-analisis subyektif yang tidak berakar pada pemahaman sejarah yang komprehensif.
”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Kurang jelas apa lagi sikap konstitusi kita. Invasi, ya, invasi, katakan dan pahami apa adanya.
Arif Havas Oegroseno, Presiden Sidang UNCLOS 1982 Ke-20 2010

Arif Havas Oegroseno