Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu melihat lagi intervensi ke dalam industri kelapa sawit. Tak cukup dengan pajak ekspor, perlu audit industri. Juga diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan nasional.
Oleh
CATUR SUGIYANTO
·4 menit baca
Pemerintah akhirnya secara resmi melarang ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak goreng mulai 28 April 2022.
Kebijakan ini diterapkan menyusul melambungnya harga minyak goreng akibat kelangkaan di pasaran. Harga naik dan minyak goreng langka di dalam negeri menjadi fenomena besar dalam tiga bulan terakhir.
Sebenarnya tanda-tanda awal kenaikan harga minyak nabati internasional telah dimulai tahun lalu ketika terjadi gagal panen di beberapa negara produsen gandum dan serealia, seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Brasil, sebagaimana dilaporkan BBC, Kamis (5/11/2021), melansir pernyataan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).
Faktor perubahan cuaca, kekurangan tenaga kerja (karena pandemi Covid-19) menjadi penyebab utama kegagalan panen ini. Perang Ukraina-Rusia semakin memperparah keadaan.
Pajak ekspor
Indonesia, sebagai produsen minyak sawit utama dunia, sebenarnya bisa mendapatkan keuntungan besar dari kondisi tersebut di atas.
Dengan perkiraan produksi sebesar 51,3 juta ton untuk CPO dan crude palm kernel oil (CPKO), serta kebutuhan di dalam negeri sebesar 18,4 juta ton, terdapat kelebihan untuk ekspor sekitar 34,2 juta ton.
Minyak sawit merupakan komoditas ekspor utama, menyumbang 30 miliar dollar AS atau sekitar Rp 429,7 triliun. Jika diikuti dengan ekspor, kenaikan harga di pasar dunia juga akan meningkatkan penerimaan pajak ekspor pemerintah.
Industri minyak goreng di dalam negeri ternyata tak seluruhnya didukung oleh kebun sawit sendiri.
Sebenarnya bukan hanya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dalam negeri dan asing yang akan menikmati, melainkan juga perkebunan besar negara; dan perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat memiliki luas 42 persen dari total 16,3 juta hektar kebun sawit yang ada.
Industri minyak goreng di dalam negeri ternyata tak seluruhnya didukung oleh kebun sawit sendiri. Mereka ini membeli bahan baku, minyak sawit mentah, dari produsen CPO lain, kebanyakan melalui kontrak jual bukan kontrak harga jangka panjang. Oleh karena itu, naiknya harga di pasar dunia mendorong peningkatan ekspor CPO hingga mengurangi pasokan kepada pabrik minyak goreng dalam negeri.
Di sisi lain, pabrik minyak goreng biasanya bukan pemilik bisnis distribusi, apalagi sampai pada pengecer. Sementara itu, dalam kondisi normal, tidak ada mekanisme untuk mengatur alokasi CPO di dalam negeri.
Pajak ekspor menjadi satu-satunya rem untuk ekspor dan perlindungan industri biofuel di dalam negeri.
Daya tarik ekspor yang tinggi dan permainan para distributor telah memperparah kondisi pasar minyak goreng di dalam negeri. Berbagai kebijakan telah dilakukan pemerintah untuk mendorong pelaku pasar agar memperhatikan konsumen minyak goreng di dalam negeri.
Berbagai kebijakan tersebut misalnya melalui intervensi di pasar lewat operasi pasar, dengan menyediakan 250 juta liter minyak goreng per bulan. Selain itu dilakukan pemantauan dan penindakan. Kemudian kebijakan penetapan harga ecerean tertinggi (HET) melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022.
Selanjutnya menggelontorkan subsidi sebesar Rp 7,6 triliun untuk enam bulan dari BPDKS guna membayar selisih HET dan harga ekonomis kemasan. Mewajibkan eksportir memasok CPO sebesar 20 persen dari volume ekspor, sebagai kewajiban pasar domestik (DMO), lewat Permendag No 2/2022.
Juga kewajiban harga domestik (DPO) dengan harga Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan harga RBD palm olein Rp 10.300 per kilogram. Sampai DMO ini selesai dan dilaporkan, baru bisa ekspor. Namun, tak terjadi koreksi terhadap pasar minyak goreng dalam negeri.
Aksi bersama dan keberpihakan Gapki
Mengingat minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok dan sangat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat, Presiden Joko Widodo secara tegas mengubah kebijakan dari persuasi (mendorong dan memberi insentif) menjadi pengaturan (paksa). Melarang ekspor CPO dan minyak goreng sampai pasar minyak goreng di dalam negeri menjadi normal dan terjamin tetap normal. Akankah sukses?
Ketua Bidang Komunikasi Gapki Tofan Mahdi menyatakan, Gapki siap memantau perkembangan di lapangan setelah berlakunya kebijakan tersebut, khususnya dampak yang ditimbulkan terhadap pasar kelapa sawit domestik.
Respons ini semoga merupakan tanda bahwa Gapki akan melakukan aksi bersama (joint action) mengatur internal anggota siapa dan berapa yang akan berkontribusi memasok kebutuhan di dalam negeri sampai pasar kembali normal.
Daya tarik ekspor yang tinggi dan permainan para distributor telah memperparah kondisi pasar minyak goreng di dalam negeri.
Insentif untuk itu jelas ada mengingat tren kenaikan harga di pasar internasional masih berlangsung lama, daripada kehilangan kesempatan karena ekspor dilarang. Tanpa joint action, penyimpangan mungkin terjadi, dan justru memperparah situasi, misalnya mengurangi serapan tandan buah segar dari petani atau ekspor secara gelap.
Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu melihat lagi intervensi ke dalam industri kelapa sawit. Tidak cukup dengan pajak ekspor, jika perlu audit industri. Sementara itu, joint action dan keberpihakan industri minyak sawit (baik perkebunan, pengolah CPO, maupun distributor) perlu diarahkan untuk lebih seimbang antara keuntungan individual dan keuntungan konsumen dalam negeri.
Catur Sugiyanto,Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.