Mubazir Pangan Selama Ramadhan dan Ekonomi Sirkular
Jumlah penduduk Indonesia yang besar berpotensi menghasilkan kemubaziran pangan yang juga besar dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahun. Pendekatan ekonomi sirkular jadi alat menjawab tantangan mubazir pangan.

Didie SW
Indonesia menghasilkan timbulan food lossand waste atau mubazir pangan yang cukup besar, yaitu 23-48 juta ton per tahun dalam dua dekade terakhir (2000-2019). Jumlah ini diperkirakan meningkat secara substansial selama bulan Ramadhan.
Strategi pengelolaan mubazir pangan dalam kerangka ekonomi sirkular dibutuhkan untuk mewujudkan efisiensi pangan yang lebih berkelanjutan.
Permasalahan mubazir pangan memang sulit dihindari. Jumlah penduduk Indonesia yang besar berpotensi menghasilkan kemubaziran pangan yang juga besar dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahun.
Mubazir pangan
Kajian food loss and waste (FLW) yang dilakukan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas), World Resources Institute (WRI), UK-FCDO, dan Waste4Change menemukan bahwa timbulan FLW di Indonesia pada 2000-2019 berkisar 23-48 juta ton per tahun, atau setara dengan 115-184 kilogram/kapita/tahun.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan juga luar biasa, mencapai Rp 213 triliun-Rp 551 triliun per tahun atau 4-5 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Padahal, pangan yang terbuang itu seharusnya bisa memberi makan masyarakat Indonesia hingga 61 juta-125 juta orang.
Padahal, pangan yang terbuang itu seharusnya bisa memberi makan masyarakat Indonesia hingga 61 juta-125 juta orang. Isu FLW pun berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 1,73 gigaton CO2ek secara akumulasi, atau rata-rata 7,29 persen dari total emisi GRK Indonesia dalam setahun.
Hal ini turut memengaruhi perubahan iklim yang berdampak pada krisis pangan, yang pada akhirnya berpotensi untuk menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Satu penelitian mencatat bahwa di negara-negara Muslim, 15-25 persen dari makanan yang dibeli atau disiapkan selama Ramadhan berakhir di tempat sampah, bahkan sebelum dikonsumsi.
Memang, kebiasaan berbuka puasa bersama dan merayakan hari raya Idul Fitri dengan sajian makanan dan minuman yang berlimpah sering kali menjadi sumber kemubaziran pangan. Selama bulan Ramadhan, kita cenderung membeli lebih dari kebutuhan normal, baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk menjamu kerabat dan sanak saudara.
Baca juga Jutaan Ton Bahan Pangan Terbuang di Indonesia
Hal ini didukung oleh tren yang menunjukkan bahwa selama Ramadhan, permintaan berbagai bahan makanan, baik nabati maupun hewani, mengalami peningkatan. Di Jakarta Selatan saja, kebutuhan pangan pada awal Ramadhan tahun ini meningkat 3,33 persen.
Solusi ekonomi sirkular
Pengelolaan kemubaziran pangan yang terintegrasi sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan ketahanan pangan dan kekurangan gizi di Indonesia, sekaligus untuk mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan. Pendekatan ekonomi sirkular di bawah payung Pembangunan Rendah Karbon menjadi alat untuk menjawab tantangan mubazir pangan.
Berbeda dengan model linear yang berpola ”ambil-pakai-buang”, pendekatan ini tidak hanya mencakup pengelolaan sampah, tetapi juga efisiensi sumber daya. Prinsip ekonomi sirkular berfokus pada pengurangan limbah dan polusi, penggunaan produk dan material selama mungkin, serta regenerasi sistem alam. Dengan kata lain, ekonomi sirkular mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang lebih sedikit untuk membuat lebih banyak.
Ekonomi sirkular mencakup efisiensi sumber daya dalam pengelolaan proses produksi pangan dari hulu hingga hilir.

Heryunanto
Di hulu, efisiensi sumber daya dilakukan melalui pemanfaatan alat mesin pertanian modern serta peningkatan kualitas kemasan pada tahapan pemanenan dan pascapanen guna menekan terjadinya pangan yang rusak dan tercecer.
Di sepanjang rantai pasokan hingga ke hilir, ekonomi sirkular menargetkan perbaikan kualitas kemasan, pemanfaatan ruang penyimpanan dingin, dan peningkatan efisiensi distribusi makanan.
Keterlibatan masyarakat
Di tingkat konsumen, beberapa upaya terkait prinsip ekonomi sirkular dapat kita terapkan, dan bulan Ramadhan sebenarnya menjadi saat yang tepat untuk membangun kebiasaan baru menghindari kemubaziran pangan.
Pertama, kita harus membiasakan diri mengonsumsi makanan secukupnya, termasuk membiasakan konsumsi ugly food yang memiliki kualitas gizi dan rasa setara dengan produk pangan berpenampilan menarik. Berbelanja cerdas dengan membuat daftar belanjaan terlebih dahulu juga akan membantu mengurangi potensi mubazir pangan.
Kedua, olah dan konsumsi pangan yang telah dibeli lebih awal—atau first-in-first-out. Agar bahan makanan awet, gunakan wadah yang tepat sesuai jenis makanannya dan simpan di kulkas sesuai kebutuhan.
Langkah berikutnya, pahamilah perbedaan antara tanggal ”kedaluwarsa” dan ”baik sebelum”. Jika disimpan dengan baik dan belum mengalami kontaminasi atau perubahan fisik, produk dengan tanggal ”baik sebelum” sebenarnya masih layak dikonsumsi meskipun sudah mendekati atau melewati tanggal tertera. Sementara itu, produk yang sudah melewati tanggal kedaluwarsa tidak lagi layak dikonsumsi.
Terakhir, bangun kebiasaan untuk mengolah limbah makanan menjadi kompos yang bermanfaat sebagai penyubur tanaman.
Masyarakat sebagai konsumen pun memiliki peran yang penting di dalam pengelolaan mubazir pangan melalui ekonomi sirkular sejak dari rumah.
Setelah melalui langkah-langkah di atas, jika masih ada pangan yang tersisa dalam kondisi baik dan layak dikonsumsi, kita dapat berkoordinasi dengan bank makanan (food bank) untuk menyalurkan kelebihan pangan kepada pihak yang membutuhkan.
Beberapa organisasi di Indonesia telah hadir untuk mewadahi penyaluran ugly food dan sisa pangan layak konsumsi, seperti Surplus, Garda Pangan, Foodbank of Indonesia, dan Food Bank Bandung.
Mengambil contoh Garda Pangan, food bank yang berbasis di Surabaya ini tidak hanya mengoordinasi surplus makanan dari individu, tetapi juga dari restoran, katering, bakery, dan juga hotel.
Tanpa penerapan ekonomi sirkular dan strategi yang baik, timbulan mubazir pangan di Indonesia pada 2045 diperkirakan dapat mencapai 344 kilogram/kapita/tahun. Dengan strategi yang telah disusun di dalam kajian, timbulan mubazir pangan tersebut dapat ditahan pada angka 166 kilogram/kapita/tahun.
Masyarakat sebagai konsumen pun memiliki peran yang penting di dalam pengelolaan mubazir pangan melalui ekonomi sirkular sejak dari rumah. Mari bersama-sama bertekad untuk lebih mindful dalam mengonsumsi makanan dan jadilah bagian dari implementasi pembangunan rendah karbon menuju ekonomi hijau!
Arifin Rudiyanto Plt Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian PPN/Bappenas

Arifin Rudiyanto