Larangan Ekspor CPO dan Potensi Indonesia Digugat di WTO
Berlakunya Permendag Nomor 22/2022 terkait larangan sementara ekspor produk sawit menimbulkan potensi Indonesia digugat oleh negara anggota WTO. Indonesia harus memiliki argumentasi hukum yang kuat soal permendag itu.
Oleh
KANA KURNIA
·5 menit baca
Pada 26 April 2022, harian Kompas menerbitkan berita dengan tajuk yang berjudul ”Larangan Ekspor Terbatas pada RBD Olein dan Minyak Goreng”. Di berita tersebut termuat bahwa Presiden Joko Widodo membuat pengumuman untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng yang secara resmi mulai berlaku 28 April 2022. Alasan pemerintah memberlakukan kebijakan tersebut adalah untuk memastikan kebutuhan dalam negeri tercukupi.
Munculnya larangan ekspor ini berawal dari Februari 2022. Pada saat itu terjadi kelangkaan minyak goreng di pasaran dan pemerintah mengeluarkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng dengan harga Rp 14.000 per liter. Namun, kebijakan HET tersebut membuat kelangkaan minyak goreng semakin menjadi-jadi sehingga pemerintah mencabut kebijakan itu. Terkait hal ini, Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka ekspor CPO, yang salah satunya adalah pejabat Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan.
Kisruh kelangkaan minyak goreng yang tak terselesaikan tersebut membuat pemerintah pada 28 April 2022 mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorize Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein and Used Cooking Oil.
Sebagian masyarakat mungkin akan menyambut gembira dengan adanya permendag tersebut karena diharapkan kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri akan tercukupi dan harga jual minyak goreng curah di pasaran bisa menjadi murah, yakni maksimal Rp 14.000 per liter. Namun, di sisi lain permendag tersebut berpotensi menggerus pendapatan petani sawit dan penerimaan negara. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2022, Indonesia adalah eksportir terbesar minyak sawit dunia dengan nilai ekspor mencapai 17,36 miliar dollar AS di tahun 2020.
Prinsip-prinsip perdagangan internasional
Timbul pertanyaan, apakah Permendag No 22/2022 terkait larangan ekspor bahan baku minyak goreng tersebut sudah tepat apabila ditinjau dari prinsip-prinsip perdagangan internasional?
Sebagai salah satu pendiri Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan telah meratifikasi WTO Agreement sebagaimana yang telah disahkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Indonesia pada dasarnya terikat akan prinsip-prinsip yang termuat di dalam General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994).
Apabila Indonesia memberlakukan larangan ekspor CPO, larangan tersebut haruslah untuk semua negara tujuan ekspor.
Pertama, prinsip most favoured nation (MFN) atau nondiskriminasi. Prinsip ini menekankan bahwa semua negara anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan ekspor dan impor dan tidak boleh memberikan perlakuan yang istimewa kepada negara WTO lainnya. Misalnya, apabila Indonesia memberlakukan larangan ekspor CPO, larangan tersebut haruslah untuk semua negara tujuan ekspor.
Kedua, prinsip larangan pembatasan kuantitatif. Prinsip ini tertuang di dalam Article XI:1 GATT 1994 yang menerangkan, pembatasan kuantitatif yang mencakup segala kebijakan yang bersifat melarang atau membatasi impor atau ekspor yang bukan tarif adalah dilarang. Artinya, apabila Indonesia ingin mengeluarkan kebijakan yang bersifat menghambat perdagangan, kebijakan tersebut haruslah bersifat hambatan tarif.
Pada dasarnya GATT 1994 menghargai setiap kebijakan yang dibuat oleh negara anggota WTO dan negara anggota diperbolehkan membuat kebijakan yang bertentangan dengan GATT 1994, tetapi dengan tetap memperhatikan persyaratan yang diatur dalam GATT 1994. Berdasarkan prinsip larangan pembatasan kuantitatif di atas, maka Permendag No 22/2022 tentang larangan ekspor CPO tersebut harusnya bertentangan dengan Article XI:1 GATT 1994.
Namun, prinsip larangan kuantitatif terdapat pengecualian. Pengecualian umum pertama tertuang di dalam Article XX GATT 1994 yang mengatur bahwa kebijakan boleh diambil oleh negara anggota apabila, pertama, untuk melindungi moral publik. Kedua, kebijakan itu dikeluarkan untuk melindungi manusia, hewan, ataupun tanaman, atau kesehatan. Ketiga, kebijakan yang berkaitan dengan impor ekspor emas atau perak. Keempat, kebijakan itu diperlukan untuk menjaga kepatuhan terhadap hukum atau regulasi yang tidak bertentangan dengan GATT 1994.
Pengecualian kedua tertuang di dalam Article XI:2 (a) GATT 1994 yang mengatur bahwa larangan ekspor dari suatu negara anggota WTO kepada negara tujuan untuk mencegah atau memulihkan krisis pangan atau produk esensial bagi negara tersebut. Perlu ditekankan bahwa dalam bunyi article tersebut terdapat kata ”mencegah” yang mengindikasikan bahwa negara anggota diperbolehkan membuat kebijakan pencegahan sebelum krisis atau terjadi kelangkaan terhadap produk esensial.
Berlakunya Permendag No 22/2022 ini berpotensi digugatnya Indonesia oleh negara anggota WTO. Apabila digugat, Indonesia bisa menggunakan kedua pengecualian umum di atas sebagai legitimasi ataupun pembelaan.
Namun, sebelum itu, beberapa hal penting untuk dijelaskan terlebih dahulu apakah Permendag No 22/2022 ini sudah tepat atau belum menurut prinsip GATT 1994. Pertama, prinsip MFN mengatur apabila suatu negara ingin membatasi impor atau ekspor haruslah melalui tarif atau pajak dan tidak boleh dengan kuota.
Apakah Permendag No 22/2022 ini merupakan kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif? Itulah yang harus dijelaskan pemerintah tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada negara tujuan ekspor.
Kedua, hambatan kuantitatif perdagangan dapat diterapkan apabila dengan tujuan untuk mencegah terjadinya atau memulihkan krisis pangan atau produk esensial dalam negeri. Terkait yang kedua, memang perlu pembuktian lebih lanjut untuk menentukan apakah CPO yang dilarang tersebut merupakan produk esensial dalam negeri.
Apabila tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat dalam mengeluarkan permendag tersebut, Indonesia tidak hanya kehilangan potensi pendapatan negara, tetapi juga harus bersedia menerima sanksi dan membayar ganti rugi yang jumlahnya begitu besar apabila kalah dalam persidangan WTO. Adapun penulis menyarankan sebaiknya Pemerintah Indonesia memberlakukan kenaikan tarif ekspor untuk CPO dengan tujuan untuk menekan selisih keuntungan antara penjualan CPO dalam negeri dan ekspor sehingga pada akhirnya perusahaan kelapa sawit memilih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu karena besarnya tarif yang dikenakan apabila ingin melakukan ekspor.
Kana Kurnia, Pengajar Hukum Bisnis Universitas Mulia, Balikpapan; IG: knkrna.