Rapor Reformasi Birokrasi
Dalam konteks reformasi birokrasi perekrutan dan pembinaan operator di tiap jenjang jabatan dilakukan bukan lagi sekadar berdasarkan indeks prestasi akademik, tetapi pada ukuran integritas, kapasitas, dan kompetensi.

Ibarat ketika kereta berjalan lambat, penumpang memandang ke luar seraya bertanya-tanya: sampai di mana?
Penumpang lainnya ikut melongok sambil menebak dengan memperhatikan tanda apa pun yang dapat mereka ingat. Mungkin mereka juga tidak tahu persis. Demikianlah, dari jendela gerbong akhir kereta tahun 2020 orang bertanya, sudah sejauh mana upaya reformasi birokrasi selama ini.
Baca juga: Percepatan Reformasi Birokrasi Tak Bisa Ditawar
Orang mencari karena yang banyak terdengar selama ini masih saja sekitar olok-olok. Di luar itu hanya seputar banyaknya status honorer yang belum terselesaikan, tentang alokasi dan penerimaan pegawai baru, atau berita tentang gaji dan tunjangan yang akan naik.
Pokoknya hanya soal-soal yang bersifat cabang dan ranting, tetapi justru jadi berita yang lebih trending. Sementara bagaimana sebenarnya langkah dan wujud reformasi birokrasi, mereka tak dapat gambaran utuh dan lengkap.
Selain mengganti menteri, juga mengangkat lima lagi wakil menteri baru.
Setelah beberapa bulan telinga bagai jenuh dengan gerundelan, akhirnya Presiden Joko Widodo mengubah susunan kabinet. Selain mengganti menteri, juga mengangkat lima lagi wakil menteri baru. Selesaikah masalah? Pastilah belum. Karena penggantian menteri bukan soal birokrasi, melainkan kabinet. Ada pula berita penghapusan beberapa lembaga negara, tetapi itu juga bukan soal birokrasi. Lantas apa dan di mana yang namanya birokrasi?
Abstrak
Birokrasi bukan sesuatu yang tangible. Ia abstrak. Ia tak terlihat, apalagi teraba, tetapi kompleks. Abstrak karena ia adalah tataran kewenangan, yang tersusun dalam jenjang jabatan-jabatan dari tertinggi hingga terendah, masing-masing bertanggung jawab dari bawah ke atas.
Baca juga: Presiden Ingin Aparat Birokrasi Lebih Adaptif dan Terampil
Dalam khitah seperti itu, birokrasi hanya berfungsi ketika digerakkan. Pertama, oleh manusia yang terlatih menggunakan atau menjalankan kewenangan. Jika tak terlatih, yang ada acak-acakan. Kedua, ia tersusun secara organisasi dalam lembaga yang mewadahi, bergerak dengan aturan yang jelas.
Berapa banyak lembaga yang menjadi wadah dan seberapa besar ukuran organisasi di dalamnya, seberapa banyak lapis tingkatan dan berapa panjang mata rantai kewenangan tersebut, berapa jumlah dan seperti apa manusia yang diperlukan untuk menjalankan, serta aturan yang bagaimana yang melandasi geraknya, hanya dapat dibayangkan jika ada bangun desain organisasinya yang benar dan pas, yang fit-in dengan misi dan fungsi lembaga yang mewadahi. Bangun desain organisasi mesti merupakan representasi yang tepat dari misi dan fungsi lembaga yang bersangkutan.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, menggelar jumpa pers terkait Pembubaran Lembaga Nonstruktural di Kantor Kemenpan dan RB, Jakarta, Selasa (1/12/2020). Dalam jumpa pers tersebut, Tjahjo didampingi Sekretaris Kemenpan dan RB Dwi Wahyu Atmaji serta Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kemenpan dan RB Rini Widyantini.
Birokrasi diperlukan karena dalam konteks fungsi, ia adalah instrumen. Bahasa jelasnya, alat. Tidak lebih dan tidak kurang. Birokrasi memang instrumen pelaksana program dan kebijakan. Birokrasi dengan begitu bukan program itu sendiri dan bukan pula kebijakan. Tidak hanya di tataran pemerintah pusat, tetapi juga di daerah. Sama.
Menggambarkan birokrasi sekadar sebagai penguasa dan konkret, sering kali memberi titik tolak pandang keliru dan hanya mendorong pada penanganan yang keliru pula.
Baca juga: ”Normal Baru” Birokrasi
Sebagai alat, ia hanya pas jika dilekatkan pada misi dan fungsi yang jelas rumusannya. Kalau misi atau fungsi lembaga yang mewadahi adalah A, B, dan C, maka adalah tugas birokrasi yang tersusun secara terorganisasi di dalamnya untuk mewujudkan sasaran misi dan fungsi A, B, dan C tadi.
Ada dalam wadah
Organisasi kewenangan mesti diwujudkan, disusun, dan digerakkan dalam wadah yang pas tersebut. Pas ukurannya, pas rumusannya. Di luar pengalaman manajerial yang sifatnya umum, manusia pelaksananya mesti terdidik dan terlatih.
Apalagi untuk menjalankan kewenangan di bidang-bidang yang sifatnya khusus. Keahlian dalam mengelola kewenangan di bidang penerbangan jelas beda dari keahlian dalam penegakan hukum ataupun perancangan peraturan perundang-undangan.
Aturan main berupa tata kerja guna menjalankannya juga harus dibuat sederhana, tetapi jelas.
Begitu seterusnya, di bidang-bidang seperti pertambangan, kehutanan, perdagangan, perindustrian, kelautan, bahkan perbendaharaan. Pemilahannya dalam kelompok struktural ataupun fungsional bukanlah masalah.
Mereka semua harus dididik dan dilatih untuk mengenali dan menguasai misi, fungsi, program, dan kebijakan pemerintah yang dijalankan lembaga, tugas jabatan, serta bagaimana menjalankan kewenangan yang melekat padanya. Aturan main berupa tata kerja guna menjalankannya juga harus dibuat sederhana, tetapi jelas.
Baca juga: Meremajakan Birokrasi Kita
Ada contoh yang aktual mengenai kebutuhan aturan untuk menjalankan kewenangan yang sederhana dan jelas itu. Mereformasi birokrasi juga merambah kebutuhan mereformasi aturan tadi. Banyak yang cepat ingat ketika dalam soal akuntabilitas keuangan, aparat masih harus taat bergelut dengan paper works yang luar biasa.
Untuk mempertanggungjawabkan perjalanan dinas saja, tidak sedikit dokumen yang mesti ditandatangani dan pos untuk diminta tanda tangan. Tidak hanya mengorbankan waktu dan tenaga, tetapi juga sumber daya lainnya.

Masih ingat keluhan tenaga riset yang lebih ribet dengan paper works untuk menggunakan dana riset ataupun para tenaga kesehatan yang bertaruh nyawa melawan Covid-19 ketika harus menempuh lika-liku aturan yang rumit dan panjang untuk mengurus tunjangan yang tak seberapa? Berat yang menjalani, berat pula tanggung jawab bendahara dan pengelola anggaran.
Sementara dari sisi pemeriksaan tanggung jawab, tidak terpenuhinya aturan main tersebut dengan mudah menghadirkan penilaian sebagai penyimpangan dan merugikan negara. Tidak hanya mempersulit dan memperlambat gerak administrasi pemerintahan, semua juga pasti paham ekses dari dekatnya kata penyimpangan dan menimbulkan kerugian negara dengan kosakata dalam tindak pidana korupsi.
Baca juga: Memangkas Birokrasi Pemerintah
Sampai di sini semua paham benar, ke mana ujung semua itu akan berakhir. Sementara aturan yang ruwet seperti itu tidak berjalan lancar, penilaian buruk tidak jauh-jauh jatuhnya dari wajah birokrasi. Namun, sekali lagi, contoh yang tidak enak tadi baru menyangkut soal aturan main. Hal serupa ada pula di soal tata kerja, soal etika bagaimana kewenangan harus dijalankan.
Belum lagi kalau bicara tentang organisasi (jabatan pengemban kewenangan), kualifikasi personel pelaksana, perekrutan, dan diklat bagi para pelaksana tadi. Ketika aspek-aspek di dalam ribet dan tidak terselesaikan, dapat ditebak kualitas dan suramnya performa birokrasi dalam pelaksanaan program ataupun dalam layanan publik.
Perlu peta desain yang komprehensif, yang jelas baik sasaran maupun tahapannya.
Perlu peta jalan
Membenahi birokrasi yang dinilai kurang efektif, kurang tanggap, dan kurang cekatan, atau yang gemuk dan lamban, atau yang acap kali diejek cuma bagai kantong nasi, memang memerlukan peta jalan (road map). Perlu peta desain yang komprehensif, yang jelas baik sasaran maupun tahapannya.
Bagaimana kondisi hingga akhir 2020 ini? Bukankah cita-cita mereformasi birokrasi bahkan dicanangkan sejak 2014? Bagaimana pula dengan program pembangunan lima tahun di bidang ini yang telah ditulis begitu panjang-lebar?
Hingga saat ini, hal itu sepertinya tak ditagih, bahkan ketika dijanjikan lagi dalam kampanye Pilpres 2019. Pastilah peta jalan tersebut ada. Cuma kenapa tidak kunjung hadir sebagai tindakan pemerintah yang mendasar dan dapat dilihat serta dirasakan, wallahualam.
Baca juga: Birokrasi Andal Lawan Covid
Karena awal soal birokrasi berpangkal pada lembaga sebagai wadah, soal jumlah dan besarnya organisasi menjadi soal pertama yang mesti jadi perhatian. Dalam konteks kabinet, bukankah sesuatu yang ramping, efektif, dan profesional sejak 2014 telah dicanangkan? Enam visi 2024 yang digaungkan setelah Pilpres 2019 bahkan penuh dengan aura reformasi di bidang birokrasi.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Dynamic Governance: Wajah Baru Reformasi Birokrasi Indonesia di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Senin (4/11/2019). Upaya reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memanfaatkan media sosial.
Karena itu, kalau apa dan bagaimana persisnya misi dan fungsi lembaga tidak dibuat tajam (kementerian dan lembaga peninggalan pemerintahan sebelumnya, yang memiliki visi serta sasaran yang jelas berbeda), bukan saja sulit merangkum keenam visi tadi, melainkan juga tidak mudah bisa merumuskan besarnya susunan organisasi kewenangan, jenis, dan lebarnya kewenangan di dalamnya.
Ini sesungguhnya yang utama. Namun, kalau lembaga yang kini digunakan dianggap sebagai sesuatu yang ”tidak lagi perlu diutak-atik”, setidaknya susunan organisasi kewenangan berikut rumusan fungsi, maka mesti dibuat lebih jelas dan tajam. Mesti disesuaikan dengan visi, misi, arah, dan tujuan yang ingin digapai.
Baca juga: Peringkat ”E-Government” Indonesia
Kalau semua itu tidak dijamah, tidak akan mudah bekerja dengan kewenangan dan jabatan di dalamnya. Ibaratnya, walau tidak menjamah soal jumlah, haruslah mengubah dan menyesuaikan spesifikasi dan perangkat bus yang biasa beroperasi di Arab Saudi agar dapat beroperasi dengan baik di Nepal.
Belum lagi soal kualitas, kompetensi, dan kapasitas manusia yang mesti menjalankan kewenangan tadi. Merekalah yang selalu harus teratur dididik dan dilatih secara berjenjang untuk dapat menjalankan kewenangan. Memilihnya dengan tim penilai apa pun, tetapi tanpa menilik tapak laku pendidikan dan pelatihan teknis untuk itu, apalagi untuk fungsi yang sifatnya khas, tak akan maksimal hasilnya. Mengapa demikian?
Birokrasi dipandang sebagai sesuatu yang selalu siap pakai.
Tidak ada birokrasi siap pakai
Banyak yang melihat birokrasi sebagai sesuatu yang sederhana, sebagai sesuatu yang given, dengan cara pandang hitam putih. Birokrasi dipandang sebagai sesuatu yang selalu siap pakai. Apa pun bisa. Ibarat mesin mobil, birokrasi mesti teratur di-tune in.
Seiring dengan kekeliruan tadi, sebanyak itu pula yang tidak menyadari bahwa wajah, kinerja, dan perangai birokrasi memang ditentukan manusia di belakangnya. Para manusia itulah yang menggerakkan dan membuat birokrasi ada, berfungsi dan bergerak. Baik dan mampu manusianya, sedemikian itu pula birokrasinya. Buruk integritas dan kemampuan manusianya, buruk rupa pula wajah birokrasi.
Baca juga: Reformasi Birokrasi Juga Butuh Perbaikan Kultural
Jalan tapak reformasi birokrasi dengan demikian mesti dan sebaiknya dibuat jelas. Mulai dari organisasinya, rumusan fungsi, penjabaran dalam susunan jabatan, kualifikasi pemangku termasuk cara perekrutannya, serta aturan bagi pelaksanaan jabatan serta kewenangan itu. Mengutak-atik remunerasi, hari dan jam kerja, seragam dan lain-lain, sudah barang tentu boleh saja.
Soal-soal yang belakangan tadi sesungguhnya memang sekunder. Namun, tanpa menyentuh yang terdahulu tadi, mungkin tinggal pidato dan rasa tidak puas saja yang terdengar sebagai berita. Keluhan tentang birokrasi yang gemuk, gendut, lamban, tidak profesional, tidak melayani, dan yang serupa itu sama sekali tidak ada gunanya tanpa menjamah perbaikan aspek-aspek tadi.

Birokrasi perlu rawatan
Sebagai alat, sebagaimana laiknya kendaraan, birokrasi perlu rawatan. Tidak hanya dipakai, dituntut, dan dijadikan tumpahan amarah. Pelaksana birokrasi adalah manusia yang juga mencari kepuasan profesi, memiliki kebanggaan, dan bahkan juga senang disanjung untuk keberhasilannya.
Operator di tiap tataran jabatan dan kewenangan karena itu sangat perlu terus dididik dan dilatih secara berjenjang untuk menjalankannya. Kemampuan dan pengalaman mereka dalam menjalankannya menjadi menentukan kinerja fungsi dan performa birokrasi.
Dengan semua perumpamaan tadi, bagaimanapun penanggung jawabnya tetap: pemimpin yang tertinggi dalam tiap lembaga. Merekalah pembina birokrasi di dalamnya.
Sebanyak jenis rapat apa pun yang mesti mereka hadiri, mesti pula ada waktu yang dapat disisihkan untuk memberi perhatian kepada program dan fasilitas pendidikan dan pelatihan. Untuk selalu menyempurnakan organisasi, aturan main, dan tata kerja. Membangun penguasaan terhadap misi dan fungsi lembaga serta susunan organisasi dan jenis kewenangan yang ada di dalamnya, menjadi utama.

Bambang Kesowo
Begitu pula operator di tiap jenjang jabatan terhadap kewenangan yang dijalankannya. Perekrutan bukan lagi sekadar berdasarkan indeks prestasi akademik. Pembinaan dan pengembangan mereka mesti berkisar pada ukuran integritas, kapasitas, dan kompetensi. Bukan soal teman yang baik dan berjasa atau bukan, dan bukan pula soal senang atau tidak senang.
Bambang Kesowo, Tenaga Ahli Jaksa Agung RI