Perhatian pemerintah yang lebih kepada ASN menciptakan hierarki di masyarakat, antara ASN dan masyarakat kebanyakan. Dengan beragamnya pekerjaan dalam masyarakat Indonesia, perhatian berlebih kepada ASN amat tidak adil.
Oleh
RATIH D ADIPUTRI
·5 menit baca
Sebelum Lebaran, pemerintah memberikan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13, bahkan ada bonus tunjangan kinerja kepada para aparatur sipil negara (ASN) atau dikenal juga sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Berita ini kemudian terus-menerus diberitakan media dengan informasi berapa banyaknya dana yang disiapkan pemerintah pusat dan daerah untuk keperluan ini.
Pandangan banyak orang berbeda-beda dalam hal ini. Di satu sisi, ada yang mengungkapkan, dengan penggunaan anggaran negara atau daerah, tunjangan yang diterima untuk ASN memang harus dipublikasikan. Namun di sisi lain, pemerintah memperlihatkan dengan gamblang hierarki yang terjadi di masyarakat, antara ASN dan masyarakat kebanyakan.
ASN seakan-akan memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakat, pekerjaan yang selalu diperhatikan pemerintah. Ini menciptakan hierarki dalam masyarakat, bahkan dapat dimasukkan dalam kategori membentuk kasta (casteism), seperti yang disebutkan dalam buku Isabel Wilkerson, Kasta (Caste: the origins of our discontents) yang terbit tahun 2020.
Buku Kasta menggunakan data masyarakat Amerika Serikat yang menunjukkan hieraki kasta untuk ras dalam masyarakat antara warga kulit putih, dan warga berkulit hitam atau coklat. Di sini, Wilkerson mendefinisikan kasta sebagai ”pemberian atau penghormatan akan status, perhatian, jabatan, hak tertentu, kekayaan dan lain-lain berdasarkan kedudukan atau peringkat dalam hierarki masyarakat”.
Ia juga membahas membandingkan dengan isu rasisme di India (dengan sistem pembagian kasta Brahmana sampai Dalit), dan masa Nazi Jerman (antara suku Arya dan keturunan Yahudi) dengan sistem masyarakat AS (dengan sejarah perbudakan orang berkulit hitam dan hukum segregasinya). Dengan delapan pilarnya, kasta terus dikukuhkan di Amerika, dan topik kita mengenai ASN ini sesuai kategori pilar kelima, hierarki pekerjaan.
Walau secara umum, tidak ada pembagian kasta ras di masyarakat Indonesia modern, hierarki masih terus terjadi.
Di Indonesia, pembagian “kasta” ini terjadi di masa kolonial Belanda yang membagi masyarakat berkulit putih, Belanda, dan Eropa, sebagai kasta tertinggi; masyarakat pedagang, seperti dari China, Arab, dan India sebagai kasta kedua; kelompok ningrat atau terpelajar sebagai kasta ketiga; dan masyarakat Indonesia kebanyakan seperti buruh dan petani sebagai kasta terendah. Pembagian tingkatan bahasa krama inggil, krama, dan ngoko juga memperkuat hieraki dan kasta tersebut.
Walau secara umum, tidak ada pembagian kasta ras di masyarakat Indonesia modern, hierarki masih terus terjadi. Misalnya, orang kulit putih (bule) dianggap lebih berdaya; kedudukan wanita karier dianggap lebih dibandingkan ibu rumah tangga; bidang-bidang eksakta (matematika, fisika, kimia) dianggap lebih hebat daripada ilmu sosial dan pendidikan; dosen lebih bergengsi daripada guru sekolah dasar, dsb. Bahkan banyak orang yang masih menghargai orang yang naik mobil daripada motor atau pejalan kaki, dan mengakui kehebatan orang yang punya uang banyak, dengan pemberitaan heboh tentang orang-orang crazy rich, akhir-akhir ini.
Ada apa dengan ASN
ASN merupakan sekelompok individu yang bekerja dalam institusi-institusi pemerintah dan daerah (digaji dengan anggaran negara/daerah) yang mendapatkan status sebagai pegawai tetap dan akan mendapatkan uang pensiun saat purnabakti. Walau bergaji relatif kecil, menjadi ASN amat diburu karena masa kerja permanen dan adanya pensiun ini, lagi pula kinerjanya tidak begitu dipertanyakan, karena yang dipentingkan adalah loyalitas.
Betapa menyenangkannya menjadi ASN, perhatian pemerintah dan negara selalu tertuju kepadanya—bukan soal kinerjanya, biasanya hanya urusan tunjangan dan penggunaan anggaran. Dengan perhatian lebih seperti ini, amat wajar apabila pegawai KPK berkeinginan mengubah statusnya menjadi ASN walau dengan kontroversi tes wawasan kebangsaan.
Kasus banyaknya korban penipuan penerimaan CPNS, misalnya, juga menunjukkan betapa banyak orang mendambakan untuk masuk sebagai ASN, walau dengan cara yang tidak lazim. ASN sendiri di pusat berjumlah sekitar 1,8 juta pegawai dan di daerah sekitar 3,7 juta, ditambah anggota TNI dan Polri.
Sejak Orde Baru berakhir, reformasi birokrasi terus dilakukan namun sampai saat ini belum terlihat hasilnya yang signifikan. Walau sistem perekrutan sudah lebih baik, penempatan posisi-posisi strategis tidak dilakukan berdasarkan kompetensi dan kapabilitas. Penunjukan posisi masih dilakukan oleh Badan Pertimbangan Kepangkatan dan Jabatan (Baperjakat) lembaga yang bersangkutan, yang sarat nepotisme dan hubungan jaringan rente (patron-client) sehingga membuat birokrasi lambat dan kurang kreatif inovatif. Apalagi setelah menjadi ASN, yang berstatus pegawai permanen, pegawai tidak merasa harus meningkatkan dirinya lagi, selain urusan jabatan dan pelatihan internal institusi. Maka, citra buruk ASN terkait kinerja dan mentalitas pegawai masih terus melekat.
Karier seumur hidup ini yang menjadikan ASN sulit berkembang. Semestinya mekanisme membayar dana pensiun—layaknya membayar pajak—juga diberlakukan untuk seluruh pegawai, baik swasta maupun ASN. Dengan demikian, uang pensiun yang diterima di masa tua nanti benar-benar berdasarkan jumlah dana dan masa bekerja. Juga mekanisme pengisian jabatan, walau internal, harusnya terbuka dan hendaknya dilakukan berdasarkan inisiatif pegawai yang bersangkutan dengan menuliskan (dalam surat lamaran posisi) apa inovasi yang akan dilakukan dengan jabatannya. Bukan berdasarkan penunjukan yang sering tidak sesuai dengan minat dan motivasi sang pegawai ASN itu sendiri.
Merayakan keragaman
Dengan beragamnya pekerjaan dalam masyarakat Indonesia, memberikan perhatian ekstra kepada ASN saja amatlah tidak adil. Pemerintah seperti memberikan perhatian khusus bagi ASN saja, apalagi dengan tunjangan dan tidak untuk profesi lain. Merujuk buku Kasta di atas, sistem kasta dan hieraki tidak bisa dihilangkan, apalagi Indonesia malah mulai mengikuti gaya dinasti politik AS dengan menggunakan aplikasi media sosial yang masif.
Namun, apabila pihak yang dominan—dalam hal ini, pemerintah—setidaknya mulai mengurangi perhatian lebih kepada ASN dalam hal tunjangan dan gaji (dan lebih kepada kinerja dan memperbaiki sistem birokrasi untuk pelayanan yang modern) serta mengurangi ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat, mungkin kasta dan hierarki tidak semakin mengemuka. Sudah saatnya mengurangi kasta atau hieraki yang terjadi dalam masyarakat, mengurangi segregasi antara kaya-miskin dan perkotaan-daerah tertinggal, misalnya.
Semua keragaman pekerjaan yang ada di Indonesia, termasuk ASN, harus memberikan kontribusi bagi pembangunan negara. Keragaman adalah kekuatan masyarakat, dan mari rayakan keragaman itu dengan memberikan apresiasi yang adil untuk berbagai pekerjaan yang ada, bukan untuk ASN saja.
Ratih D Adiputri, Dosen Ilmu Sosial di Universitas Jyväskylä, Finlandia; IG: ratih d adiputri